Mohon tunggu...
Diah Budiari
Diah Budiari Mohon Tunggu... Freelancer - Writer

Hobi Nulis Cerpen & Novel. Suka ngelamun

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gadis Bali

23 Juli 2023   14:36 Diperbarui: 23 Juli 2023   14:40 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret Gadis Bali sumber: unsplash.com/NELbali Photography

 

Jatuh cinta pada pandangan pertama. Ah, sangatlah mustahil terjadi. Masak sih? Kita bisa jatuh cinta hanya baru melihatnya pertama kali. Kenal bagaimana orangnya saja kita tidak tahu. Masak bisa jatuh cinta? Anggapan itu mematahkan opiniku kala tempo hari tak sengaja bertemu pandang dengan gadis yang belum aku ketahui namanya sedang membantu Ibunya membawa dagangannya.

Hari ini aku kembali lagi ke pantai ini, pantai Sanur tempat pertama kali aku melihatnya. Deburan ombak kecil mampu menggoyangkan perahu-perahu yang berjejer dibibir pantai. Sang fajar tampak malu-malu menampakan dirinya dari ufuk timur. Sungguh indahnya ciptaan Tuhan. Kopi hitam dengan gelas berbahan semacam kertas dan sebatang rokok menemani pagiku yang mampu mengusir rasa kantuk ini yang rela bangun pagi langsung menuju ke pantai ini hanya ingin bertemu dengannya. Pandanganku lurus menatap seorang anak kecil yang tengah berjalan diatas pasir putih tepi pantai sedang memunguti kerang. Kemudian disusul oleh dua temannya yang membawa ember sembari bercanda tawa menghampiri ombak. Sesekali aku menoleh ke arah barat tempat keluar masuknya ke pantai ini berharap gadis itu segera datang.

Pengunjung pantai ini semakin berdatangan. Dari mulai warga lokal sampai wisatawan asing yang sedang berlibur ke pulau Dewata ini. Terlihat ada yang mandi sembari bermain obak, anak-anak yang membuat istana pasir, ada yang mengais rezeki dengan berjualan atau hanya sekadar refresing.

Semakin lama matahari mulai naik. Warna keemasannya sudah mulai berubah terang. Kopi hitam sudah habis aku seruput dari tadi dan dua batang rokok sudah ku isap. Namun orang yang aku tunggu-tunggu belum juga muncul-muncul. Sedangkan, pedagang lumpia lainnya sudah berjualan dikerubungi pengunjung. Apa hari ini Ibu dari gadis itu sedang libur jualan? Benakku bertanya-tanya. Jika memang benar. Ah, sia-sia saja aku bangun pagi-pagi buta yang ujungnya tak bertemu dengannya.

Aku mencoba bersabar dan tetap menunggunya. Ya, mungkin sekitar setengah jam lagi hingga rokok ketiga yang ku sulutkan ini habis.

Sinar matahari sudah mulai terasa panasnya. Orang-orang yang tadi mandi kini bergegas pulang. Begitupun juga pengunjung lainnya. Pedagang-pedagang lumpia yang dagangannya sudah habis beranjak dari tempatnya.

Aku melirik jam tanganku yang ternyata hampir empat jam aku berada dipantai ini. Gelas kopi yang hanya tinggal ampasnya saja dan tiga puntung rokok didalamnya aku raih. Ku genggam erat hingga gelas kertas itu hingga remuk lalu ku lempar hingga tepat mendarat ke tempat sampah berwarna hijau tua yang berjarak semeter dari tempatku berdiri. Aku menepuk-nepuk celana pendekku untuk meruntuhkah pasir yang menempel. Lantas aku memutuskan untuk kembali ke Villa tempatku menginap yang berlokasi di Ubud.

Aku mengendarai motor matik sewaanku selama empat hari berada di Bali dengan kecepatan sedang. Hari ini aku gagal bertemu dengannya. Si gadis manis dan pemilik bulu mata lentik itu. Entah kenapa perasaan ku jadi gundah ingin cepat tahu namanya.

