Namun, Bisa apa aku..Aku tak bisa apa apa.
Tibalah hari itu....
Mata mata cemburu mulai kudapati di segenap sudut rumah mewah ini. Kesembilan istri  menyambut Tuan Jamin yang menggandeng erat tanganku. Kini aku menjadi nyonya kesepuluh. Nyonya muda Tuan Jamin.
Hari hari kulalui menjadi istri baru Tuan. Aku yang termuda. 14 tahun usiaku. Tuan selalu berkata padaku, bahwa ia menyayangiku. Tuan selalu berbicara, entah magnet apa yang ada pada diriku hingga ia pun menjatuhkan pilihan padaku. Tuan pun mengatakan, bahwa aku berbeda dari istri istri yang lain, dan akupun tak mau tau perbedaan apa yang Tuan maksudkan.
Meski aku menjadi nyonya di Istana ini, namun aku tetap memanggil suamiku dengan sebutan "Tuan".
Suatu hari, kami semua, Tuan dan para istrinya berkumpul untuk makan malam. Api cemburu para nyonya semakin berkibar. Apalagi Tuan selalu mendahulukanku di meja makan yang penuh dengan panganan.  Miris, ketika aku melihat gadis gadis seusiaku menjadi pelayan di  desa ini. Mereka tak pernah tahu lagi bagaimana dunia luar. Mereka tak pernah mengerti  apa yang akan terjadi esok. Wajah wajah putus asa penuh kelelahan menggambarkan bahwa mereka takkan pernah kembali pada keluarga yang mereka cintai.
Hatiku turut terluka melihat Bagaimana para istri dan anak anak  Tuan memperlakukan  para rewang. Seperti mereka memperlakukan Mbok  Keri. Rewang tertua yang berusia senja. Karena penyebab  yang sama dengan kami yaitu orang tua kami terlilit hutang pada Tuan. Puluhan tahun mbok Keri berada dalam dekapan rumah ini, ketika itu ayah Mbok Keri berhutang pada Tuan Madun, Ayah suamiku. Nasib para  gadis di istana ini pun pasti sama. Tak pernah kembali sampai ajal tiba.
"Kenapa tadi kau menangis ? "
Ternyata tuan melihat air mataku ketika makan malam
Kuberanikan diri mengungkapkan isi hatiku
"Tuan, apakah tuan benar mencintaiku?"