Mohon tunggu...
Dhiya UlHaqqi
Dhiya UlHaqqi Mohon Tunggu... Ilmuwan - Tukang Ngobrol

Psikologi Industri Organisasi, Psikologi Sosial Budaya

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mengenali Bias Kognitif: Tantangan dalam Menggunakan Konsep berpikir Rasional dalam Pemilihan CALEG

21 Juli 2023   16:44 Diperbarui: 21 Juli 2023   16:51 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemilihan anggota legislatif merupakan momen krusial dalam kehidupan politik suatu negara. Saat pemilihan, masyarakat memiliki kesempatan untuk memilih para wakil rakyat yang akan mewakili kepentingan dan aspirasi mereka di lembaga legislatif. Proses pemilihan ini tidak hanya mempengaruhi arah kebijakan publik, tetapi juga menentukan bagaimana pemerintahan akan berfungsi dan berinteraksi dengan rakyatnya.

Salah satu aspek penting dalam menghadapi pemilihan anggota legislatif adalah kemampuan untuk berpikir secara rasional. Berpikir rasional berarti mendasarkan pemilihan kita pada data, informasi, dan analisis objektif, tanpa dipengaruhi oleh emosi, opini populer, atau pandangan kelompok tertentu. Namun, di dunia nyata, berpikir rasional sering kali dihadapkan pada tantangan besar, salah satunya adalah adanya bias kognitif.

Bias kognitif merujuk pada kesalahan pemikiran yang terjadi karena otak kita cenderung mengambil pintasan dalam pemrosesan informasi. Akibatnya, keputusan yang diambil sering kali dapat dipengaruhi oleh persepsi dan pemahaman yang terdistorsi. Bias kognitif dapat menyebabkan kita mengabaikan data yang relevan, terlalu percaya pada informasi yang sesuai dengan keyakinan kita, atau mengikuti arus massa tanpa melakukan evaluasi kritis terlebih dahulu.

Pentingnya memahami konsep berpikir rasional dalam pemilihan anggota legislatif tidak bisa dianggap enteng. Jika masyarakat tidak mampu mengenali dan mengatasi bias kognitif, risiko kesalahan dalam memilih calon legislatif yang tidak tepat akan semakin tinggi. Dampaknya tidak hanya berdampak pada diri sendiri, tetapi juga pada masyarakat luas dan masa depan negara.

Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi lebih dalam mengenai apa itu bias kognitif dan bagaimana hal tersebut dapat mempengaruhi proses pemilihan anggota legislatif. Selain itu, kita akan memahami konsep berpikir rasional, pentingnya menerapkannya dalam pemilihan, serta strategi untuk mengenali dan mengatasi bias kognitif agar kita dapat memilih para calon legislatif secara lebih bijaksana dan bertanggung jawab.

Bagaimana bias kognitif dapat mempengaruhi proses pemilihan?

Dalam proses pengambilan keputusan, manusia sering kali mengandalkan pola pikir dan penilaian yang berdasarkan pada pengalaman, pengetahuan, dan keyakinan pribadi. Namun, perlu diingat bahwa otak kita memiliki kecenderungan alami untuk mengambil pintasan dalam memproses informasi. Fenomena ini disebut dengan bias kognitif.

Bias kognitif adalah kesalahan sistematis dalam pemikiran yang muncul ketika kita memproses informasi dan membuat keputusan. Bias ini dapat timbul karena berbagai faktor, seperti pengalaman masa lalu, pandangan politik, kepercayaan agama, atau norma sosial yang telah tertanam dalam diri kita. Sebagai akibatnya, bias kognitif dapat menghasilkan penilaian yang tidak objektif dan tidak rasional. 

Terjadinya bias kognitif sehingga mempengaruhi objektifitas pemilihan di karenakan antara lain:

  1. Pemilihan Berdasarkan Identitas: Bias kognitif seperti "favoritisme kelompok" dapat menyebabkan kita cenderung memilih calon yang berasal dari kelompok sosial, agama, atau etnis yang sama dengan kita, tanpa mempertimbangkan kualifikasi dan rekam jejaknya.