Malam pun tiba, aku hanya berdiam di kamar Villa yang aku sewa. Pikiran terus terbayang pada wajah ayu gadis itu. Ingin mencarinya disosmed? Namun tak tahu siapa namanya. Sepertinya ada yang menggajal dihatiku. Apa mungkin aku tertarik padanya? Entahlah. Aku berusaha memejamkan mata agar segera terlelap. Besok adalah hari terakhir ku berada di pulau Dewata ini. Berharap bisa bertemu dengannya lagi.

***

Alarm berdering manarik jiwaku dari alam mimpi ke duania nyata ini. Tangannku meraba-raba nakas mencari benda pipih itu yang sedang berisik pagi-pagi begini. Begitu aku meraih ponsel milikku itu, aku segera mengusap layarnya hingga ringingan berisik alarm itu mati. Aku menaikan selimut tebal yang melorot untuk menutupi tubuhku dan mencari posisi yang nyaman ingin terlelap kembali. Detik berikutnya mataku terbelalak bangun dan tubuhku tepenjat duduk. Aku kembali teringat pada gadis itu. Hari ini aku harus bertemu dengannya, tekadku bulat. Langsung saja ku menyibak selimut yang menutupi sebagian tubuh ini lalu terbirit ke kamar mandi dan bergegas bersiap pergi ke pantai itu lagi.

Keluar dari Villa dengan mengendarai motor Nmax sewaan menuju ke pantai Sanur. Udara pagi ini terasa segar. Ku hirup napas dalam-dalam hingga memenuhi rongga paru-paru lalu ku hembuskan perlahan sembari mengendarai motor dengan kecepatan tidak ngebut maupun pelan. Di Jakarta, Aku belum pernah merasakan udara sesegar ini. Mencium aroma wanginya dupa yang menenangkan hati dan berkendara bebas tanpa takut macet. Disepanjang perjalanan menuju pantai aku mendengar alunan mantram Puja Tri Sandya umat Hindu, melintasi pasar yang begitu ramai dan juga melihat ada orang yang sedang menghaturakan sesajen menurut kepercayaan agama Hindu, didepan rumahnya.

Tak terasa aku sudah tiba diparkiran pantai Sanur. Setelah mematikan motor, Ku lepaskan helm yang melekat dikepala terlebih dahulu. Aku mengucek kedua mataku yang masih terasa mengantuk. Mulut menguap lebar sembari merenggangkan semua otot-otot dengan posisi yang masih duduk diatas motor. Aku melirik jam tangan yang melingkar dipergelangan tangan kiriku yang sudah menunjukkan pukul 06.30 WITA. "Semoga aja bisa ketemu hari ini," gumamku turun dari motor.

Kakiku melangkah menuju ke pantai. Bau asin air laut menyambut indra penciumannku. Kaki beralasan sandal jepit yang masih baru menyentuh pasir putih. Matahari sudah terbit sepenuhnya dan terlihat indah dilangit timur. Hari ini pantai lebih ramai pengunjung dari hari kemarin karena hari ini adalah hari minggu.

Aku mengedarkan pandanganku ke segala arah dan mengamati satu persatu pedagang lumpia yang ada. Aku berjalan pelan sambil menoleh-noleh mencari keberadaannya. Hingga aku sampai diujung selatan dan balik lagi ke utara namun belum juga menemukannya maupun keberadaan Ibunya yang menjadi pedagang lumpia.

Perutku jadi keroncongan butuh asupan makanan. Pergi dari Villa aku memang belum menyentuh makanan sama sekali. Hanya tiga teguk air putih saja tadi di kamar inap. Satu pedagang yang membuatku tertarik karena banyak pengunjung yang mengerubunginya. Aku sangat penasaran apa yang dijualnya hingga banyak yang antre seperti itu. Daipada penasaran, langsung saja aku mendekati pedagang itu. Aku sedikit mengintip dari banyaknya orang berdiri mengelilingi pedagang itu yang berjualan diatas pasir putih ini. Aku melirik salah satu pengunjung yang sudah menerima pesanannya. Bubur putih dengan sambal kuning seperti ada parutan kelapanya ditambah sayur urap diatasnya yang beralasan daun pisang. Tampaknya sangat enak dijadikan sarapan. Aroma gurih dari pedagang bubur itu membuat lidahku tergiur ingin mencecipinya segera. Cuma di Bali aku menemukan pedagang bubur dengan berjualan duduk diatas pasir pantai.

"Bu, buburnya satu porsi," ujarku yang akhirnya mendapat giliran.

"Lalah ngih?" tanya Ibu pedagang itu yang membuat aku bingung karena aku tidak mengerti berbahasa Bali.

"Hah? Maksudnya Bu? Maaf Bu saya tidak bisa bahasa Bali," jawabku cengengesan.

"Eh, Maaf nggih. Maksudnya ini pedes apa enggak?" ujar Ibu itu dengan logat Balinya kental.

"Ouh. Iya pedes Bu," balasku sambil mengangguk.

Ibu itu tampak cekatan membuatkan pesananku. Aku pun menerima pesananku itu lalu membayarnya. Setelah itu pergi mencari tempat duduk untuk menikmati bubur bali ini. Dari aromanya saja sudah sangat enak. Aku duduk bersila diatas pasir putih menikmati sarapan bubur bali dengan view ombak pantai sanur. Sesekali pandanganku masih tetap menelusuri sekitar pantai ini mencari orang yang ingin ku temui.

Menit demi menit berlalu. Seporsi bubur, sebotol teh dalam kemasan dengan rasa buah, dan dua batang rokok sudah habiskan untuk menemani pagiku ini. Hari ini aku gagal lagi bertemu dengannya. Hilang sudah kesempatanku untuk sekadar berkenalan dengannya. Mengingat hari ini adalah hari terakhir aku berada di Bali. Aku berdecak dan bangkit dari duduk beranjak ingin balik ke Villa untuk mengemasi semua pakaian dan barang-barang. Aku melangkah gontai dengan wajah lesu. Sia-sia diriku ini kembali ke pantai ini hanya untuk gadis itu. 

Namun nyatanya dirinya tak kunjung muncul-muncul. Aku berjalan menuju parkiran sembari menggeragah kantong celana pendekku mencari-cari kunci motor. Saku kantong kanan tidak ada. Disaku kantong kiri tidak ada. Dikantong belakang juga tidak ada. Yang ada hanya dompet dan ponselku saja. Kenapa ini, kenapa kunci motorku tidak ada? Apa jangan-jangan jatuh? Ah tidak. Jangan sampai kesialan yang menimpanku bertambah. Apa mungkin jatuh diarea parkir saat aku memasukkannya kedalam kantong? Semoga saja jatuh disekitar motor dan tidak ada yang mengambilnya. Harapku lalu mempercepat langkah menuju tempat motorku terparkir.

Sampai ditempat motorku terdiam yang sedang menunggu kedatanganku, aku lantas gencar mencari kuncinya dibawah motor dan seputaran sana. Hingga tak sengaja netraku menemukannya ternyata masih nyantol ditempatnya. Aku menghembuskan napasku lega. Ternyata diriku lupa mencabutnya. Untung saja tidak ada yang meraib motor sewaannya ini. Jika tidak, bisa kena ganti rugi diriku ini.

***

Dengan perasaan bete aku mengemasi barang-barangku semua ke dalam koper. Agar nanti malam hanya tinggal berangkat saja. Perasaan gundah masih saja menghantuiku. Padahal sudah ku alihkan dengan berkeliling ke tempat wisata, menjelajah kuliner diseputaran daerah Ubud dan berakhir berenang dikolam renang Villa ini untuk menyegarkan pikiran. Sudahlah, mungkin memang takdirku tak bertemu dengannya lagi. Pasrahku.

Seberes berkemas, ku rebahkan tubuhku ini diranjang ingin beristirahat sejenak sebelum nanti kembali berkeliling berburu oleh-oleh. Whatsapp-ku penuh dengan chat dari keluarga dan juga teman-teman kantor yang menodongku oleh-oleh dari pulau seribu Pura ini. Aku berada disini karena perkerjaanku. Atasan ditempatku bekerja yang mengutusku untuk menghadiri pertemuan dengan para kolega yang ada di Bali selama dua hari. Akan tetapi aku memilih extend dua hari disini ingin menghilangkan penatnya diri dari hiruk pikuk kota Jakarta.

Aku hanya tidur sebentar dan terbangun tepat pukul 13.00 WITA. Bergegas ingin pergi mencari oleh-oleh.

***

Langit biru tanpa awan dan sinar matahari sedang terik-teriknya membuat tenggorokanku terasa kering. Aku jadi tergoda ingin membeli segelas es kelapa muda yang ada di depan pasar Seni Sukawati yang aku kunjungi ini. Sepuluh baju barong, lima kaos putih dengan sblonan I Love Bali, serta gantungan kunci dan juga aksesoris gelang-gelangan sudah ada ditanganku. Ternyata berburu oleh-oleh di Bali sungguh menyenangkan.

Aku duduk disebuah kursi plastik yang tersedia disebelah gerobak pedagang es kelapa muda ini sembari menunggu pesanan yang sedang dibuatkan. Bule-bule berlalu lalang melintisi trotoar. Aku merasa seperti sedang berada diluar negeri saja.

Tiga bus pariwisata tampak memasuki parkiran luas pasar Seni Sukawati dan menurunkan puluhan penumpangnya. Sepertinya itu wisatawan domestik yang ingin berburu oleh-oleh dipasar seni ini sama seperti dirinya.

"Suksma Bli," ujarku berterimakasih menggunakan bahasa Bali yang aku sering dengar diresepsionis Villa kala mengucapkan kata terima kasih pada orang yang berjenis kelamin laki-laki.

Segelas es kelapa muda sudah berada ditanganku. Ah! Segar sekali rasanya tenggorokan dibasahi es kelapa muda ini. Rasa haus dan dahagaku pun lenyap. Es kelapa muda ini ku nikmati dipinggir jalan raya depan pasar Seni Sukawati ini.

Priiit! prit! 

Terdengar suara peluit dari arah utara jalan yang sedang mengatur arus lalu lintas. Dua pria dengan ikat kepala berwarna merah yang ku ketahui itu disebut udeng yang biasa dipakai oleh laki-laki berumat Hindu dalam upacara adat, serta juga memakai kain sebagai bawahannya. Aku sempat membaca bagian belakang tulisan kaos yang dipakainya itu bertuliskan Pecalang Desa yang notabenenya keamanan desa.

Sayup-sayup dari kejauhan aku mendengar suara alunan gambelan. Orang-orang pun berdatangan berdiri maupun duduk berjejer dipinggir jalan, orang yang ada dalam pasar seni juga ikut keluar. Kendaraan pun tak ada yang melintas lagi. Ada apa ini? Apakah ada pertunjukan seperti karnaval yang akan lewat? Benakku bertanya-tanya. Aku yang penasaran, langsung berdiri dan menengok ke arah jalanan utara. Aku menyipitkan pandangannku dari balik kacamata hitam yang ku pakai, tampak terlihat umbul-umbul, payung bali dan juga gerombolan orang yang memainkan gambelan bali berjalan beriringan. Semuanya memakai pakaian adat. Mungkin saja ini sedang ada upacara adat. Tafsirku sendiri. Lalu aku menoleh pada warga lokal yang tampak antusias menunggu disisi jalan.

"Bli, maaf mau nanya, ini lagi ada apa ya?" tanyaku akhirnya pada salah satu pria yang berada disebelahku sedang menunggu pesanan es kelapa mudanya.

"Oh ini lagi ada upacara adat, tradisi Mepeed namanya," jawab pria itu dengan logat balinya.

"Apa itu, Bli?" tanyaku lagi yang butuh penjelasan.

"Teadisi Mepeed ini itu tradisi yang bertujuan untuk mendak Tirta atau mencari air suci dibeji sungai yang ada pancoran air sucinya. Mepeed itu artinya berjalan beriiringan yang diikuti anak-anak, pemuda pemudi maupun orangtua. Tradisi ini diadakan setahun sekali setiap Odalan Pura Dalem dan Pura Desa Sukawati," jelasnya.

"Wah! Saya beruntung sekali, Bli. Bisa menyaksikan tradisi Mepeed ini," ujarku senang.

"Ah iya. Mas darimana asalnya?"

"Saya dari Jakarta, Bli. Lagi ada urusan kerja sambil liburan disini, Bli."

"Ooohh gitu." Pria itu mengangguk-ngangguk.

"Suksma Bli, penjelasannya."

"Iya. Iya Sama-sama."

Iringan pembawa umbul-umbul dan sekelompok pemuda yang memainkan gambelan sudah berada didepan pandanganku. Deretan barisan depan diisi oleh anak-anak kecil yang berias bali yang sungguh menggemaskan. Kemudian barisan berikutnya diisi remaja-remajanya dan juga pemudi yang berajak dewasa. Mataku jadi segar melihat gadis-gadis bali yang cantik-cantik dengan balutan busana dan riasan bali. Tak ayal kenapa Bali juga dikenal akan budaya dan adatnya. Dari banyaknya gempuran budaya asing yang dibawa turis-turis mancanegara, namun Bali tetap mempertahankan adat dan budayanya sendiri. Dalam hati aku tak henti-hentinya berdecak kagum menyaksikan salah satu tradisi budaya Bali. Jujur aku berniat ingin menetap di Pulau ini saja.

Tanpa sengaja netraku menangkap seseorang yang wajahnya tak asing dimataku. Aku membuka kacamata hitam yang ku pakai lalu menajamkan pandanganku pada salah satu dari gadis yang berjejer itu.

Gadis itu. Ya, gadis itu adalah gadis yang ku temui di pantai Sanur. Dialah yang aku cari-cari kini berada di depan mataku. Walaupun dalam riasan wajah, aku masih mengenal betul parasnya.

Kebetulan saja dia berhenti sejenak tepat didepannku karena barisan didepannya sedikit macet jalannya. Aku terpaku, mataku tak berkedip sedikitpun menatapnya yang cantiknya bertambah berkali lipat dalam balutan kain prada dan riasan bali. Bibir tipisnya dengan lipstik yang tak begitu merah, tersenyum manis melelehkan hati. Kami sempat bertemu pandang membuat detak jantungku berdetak cepat menabrak tulang rusukku. Aku seperti susah bernapas, seakan udara disekitarku lenyap.

Hingga deretan barisan itu kembali berjalan dan membuat gadis itu semakin menjauh dari pandanganku. Sampai gerombolan gambelan kembali terdengar diiringan paling belakang dan berlalu. Orang-orang yang menoton dipinggir jalan pun bubur dan arus kendaraan kembali normal melintas.

Aku mengerjapkan mataku berkali-kali dan meraup udara mengisi rongga paru-paru. Ini serasa mimpi bagiku. Aku berusaha menetralkan detak jantungku. Aku masih tidak percaya bisa bertemu dengannya lagi disaat aku sudah mulai mengabaikannya.

Sial. Kenapa aku tidak memotretnya tadi. Setidaknya ada foto wajahnya digaleri ponselku. Aku menyesal dan merutuki diriku yang bodoh ini. Aku terlalu terbuai dengan kecantikannya itu bak Bidadari menurutku. Sehingga lupa dan tak terpikirkan untuk memotretnya.

Aku jadi mengetahui alasannya kenapa dia tidak ku temui dipantai Sanur. Ternyata sedang mengikuti upacar adat keagamaan seperti ini.

Walaupun belum tahu namanya, setidaknya aku bisa melihatnya sebelum aku balik ke Jakarta sore ini. Keinginanku menetap disini semakin besar. Tapi apalah daya aku masih punya banyak urusan di Jakarta. Semoga saja nanti saat aku kembali ke Bali ini aku bisa bertemu dan berkenalan dengannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun