Mohon tunggu...
Dhiyaulhaq Syahrial Ramadhan
Dhiyaulhaq Syahrial Ramadhan Mohon Tunggu... Lainnya - Family Law

Kenali lebih dekat @dhiyaaul.haq

Selanjutnya

Tutup

Politik

Il Principe: Dinamika Realitas Politik dalam Era Demokrasi

23 Januari 2024   17:25 Diperbarui: 23 Januari 2024   17:32 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Begitu kita memasuki lorong sejarah politik, Niccol Machiavelli muncul sebagai sosok yang tak terlupakan. Seorang diplomat, politikus, dan filsuf asal Italia, Machiavelli mengukir namanya sebagai ahli teori dan peran utama dalam realitas teori politik. Ketika pada masa Renaisans, ia sangat disegani di Eropa.

Dua karyanya yang legendaris, "Discorsi Sopra la Prima Deca di Tito Livio" dan "Il Principe" (Sang Pangeran), tidak hanya menjadi penjelas harapan untuk menyembuhkan gejolak pemerintahan di Italia Utara, tetapi juga merambat menjadi buku panduan dalam merajut politik pada masa itu. Bahkan kini, teorinya meresap dalam peradaban kita, menjadi katalisator tak terlihat dalam tari politik yang kita saksikan setiap hari.

Il Principe, Niccol Machiavelli membuka tirai ke dunia rahasia kekuasaan politik. Ditulis pada tahun 1513, karya ini bukan sekadar kumpulan kata-kata kuno, melainkan sebuah panduan intelektual yang merinci tindakan yang harus diambil untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan.

Buku ini menyibak rahasia pemerolehan, pelestarian, dan penggunaan kekuasaan politik di dunia Barat pada masa pemerintahan monarki. Namun, pesan-pesan Machiavelli tidak terkungkung oleh waktu atau tatanan politik masa lampau. Il Principe mampu menyerap ke dalam tanah subur konteks negara demokrasi modern saat ini.

Jika kita merenung pada esensi negara, satu unsur krusial yang muncul adalah kebutuhan akan stabilitas. Pandangan ini tidak hanya terbatas pada masa Niccol Machiavelli dalam Il Principe, tetapi merayap melintasi zaman, menyentuh panggung politik negara demokrasi modern.

Machiavelli, dalam pandangannya, mengukuhkan pentingnya stabilitas wilayah bagi seorang pangeran atau penguasa. Di dalam dinamika politik negara demokrasi, stabilitas politik tidak hanya menjadi penopang keberlanjutan pemerintahan, tetapi juga fondasi kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Ketika kita mengarahkan pandangan ke relung moralitas dalam politik, sudut pandang Machiavelli membawa kita ke dalam paradoks yang mencengangkan. Realitas politik, seperti yang diuraikannya, seringkali melibatkan keputusan-keputusan yang bertentangan dengan standar moralitas yang dianut oleh masyarakat umum. Kita dihadapkan pada dilema etis, di mana kebijakan politik seringkali memerlukan langkah-langkah yang dapat dipersepsikan sebagai tidak bermoral demi mempertahankan kekuasaan dan kestabilan Negara.

Dalam panggung politik negara demokrasi, antara moralitas dan etika keputusan politik memainkan peran sentral. Pemimpin dihadapkan pada dinamika yang kompleks, di mana pertimbangan moral dan etika perlu diakomodasi, bahkan ketika keputusan yang diambil terkadang memerlukan langkah-langkah yang melewati batas moral untuk mempertahankan kekuasaan dan kestabilan Negara.

Menengok lebih jauh dalam konsep demokrasi yang berakar pada prinsip "dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat," kita masuki ranah di mana kedaulatan berada di tangan rakyat. Ini adalah fondasi konsep politik di negara demokrasi, sebuah realitas yang tidak terkecuali di negara seperti Indonesia.

Prinsip ini dapat dilihat dari penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) dan pelaksanaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia  dengan konteks ini, pemimpin negara demokrasi harus mampu memimpin dan mempertahankan kekuasaan dengan memprioritaskan kepentingan rakyat.

Melalui proses pemilu, masyarakat memiliki suara dalam menentukan pemimpin mereka, sebuah aspek inti dari konsep demokrasi yang menempatkan kedaulatan di tangan rakyat. Sementara itu, pelaksanaan UUD NRI 1945 menjadi pedoman esensial yang mengarahkan kebijakan dan tindakan pemerintah, memastikan bahwa setiap langkah yang diambil sejalan dengan prinsip-prinsip dasar negara.

Il Principe berpandangan bahwa pangeran dalam suatu kekuasaan dapat mengontrol pemerintahan kekuasaannya dengan berbagai macam cara, seperti perkataan Machiavelli tentang kekuasaan yang tak terhindarkan. "Penguasa dicintai atau penguasa ditakuti," adalah pernyataannya yang menyoroti beragam cara untuk menjaga stabilitas dan kedaulatan rakyat dalam suatu negara.

Sebuah perjalanan sejarah menggambarkan transisi kekuasaan dari monarki, di mana seorang raja dengan gigih berusaha mewariskan tongkat estafet kekuasaannya kepada keturunannya, terutama pangerannya. Keberlanjutan monarki membutuhkan perlindungan dan pemeliharaan yang sungguh-sungguh agar tak tergoyahkan.

Namun, dalam lintasan sejarah yang penuh dinamika ini, muncul kerumitan ketika mencoba mengaitkan dua konsep yang tampaknya berlawanan: konsep pangeran (yang mewarisi kekuasaan dari raja) dan konsep demokrasi (dari rakyat untuk rakyat). Apakah demokrasi di suatu negara dapat memastikan keseimbangan dan menghindari peran tak terlihat monarki yang telah menyusup dalam denyut nadi negara demokrasi.

Kelanjutan dari pada kekuasaan dalam negara demokrasi harus berasal dari pemilihan rakyat ke rakyat untuk rakyat. Namun dengan pilihan yang mana kita dipaksa untuk memilih kepemimpinan tanpa sadar dengan unsur monarki, yaitu bapak ke anak dalam sistem kerajaan.

Jika kita mengesampingkan tentang monarki dalam demokrasi secara munafik maka ini tidak ada aturannya namun secara kenyataan di bawah alam sadar ini sudah terjadi pada suatu negara demokrasi yang di mana bentuk kekuasaan tidak terlepas dari golongan dari sang penguasa utama.

Dalam dunia demokrasi, kita sering menganggap bahwa pemilihan umum adalah penentu nasib, namun tahukah kita bahwa, tanpa disadari, kita terjebak dalam benang-benang pewarisan kekuasaan ala monarki?

Pandangan ini terasa semakin nyata ketika melihat keterlibatan presiden beserta keluarganya, bahkan hingga generasi berikutnya, yang menjadi ikatan tak terlihat dalam proses demokrasi. Konsep Pangeran yang menakutkan, sebagaimana yang diuraikan oleh Machiavelli, telah menjadi kenyataan dalam negara demokrasi, menciptakan kegaduhan di antara elite politik. namun secara undang-undang negara demokrasi hal ini tidak dapat dibahas dalam hukum karena demokrasi melepas monarki walaupun dalam demokrasi yang menjalankannya adalah mereka yang berdarah sama.

Contoh konkret dari negara demokrasi, Indonesia, yang diatur oleh undang-undang. Secara teori, pergantian penguasa, atau lebih spesifiknya, pergantian presiden, dilakukan melalui pemilihan umum (pemilu), yang melibatkan aktor-aktor demokrasi atau para politisi. Mereka muncul dari berbagai wadah politik, baik partai politik maupun birokrasi politik yang terjalin dari tingkat bawah ke atas, berdasarkan putusan MK bahwa calon presiden dan cawapres berusia minimal 40 tahun atau yang sudah pernah menjadi Kepala Daerah. Konsep demokrasi ini jelas tetap mengikat tanpa melanggar hukum demokrasi.

Jikalau kita mengambil konteks moral dan etika/etis politik, maka apakah hal ini bisa lumrah dalam negara demokrasi? Ya hal ini menjadi tanda tanya yang sadar seperti tabu tapi tidak ada pelanggaran hukum di dalamnya namun secara sosial ini menjadi dampak yang besar dalam demokrasi.

Indonesia, pada tahun 2024 akan dilaksanakan Pemilu untuk mencari presiden ke 8, capres dan cawapres dari masing-masing Partai pengusung sudah mendeklarasikan. Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, Ganjar dan Mahmud MD, serta yang menjadi dinamika negara semakin megah yaitu Prabowo dan Gibran.

Sebagaimana kita mengetahui Gibran dikenal sebagai Wali Kota Solo atau secara pribadi ia adalah anak dari presiden ke-7 yaitu Jokowi. Jelas secara konteks anak maju bertarung sebagai salah satu penguasa, yang di mana ayahnya adalah presiden saat ini.

Mungkin dalam hukum birokrasi, unsur ayah dan jabatan adalah hal yang terpisah, maka konsep monarki tidak ada di demokrasi ini. Namun secara sosial dan diketahui secara nasional bahwa mereka masih memiliki ikatan darah, ya secara opini mungkin ada baiknya dan sebaliknya.

Tidak salah dalam hal ini menurut hukum yang ada, namun apakah etis dalam situasi ini? Hukum dan demokrasi saling mengikat, mau tidak mau harus dijalani. Baik dan buruknya ya ini akan menjadi penentu moralitas bangsa ke depannya.

Sebagai masyarakat yang bercita-cita emas di 2045, maka kita perlu memahami konsep ini, apakah ini jelas terjadi monarki dalam demokrasi atau ini menjadi proses demokrasi untuk perkembangan ke depan dengan alasan bahwa generasi muda perlu terjun ke dalam penentu arah bangsa ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun