Mohon tunggu...
Uniek Widyarti
Uniek Widyarti Mohon Tunggu... -

belajar menjadi manusia pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Juni

26 November 2017   06:15 Diperbarui: 26 November 2017   08:13 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pic taken from soncenayang.blogspot.com

Terkadang cinta yang biasa membuat seserorang menjadi luar biasa

Juni yang mendung waktu itu. Si mbok terpogoh pogoh setengah berlari.menggendong si bungsu yang terlelap.

"Sri, ganti bajumu"

Suara si mbok pelan

Setelah membaringkan bungsu di dipan beralas  tikar, si mbok memegang bahuku. Aku terdiam sembari menatap mata simbok yang berkaca.

"Maafkan simbok nak. Simbok tak tahu harus berbuat apa lagi."

Aku hampir menangis, ingin menjerit keras, namun ada sesuatu yang tertahan. Hanya lelehan air mata yang mampu kukeluarkan.

"Kemasi barangmu, sebentar lagi mereka menjemputmu." Lanjut simbok sambil mengusap sesuatu di pipinya.

Badanku lemas, lunglai seluruh persendian. Badanku terasanringan, tak bertenaga. Mimpiku semalam menjadi kenyataan.

Kupungut satu persaatu kain di lemari  triplek yang sebetulnya tak pantas disebut lemari. Lalu membungkusnya pada sebuah kain jarit yang setiap malam kugunakan sebagai selimut.

Si mbok memelukku dari belakang. Air mata kami sama sama deras. Aku berbalik dan memeluk simbok lebih erat.

"Mboookkk"

^^^

Suara ketukan pintu yang sebetulnya kuberharap ditunda bahkan tak pernah ada, kini nyata. Simbok bilang, "sekarang sudah saatnya."

Semakin erat aku memeluk simbok. Berharap si mbok punya kekuatan untuk mempertahankan aku. Berharap ada keajaiban dengan datangnya pendekar yang akan membelaku seperti sandiwara radio yang setiap malam kudengar.

Namun, ini realita....

Sungguh berat kaki ini melangkah. Empat orang pengawal Tuan Jamin siap membawaku kerumah yang biasa kami sebut Istana Desa. Kuhentikan langkah dan berbalik, simbok tampak sendu bersender di kusen pintu.

Sama seperti mimpiku semalam. Mata mata tetangga menatap. Aku tahu  jantung merekapun berdegup kencang. Termasuk dua sahabatku,  Lastri dan Racik, aku hanya dapat melewati kedua sahabatku menangis.  Entah aku gadis keberapa yang mereka bawa ke istana desa. Tak ada yang kembali ke kampung halaman ketika kaki telah menapak disana

^^^

Disebuah malam ketika aku dan para rewang  hendak melepas penat dan melihat gubuk kami  dalam mimpi. Mbok Jam, memanggilku. Ia mengajakku menemui Tuan Jamin. Setelah mengetuk pintu, kami berdua menundukkan kepala merebahkan lutut di lantai dan menyeretnya mendekat penguasa istana desa.

"Besok aku akan menikahimu"

Aku hanya tertunduk, tak berani mengangkat kepala apalagi menolak rencana Tuan Jamin. Dadaku berdetak kencang, keringat dingin mengucur di badan. Aku gemetar,  Betapa ingin menjerit dan mengatakan tidak. Tak terpikirkan olehku menikah di usia yang belia apalagi dengan seorang tuan yang terkenal bengis dan kejam.

Namun, Bisa apa aku..Aku tak bisa apa apa.

Tibalah hari itu....

Mata mata cemburu mulai kudapati di segenap sudut rumah mewah ini. Kesembilan istri  menyambut Tuan Jamin yang menggandeng erat tanganku. Kini aku menjadi nyonya kesepuluh. Nyonya muda Tuan Jamin.

Hari hari kulalui menjadi istri baru Tuan. Aku yang termuda. 14 tahun usiaku. Tuan selalu berkata padaku, bahwa ia menyayangiku. Tuan selalu berbicara, entah magnet apa yang ada pada diriku hingga ia pun menjatuhkan pilihan padaku. Tuan pun mengatakan, bahwa aku berbeda dari istri istri yang lain, dan akupun tak mau tau perbedaan apa yang Tuan maksudkan.

Meski aku menjadi nyonya di Istana ini, namun aku tetap memanggil suamiku dengan sebutan "Tuan".

Suatu hari, kami semua, Tuan dan para istrinya berkumpul untuk makan malam. Api cemburu para nyonya semakin berkibar. Apalagi Tuan selalu mendahulukanku di meja makan yang penuh dengan panganan.  Miris, ketika aku melihat gadis gadis seusiaku menjadi pelayan di  desa ini. Mereka tak pernah tahu lagi bagaimana dunia luar. Mereka tak pernah mengerti  apa yang akan terjadi esok. Wajah wajah putus asa penuh kelelahan menggambarkan bahwa mereka takkan pernah kembali pada keluarga yang mereka cintai.

Hatiku turut terluka melihat Bagaimana para istri dan anak anak  Tuan memperlakukan  para rewang. Seperti mereka memperlakukan Mbok  Keri. Rewang tertua yang berusia senja. Karena penyebab  yang sama dengan kami yaitu orang tua kami terlilit hutang pada Tuan. Puluhan tahun mbok Keri berada dalam dekapan rumah ini, ketika itu ayah Mbok Keri berhutang pada Tuan Madun, Ayah suamiku. Nasib para  gadis di istana ini pun pasti sama. Tak pernah kembali sampai ajal tiba.

"Kenapa tadi kau menangis ? "

Ternyata tuan melihat air mataku ketika makan malam

Kuberanikan diri mengungkapkan isi hatiku

"Tuan, apakah tuan benar mencintaiku?"

Tuan menggenggam jemariku," iya"

"Para rewang, mereka sama denganku. Bagaimana perasaan tuan bila melihat aku diperlakukan sama dengan mereka, sakitkah tuan?"

Tuan berdiam diri

"Tuan, jika setelah ini tuan menghukumku karena keberanianku ini, hukumlah aku"

Diam, tanpa sepatah kata. Tuan tertunduk

^^^

Akhir akhir ini kulihat Tuan tak banyak bicara. Ia lebih suka berdiam diri di ruang kerja. Tak ada yang dilakukannya, hanya duduk dan memandang hamparan kebun teh miliknya.

Sebuah pagi yang cerah, Tuan memanggilku.

"Aku ingin pulang ke gubukmu"

Aku yang tertunduk terkejut

"Aku ingin hidup di kampung bersamamu. Bolehkah?"

Aku mengangguk

Para istri menangis, namun tak ada yang mampu mencegah keinginan Tuan. Begitu pula dengan para rewang, mereka berurai air mata. Keputusasaan yang selama ini ada dalam benak mereka hilang sudah. Mereka akan terbebas dan kembali ke gubuk tempat mereka dilahirkan.

Aku tersenyum.....

Tuan suamiku. Kini ia tampak lebih bahagia. Bahagia yang seutuhnya,menjadi petani dan hidup sederhana di sebuah gubuk tua.

Kusuguhkan secangkir wedang ronde dan lima iris gethuk dengan senyuman.

^^^^

 " Sri...Sri....bangun..bangun " Tuminah, membangunkanku.

Ternyata aku bermimpi.

"Tuan Jamin memanggilmu"  Darwati yang dipojok kamar menyahut dengan wajah tegang

Aku tersenyum, "Tenang saja teman teman, kembali ke kampung halaman, bukan hanya sekedar mimpi"

Tampak para rewang terdiam dan tak tahu makna dari kalimat yang aku ucapkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun