“Hmm… kira-kira apa ya hubungan Sarah yang puasanya batal, sama Allah gak adil?” korek ayah lebih lanjut.
“Coba bandingin sama adek. Sholat adek gak bolong-bolong, puasa selalu full. Hafalan adek sudah sampai surat Al Mutaffifin, tapi kenapa Allah malah kasih rejeki lebih banyak buat keluarganya Sarah, bukan ke keluarga kita? Itu kan gak adil. Iya kan, bu?” Jawab Indy berapi-api.
“Hmm… hati-hati, gak boleh gitu loh, Dek. Itu namanya ujub. Merasa dirinya lebih baik dari orang lain. Eh, tapi menurut kamu, rejeki dari Allah apa aja sih, dek?” Balas ayah.
“Ya uang lah, yah. Rumah besar, uang banyak, punya mobil, bisa jalan-jalan kemana-mana.” Tangan Indy kini mulai ikut berbicara menghitung semua rejeki menurut apa yang dia tahu.
“Kalau keluarga, rasa sayang, rasa aman, kesehatan itu rejeki bukan ya?” Tanya ayah lagi.
“Ya bukan lah yah. Itu mah emang udah Allah kasih dari lahir. Gimana sih ayah nih?” sahut Indy dengan senyum miringnya.
Ayah Rayyan memang seorang laki-laki sholeh, pintar dan sabar. Dengan telaten dia meluangkan waktunya mendengarkan dan memberi pengertian langsung ke anak-anaknya.
“Ayah tanya nih, Sarah punya kakak atau adik gak?”
“Enggak”
“Mamanya Sarah selalu temenin Sarah main dan muraja’ah gak?”
“Enggak lah. Mama sama papanya Sarah kan kerja. Mamanya pulang jam 10 malem. Dia juga cerita kalau papanya pulang hanya sebulan sekali.”