  2. Konfirmasi Kecenderungan (Confirmation Bias): Ini adalah kecenderungan untuk mencari informasi yang mendukung keyakinan atau pandangan yang sudah kita miliki, sambil mengabaikan atau mengabaikan informasi yang bertentangan. Sebagai akibatnya, kita cenderung memilih calon yang sudah sesuai dengan pandangan politik kita tanpa melakukan evaluasi yang cermat terhadap fakta-fakta yang ada.

  3. Pengaruh Pilihan Kelompok (Groupthink): Dalam konteks sosial, kita cenderung terpengaruh oleh pandangan mayoritas di kelompok sosial kita. Jika kelompok kita memiliki preferensi politik tertentu, kita mungkin cenderung mengikuti pilihan kelompok tanpa melakukan analisis independen terhadap calon-calon yang ada.

  4. Pengaruh Media Sosial dan Algoritma: Algoritma media sosial dapat menciptakan lingkungan informasi yang menyajikan pandangan yang sudah sesuai dengan keyakinan kita. Ini bisa memperkuat bias kognitif kita dan membatasi eksposur kita terhadap sudut pandang yang berbeda.

Bagaimana bias kognitif membentuk pada kesalahan pemikiran yang terjadi dikarenakan otak kita cenderung mengambil pintasan dalam pemrosesan informasi?

Dalam menghadapi berbagai situasi dan informasi dalam kehidupan sehari-hari, otak manusia sering kali berusaha untuk melakukan pemrosesan informasi dengan cepat dan efisien. Namun, di balik usahanya yang efisien tersebut, otak kita cenderung mengambil pintasan atau melakukan simplifikasi yang dapat menyebabkan terjadinya bias kognitif.

Dengan tujuan efisiensi, sering kali mengambil pintasan dalam pemrosesan informasi untuk menghemat waktu dan usaha mental. Beberapa pintasan yang umum terjadi dalam pemrosesan informasi meliputi:  

  1. Heuristik Representatif: Ini adalah kecenderungan kita untuk menilai kemungkinan sesuatu berdasarkan sejauh mana objek atau kejadian tersebut "mewakili" atau cocok dengan gambaran mental kita tentang suatu kategori atau kelompok tertentu. Misalnya, jika calon legislatif memiliki wajah atau karakteristik fisik yang mirip dengan politisi terkenal yang dihormati, kita mungkin cenderung menganggapnya sebagai calon yang berpotensi baik, tanpa melihat secara objektif pada kualifikasinya.

  2. Heuristik Ketersediaan: Pintasan ini terjadi ketika kita cenderung memberikan bobot lebih besar pada informasi yang mudah diingat atau lebih mudah diakses di dalam ingatan kita. Jika kita sering terpapar informasi tentang calon tertentu melalui media sosial atau berita, kita mungkin lebih cenderung memilihnya tanpa mempertimbangkan secara menyeluruh kualitas dan keberhasilannya.

  3. Heuristik Afiliasi: Kita cenderung cenderung menyukai dan mempercayai orang-orang yang termasuk dalam kelompok atau asosiasi yang sama dengan kita. Jika calon legislatif berasal dari kelompok sosial atau politik yang sama dengan kita, kita mungkin cenderung memberikan dukungan tanpa mempertimbangkan kemampuan dan kompetensinya.

  4. Mental Shortcuts Lainnya: Selain heuristik di atas, ada banyak pintasan kognitif lainnya, seperti "efek bandwagon" (mengikuti arus mayoritas) atau "efek pilihan awal" (cenderung memilih opsi pertama yang diberikan).

Beberapa contoh umum dari bias kognitif yang sering muncul dalam pemilihan politik.

  • Kasus Pemilihan Berdasarkan Identitas

Contoh 1: Pemilihan Berdasarkan EtnisDalam pemilihan legislatif, seorang pemilih dari kelompok etnis tertentu mungkin cenderung memilih calon dari etnis yang sama dengan dirinya, karena merasa bahwa calon tersebut akan lebih memahami dan mewakili kepentingan kelompok etnis mereka. Meskipun calon dari kelompok etnis yang berbeda memiliki visi dan rencana yang lebih baik untuk masyarakat secara keseluruhan, pemilih dapat memilih calon dari etnisnya sendiri berdasarkan keyakinan bahwa mereka akan "berjuang" untuk kepentingan etnis tersebut.

Contoh 2: Pemilihan Berdasarkan AgamaSeorang pemilih yang menganut agama tertentu mungkin cenderung memilih calon yang juga beragama sama, tanpa mempertimbangkan kemampuan dan rekam jejak calon tersebut. Keyakinan bahwa calon yang beragama sama akan "memperjuangkan" nilai-nilai agama dan kepentingan agama mereka dapat mempengaruhi keputusan pemilihan mereka, bahkan jika calon tersebut tidak memiliki kualifikasi yang memadai.

Contoh 3: Pemilihan Berdasarkan Identitas GenderPemilih dapat memilih calon berdasarkan identitas gender, seperti memilih seorang calon wanita hanya karena dia juga wanita. Hal ini bisa terjadi tanpa memperhatikan visi politik, pengalaman, atau kapabilitas calon. Pandangan bahwa perwakilan gender tertentu harus diwakili oleh calon dari gender yang sama dapat menyebabkan terpilihnya calon yang kurang berkualitas.

  • Kasus Confirmation Bias

Confirmation bias atau bias konfirmasi adalah kecenderungan untuk mencari, mengingat, atau memperhatikan informasi yang mengkonfirmasi keyakinan atau pandangan yang sudah kita miliki, sambil mengabaikan atau mengesampingkan informasi yang bertentangan dengan pandangan kita. Berikut adalah contoh kasus confirmation bias dalam konteks pemilihan anggota legislatif:

Contoh 1: Media Sosial dan Informasi SelektifSeorang pemilih aktif di media sosial dapat terpapar pada konten-konten yang sejalan dengan pandangan politik atau preferensinya. Ketika ia melihat berita, artikel, atau opini yang mendukung pandangan politiknya, dia cenderung lebih cenderung untuk menganggap informasi tersebut sebagai benar dan meyakini bahwa calon yang diusung oleh kelompok yang sejalan dengan pandangannya adalah calon yang tepat. Pemilih ini mungkin mengabaikan atau bahkan tidak terpapar pada informasi yang menentang atau menyajikan sudut pandang berbeda, sehingga menyebabkan terjadinya confirmation bias dalam pemilihannya.

Contoh 2: Penilaian Terhadap Calon IncumbentSeorang pemilih yang telah mendukung atau memilih calon incumbent (petahana) pada pemilihan sebelumnya mungkin memiliki kecenderungan untuk mencari dan mengingat prestasi atau keberhasilan calon incumbent tersebut. Dia dapat mengabaikan atau tidak menaruh perhatian pada kelemahan atau kegagalan calon incumbent, atau bahkan membenarkan kegagalan tersebut dengan berbagai alasan. Hasilnya, pemilih ini cenderung membenarkan keputusannya untuk kembali mendukung calon incumbent berdasarkan konfirmasi positif yang dia alami, tanpa mempertimbangkan secara adil kinerja calon incumbent dan kualitas calon lain yang berkompetisi.

Contoh 3: Debat Politik dan Pilihan SelektifPemilih yang sudah memiliki pandangan politik atau preferensi tertentu dapat mengikuti debat politik antara calon-calon legislatif dengan pandangan yang sudah dibentuk sebelumnya. Selama debat, pemilih ini mungkin lebih cenderung untuk mencari dan mengingat argumen dan pernyataan yang mendukung pandangannya, sementara mengabaikan atau kurang mendengarkan argumen yang bertentangan. Akibatnya, pemilih ini akan cenderung mengukuhkan pandangannya dan memperkuat keyakinannya pada calon yang sejalan dengan pandangannya, tanpa memberikan perhatian yang sama pada pandangan atau kualitas calon lainnya.

  • Kasus Groupthink

Groupthink adalah fenomena di mana anggota kelompok atau tim cenderung mengambil keputusan yang seragam dan konsisten, karena mereka berusaha untuk mencapai kesepakatan dan konsensus, bahkan jika keputusan tersebut tidak rasional atau tidak tepat. Berikut adalah contoh kasus groupthink dalam konteks pemilihan anggota legislatif:

Contoh 1: Kelompok Dukungan KampanyeSebuah kelompok dukungan kampanye yang terdiri dari para pendukung seorang calon tertentu dapat mengalami groupthink. Dalam upaya untuk mencapai kesatuan pendapat dan soliditas di antara anggota kelompok, mereka mungkin mengecilkan kritik atau kelemahan calon mereka dan lebih fokus pada kelebihan dan kualitas positifnya. Hal ini dapat menyebabkan anggota kelompok menutup diri terhadap informasi yang kontra atau kritik yang konstruktif, dan berujung pada keputusan yang tidak objektif dalam memilih calon tanpa melakukan analisis yang mendalam.

Contoh 2: Partai PolitikDalam partai politik, anggota partai cenderung berbagi nilai-nilai politik dan visi yang sama. Namun, jika ada sejumlah anggota yang mendukung calon tertentu dalam pemilihan partai, bisa saja terjadi groupthink di mana anggota partai cenderung "mengikuti arus" dan mendukung calon yang sudah populer tanpa melakukan evaluasi independen terhadap kualifikasi dan rekam jejak calon.

Contoh 3: Diskusi Kelompok KampanyeSebuah tim kampanye politik yang beranggotakan beberapa staf kampanye yang loyal terhadap calon mungkin mengalami groupthink. Dalam diskusi strategi kampanye, jika seorang anggota tim menyampaikan kritik atau opini berbeda, anggota lain mungkin ragu-ragu untuk menyuarakan perspektif yang berbeda demi menjaga keharmonisan tim. Hal ini dapat menyebabkan diskusi yang dangkal dan mempengaruhi keputusan strategis kampanye yang tidak berdasarkan analisis mendalam.

  • Kasus Pengaruh Media Sosial dan Algoritma dalam Pemilihan Anggota Legislatif

Media sosial dan algoritma yang digunakan dalam platform-platform tersebut memiliki peran penting dalam mempengaruhi persepsi dan perilaku pemilih dalam pemilihan anggota legislatif. Berikut adalah beberapa contoh kasus pengaruh media sosial dan algoritma:

Contoh 1: Filter Bubble (Gelembung Filter)Media sosial menggunakan algoritma yang canggih untuk menampilkan konten yang dianggap relevan atau menarik bagi setiap pengguna. Akibatnya, pemilih cenderung terperangkap dalam apa yang disebut "filter bubble" atau gelembung filter, di mana mereka hanya terpapar pada opini, berita, dan pandangan politik yang sesuai dengan keyakinan dan preferensinya. Misalnya, jika seorang pemilih sering berinteraksi dengan konten atau postingan yang mendukung calon tertentu, media sosial cenderung menampilkan lebih banyak konten yang mendukung calon tersebut dan mengurangi paparan pada pandangan yang berbeda.

Contoh 2: Disinformasi dan HoaksPemilihan anggota legislatif sering kali disertai dengan tersebarnya disinformasi dan hoaks di media sosial. Algoritma media sosial dapat memperkuat penyebaran informasi palsu dengan memberikan prioritas pada konten yang viral atau kontroversial. Sebagai hasilnya, pemilih dapat terpengaruh oleh informasi palsu tentang calon atau partai tertentu, dan keputusan mereka dalam pemilihan dapat dipengaruhi oleh informasi yang tidak valid atau tidak benar.

Contoh 3: Targeted Advertising (Iklan Berujung Sasaran)Platform media sosial sering digunakan oleh kampanye pemilihan untuk menargetkan pemilih potensial dengan iklan berujung sasaran. Algoritma media sosial memungkinkan kampanye untuk mengidentifikasi dan mencapai kelompok-kelompok pemilih tertentu berdasarkan data demografis, perilaku online, dan preferensi politik. Ini dapat menyebabkan pemilih menerima pesan kampanye yang disesuaikan dengan preferensinya, yang bisa mempengaruhi cara pandang dan keputusan pemilihan mereka.

Langkah-langkah praktis untuk mengatasi bias kognitif dan menerapkan konsep berpikir rasional dalam pemilihan anggota legislatif.

 

Mengatasi bias kognitif dan menerapkan konsep berpikir rasional dalam pemilihan anggota legislatif merupakan langkah kritis untuk memastikan keputusan pemilihan yang bijaksana dan berdasarkan analisis yang objektif. Berikut adalah beberapa langkah praktis yang dapat diambil oleh pemilih untuk mengatasi bias kognitif dan menerapkan konsep berpikir rasional dalam pemilihan calon:

1. Kesadaran akan Bias Kognitif: Langkah pertama adalah menyadari adanya bias kognitif. Pemilih harus mengakui bahwa kita semua rentan terhadap bias ini dan bahwa kesadaran akan adanya bias dapat membantu kita menjadi lebih kritis terhadap cara kita memproses informasi.

2. Pendidikan Politik: Tingkatkan pendidikan politik dengan memahami isu-isu penting dan kompleks yang dihadapi masyarakat dan calon-calon legislatif. Dengan memahami isu-isu ini secara lebih mendalam, pemilih akan lebih mampu menilai calon-calon berdasarkan kompetensi mereka dalam menangani isu-isu tersebut.

3. Pemilahan Informasi: Pemilih harus aktif dalam mencari informasi dari berbagai sumber yang kredibel dan beragam. Hindari mengandalkan satu sumber berita atau platform media sosial tertentu yang mungkin terjebak dalam gelembung filter. Dengan memilah informasi dari berbagai sumber, pemilih dapat memperoleh gambaran yang lebih objektif tentang calon-calon dan isu-isu politik.

4. Periksa Fakta: Selalu periksa kebenaran dan keakuratan informasi sebelum mempercayainya. Verifikasi fakta adalah langkah penting dalam menghindari penyebaran disinformasi dan hoaks yang dapat mempengaruhi persepsi dan keputusan pemilihan.

5. Dengar dan Pertimbangkan Sudut Pandang Berbeda: Jangan hanya mendengarkan pandangan atau pendapat yang sejalan dengan keyakinan Anda. Luangkan waktu untuk mendengarkan sudut pandang berbeda dari kelompok pemilih, partai politik, atau analisis independen. Pertimbangkan argumen yang berbeda secara kritis sebelum membuat keputusan.

6. Evaluasi Kualifikasi dan Rekam Jejak Calon: Evaluasi kualifikasi dan rekam jejak calon secara obyektif. Pertimbangkan pengalaman, prestasi, dan kompetensi mereka dalam menghadapi isu-isu yang relevan dengan kebutuhan masyarakat.

7. Diskusi Terbuka: Diskusikan pandangan dan pemikiran Anda dengan orang lain yang memiliki pandangan politik yang berbeda. Diskusi terbuka dan konstruktif dengan orang lain dapat membantu memperluas wawasan dan melihat sudut pandang yang mungkin tidak pernah dipertimbangkan sebelumnya.

8. Evaluasi Diri Sendiri: Pertimbangkan kembali preferensi politik dan keyakinan Anda secara berkala. Tanyakan pada diri sendiri apakah keputusan Anda didasarkan pada berpikir rasional atau dipengaruhi oleh bias kognitif. Selalu berusaha untuk menjadi lebih kritis dan terbuka terhadap informasi yang berbeda.

9. Jangan Terjebak dalam Efek Bandwagon: Hindari terjebak dalam efek bandwagon, di mana Anda hanya mengikuti arus mayoritas atau popularitas calon. Berpikir secara mandiri dan independen dalam pemilihan Anda.

10. Tetap Tenang dan Bertanggung Jawab: Saat berhadapan dengan kampanye politik yang berapi-api, tetap tenang dan bertanggung jawab dalam menyampaikan informasi atau pendapat. Jangan terbawa emosi yang bisa mempengaruhi keputusan pemilihan Anda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun