Mohon tunggu...
Diah Budiari
Diah Budiari Mohon Tunggu... Freelancer - Writer

Hobi Nulis Cerpen & Novel. Suka ngelamun

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gadis Bali

23 Juli 2023   14:36 Diperbarui: 23 Juli 2023   14:40 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alarm berdering manarik jiwaku dari alam mimpi ke duania nyata ini. Tangannku meraba-raba nakas mencari benda pipih itu yang sedang berisik pagi-pagi begini. Begitu aku meraih ponsel milikku itu, aku segera mengusap layarnya hingga ringingan berisik alarm itu mati. Aku menaikan selimut tebal yang melorot untuk menutupi tubuhku dan mencari posisi yang nyaman ingin terlelap kembali. Detik berikutnya mataku terbelalak bangun dan tubuhku tepenjat duduk. Aku kembali teringat pada gadis itu. Hari ini aku harus bertemu dengannya, tekadku bulat. Langsung saja ku menyibak selimut yang menutupi sebagian tubuh ini lalu terbirit ke kamar mandi dan bergegas bersiap pergi ke pantai itu lagi.

Keluar dari Villa dengan mengendarai motor Nmax sewaan menuju ke pantai Sanur. Udara pagi ini terasa segar. Ku hirup napas dalam-dalam hingga memenuhi rongga paru-paru lalu ku hembuskan perlahan sembari mengendarai motor dengan kecepatan tidak ngebut maupun pelan. Di Jakarta, Aku belum pernah merasakan udara sesegar ini. Mencium aroma wanginya dupa yang menenangkan hati dan berkendara bebas tanpa takut macet. Disepanjang perjalanan menuju pantai aku mendengar alunan mantram Puja Tri Sandya umat Hindu, melintasi pasar yang begitu ramai dan juga melihat ada orang yang sedang menghaturakan sesajen menurut kepercayaan agama Hindu, didepan rumahnya.

Tak terasa aku sudah tiba diparkiran pantai Sanur. Setelah mematikan motor, Ku lepaskan helm yang melekat dikepala terlebih dahulu. Aku mengucek kedua mataku yang masih terasa mengantuk. Mulut menguap lebar sembari merenggangkan semua otot-otot dengan posisi yang masih duduk diatas motor. Aku melirik jam tangan yang melingkar dipergelangan tangan kiriku yang sudah menunjukkan pukul 06.30 WITA. "Semoga aja bisa ketemu hari ini," gumamku turun dari motor.

Kakiku melangkah menuju ke pantai. Bau asin air laut menyambut indra penciumannku. Kaki beralasan sandal jepit yang masih baru menyentuh pasir putih. Matahari sudah terbit sepenuhnya dan terlihat indah dilangit timur. Hari ini pantai lebih ramai pengunjung dari hari kemarin karena hari ini adalah hari minggu.

Aku mengedarkan pandanganku ke segala arah dan mengamati satu persatu pedagang lumpia yang ada. Aku berjalan pelan sambil menoleh-noleh mencari keberadaannya. Hingga aku sampai diujung selatan dan balik lagi ke utara namun belum juga menemukannya maupun keberadaan Ibunya yang menjadi pedagang lumpia.

Perutku jadi keroncongan butuh asupan makanan. Pergi dari Villa aku memang belum menyentuh makanan sama sekali. Hanya tiga teguk air putih saja tadi di kamar inap. Satu pedagang yang membuatku tertarik karena banyak pengunjung yang mengerubunginya. Aku sangat penasaran apa yang dijualnya hingga banyak yang antre seperti itu. Daipada penasaran, langsung saja aku mendekati pedagang itu. Aku sedikit mengintip dari banyaknya orang berdiri mengelilingi pedagang itu yang berjualan diatas pasir putih ini. Aku melirik salah satu pengunjung yang sudah menerima pesanannya. Bubur putih dengan sambal kuning seperti ada parutan kelapanya ditambah sayur urap diatasnya yang beralasan daun pisang. Tampaknya sangat enak dijadikan sarapan. Aroma gurih dari pedagang bubur itu membuat lidahku tergiur ingin mencecipinya segera. Cuma di Bali aku menemukan pedagang bubur dengan berjualan duduk diatas pasir pantai.

"Bu, buburnya satu porsi," ujarku yang akhirnya mendapat giliran.

"Lalah ngih?" tanya Ibu pedagang itu yang membuat aku bingung karena aku tidak mengerti berbahasa Bali.

"Hah? Maksudnya Bu? Maaf Bu saya tidak bisa bahasa Bali," jawabku cengengesan.

"Eh, Maaf nggih. Maksudnya ini pedes apa enggak?" ujar Ibu itu dengan logat Balinya kental.

"Ouh. Iya pedes Bu," balasku sambil mengangguk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun