Il Principe berpandangan bahwa pangeran dalam suatu kekuasaan dapat mengontrol pemerintahan kekuasaannya dengan berbagai macam cara, seperti perkataan Machiavelli tentang kekuasaan yang tak terhindarkan. "Penguasa dicintai atau penguasa ditakuti," adalah pernyataannya yang menyoroti beragam cara untuk menjaga stabilitas dan kedaulatan rakyat dalam suatu negara.
Sebuah perjalanan sejarah menggambarkan transisi kekuasaan dari monarki, di mana seorang raja dengan gigih berusaha mewariskan tongkat estafet kekuasaannya kepada keturunannya, terutama pangerannya. Keberlanjutan monarki membutuhkan perlindungan dan pemeliharaan yang sungguh-sungguh agar tak tergoyahkan.
Namun, dalam lintasan sejarah yang penuh dinamika ini, muncul kerumitan ketika mencoba mengaitkan dua konsep yang tampaknya berlawanan: konsep pangeran (yang mewarisi kekuasaan dari raja) dan konsep demokrasi (dari rakyat untuk rakyat). Apakah demokrasi di suatu negara dapat memastikan keseimbangan dan menghindari peran tak terlihat monarki yang telah menyusup dalam denyut nadi negara demokrasi.
Kelanjutan dari pada kekuasaan dalam negara demokrasi harus berasal dari pemilihan rakyat ke rakyat untuk rakyat. Namun dengan pilihan yang mana kita dipaksa untuk memilih kepemimpinan tanpa sadar dengan unsur monarki, yaitu bapak ke anak dalam sistem kerajaan.
Jika kita mengesampingkan tentang monarki dalam demokrasi secara munafik maka ini tidak ada aturannya namun secara kenyataan di bawah alam sadar ini sudah terjadi pada suatu negara demokrasi yang di mana bentuk kekuasaan tidak terlepas dari golongan dari sang penguasa utama.
Dalam dunia demokrasi, kita sering menganggap bahwa pemilihan umum adalah penentu nasib, namun tahukah kita bahwa, tanpa disadari, kita terjebak dalam benang-benang pewarisan kekuasaan ala monarki?
Pandangan ini terasa semakin nyata ketika melihat keterlibatan presiden beserta keluarganya, bahkan hingga generasi berikutnya, yang menjadi ikatan tak terlihat dalam proses demokrasi. Konsep Pangeran yang menakutkan, sebagaimana yang diuraikan oleh Machiavelli, telah menjadi kenyataan dalam negara demokrasi, menciptakan kegaduhan di antara elite politik. namun secara undang-undang negara demokrasi hal ini tidak dapat dibahas dalam hukum karena demokrasi melepas monarki walaupun dalam demokrasi yang menjalankannya adalah mereka yang berdarah sama.
Contoh konkret dari negara demokrasi, Indonesia, yang diatur oleh undang-undang. Secara teori, pergantian penguasa, atau lebih spesifiknya, pergantian presiden, dilakukan melalui pemilihan umum (pemilu), yang melibatkan aktor-aktor demokrasi atau para politisi. Mereka muncul dari berbagai wadah politik, baik partai politik maupun birokrasi politik yang terjalin dari tingkat bawah ke atas, berdasarkan putusan MK bahwa calon presiden dan cawapres berusia minimal 40 tahun atau yang sudah pernah menjadi Kepala Daerah. Konsep demokrasi ini jelas tetap mengikat tanpa melanggar hukum demokrasi.
Jikalau kita mengambil konteks moral dan etika/etis politik, maka apakah hal ini bisa lumrah dalam negara demokrasi? Ya hal ini menjadi tanda tanya yang sadar seperti tabu tapi tidak ada pelanggaran hukum di dalamnya namun secara sosial ini menjadi dampak yang besar dalam demokrasi.
Indonesia, pada tahun 2024 akan dilaksanakan Pemilu untuk mencari presiden ke 8, capres dan cawapres dari masing-masing Partai pengusung sudah mendeklarasikan. Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, Ganjar dan Mahmud MD, serta yang menjadi dinamika negara semakin megah yaitu Prabowo dan Gibran.
Sebagaimana kita mengetahui Gibran dikenal sebagai Wali Kota Solo atau secara pribadi ia adalah anak dari presiden ke-7 yaitu Jokowi. Jelas secara konteks anak maju bertarung sebagai salah satu penguasa, yang di mana ayahnya adalah presiden saat ini.