Mohon tunggu...
Dhimas Raditya Lustiono
Dhimas Raditya Lustiono Mohon Tunggu... Perawat - Senang Belajar Menulis

Perawat di Ruang Gawat Darurat | Gemar Menulis | Kadang Merasa Tidak Memiliki Banyak Bakat

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Menengok Wajah Profesi Perawat

17 Maret 2021   10:54 Diperbarui: 17 Maret 2021   11:10 758
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Boleh dibilang perawat adalah profesi di bidang kesehatan dengan jumlah terbanyak di Indonesia, hampir di setiap pelosok Nusantara, Perawat telah menjadi penggerak aktivitas puskesmas dalam segi kuratif, preventif dan promotif.

Tak jarang perawat juga memiliki peran ganda, mulai dari peracik obat, petugas administrasi, sopir ambulance hingga terkadang merangkap pula menjadi cleaning service.

Kini usia PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia) telah menunjukkan angka 47 tahun, sebuah usia yang tidak lagi muda selayaknya manusia dewasa yang telah memiliki kemampuan berpikir dengan bijak dalam menangani suatu permasalahan.

PR bagi Perawat di Indonesia-pun masih banyak, mulai dari gaji yang tidak sesuai standar hingga lingkungan yang toxic antar sesama perawat yang kerap saya temui di media sosial.

Dalam kesempatan ini, saya mengajak kepada teman-teman untuk menengok wajah profesi Perawat di Indonesia.

Kemesraan PPNI dalam Menagih Iuran Anggota

Salah satu poin yang ada dalam AD/ART organisasi adalah poin Iuran, hal ini dikarenakan organisasi profesi tidak bisa bergerak tanpa adanya cuan dari para anggotanya, apalagi jika PPNI di Daerah sedang membangun gedung, tentu saja iuran akan semakin membengkak dan harus ditanggung oleh seluruh perawat yang telah menjadi anggota PPNI di DPD terkait, entah itu PNS, Honorer, TKS, Swasta, Hingga Perawat yang sudah memiliki STR tetapi belum bekerja memiliki kewajiban  menyisihkan pendapatannya untuk disetorkan ke PPNI di DPK masing-masing.

Setiap bulan, PPNI selalu berusaha mesra terhadap para perawat agar sesegera mungkin membayar Iuran yang biayanya bisa dibelikan daging ayam 2 Kg.

Jika kedapatan tidak membayar, maka bersiaplah menanggung konsekuensinya, yaitu dipersulitnya mengurus rekomendasi dan harus membayar tagihan iuran bulanan yang belum dibayar. Misal seorang perawat sudah resign sejak 6 bulan yang lalu, dan tidak membayar karena merasa tidak ditagih, maka cepat atau lambat, tagihan tersebut akan tetap tercatat dan akan terbit ketika Perawat yang resign tersebut hendak mengurus STR.

Modal yang mahal untuk menjadi seorang Perawat

Sudah menjadi hal yang umum bahwa sekolah di program studi keperawatan bukanlah sekolah dengan biaya murah. Namun, sepertinya masih banyak orang tua yang menginginkan anaknya mengenyam pendidikan di prodi keperawatan dengan harapan agar kelak anaknya bisa bekerja di Rumah Sakit, Klinik atau Puskesmas.

Namun, setelah anaknya mengenakan toga dan menyandang gelar Amd.Kep atau S.Kep.,Ns, rupanya tidak cukup sampai disitu perjuangan untuk mendapatkan pekerjaan yang diinginkan, masih ada pelatihan BTCLS (Basic Trauma Cardiac Life Support) yang wajib diikuti oleh lulusan Keperawatan, dimana sertifikat dari pelatihan tersebut menjadi prasyarat sebelum melamar pekerjaan. Tanpa sertifikat tersebut kecil kemungkinan dirinya bisa diterima di fasilitas kesehatan, kecuali jika dirinya memiliki koneksi orang dalam, itu lain urusan.

Selain BTCLS ada pula Uji Kompetensi (UKOM) dimana kelulusan ujian ini menjadi prasyarat Perawat dalam mengurus STR. Tanpa Adanya STR jangan harap bisa menjadi perawat di Klinik, Rumah Sakit atau Puskesmas, lha wong perawat yang sudah punya STR aja belum tentu diterima kerja karena ketatnya persaingan.

Setelah memegang STR, masih ada beragam seminar yang harus diikuti, hanya saja selama pandemi, PPNI kerap mengadakan Webinar secara gratis sehingga para perawat masih bisa menabung SKP selama pandemi yang tidak memperbolehkan aktifitas berkerumun.

Namun sebelum pandemi dimulai pada Maret 2020, Seminar Keperawatan menjadi salah satu momok tersendiri, utamanya dari segi biaya, terkadang Perawat terpaksa membayar seminar tanpa menghadiri seminar tersebut karena dirinya harus berdinas sesuai jadwal. Sehingga titip sertifikat menjadi budaya yang hingga saat ini tak bisa ditinggalkan. Kerap terjadi panitia mengabarkan bahwa quota peserta telah penuh, tetapi 40 persen kursi yang sudah dipersiapkan kosong mlompong saat seminar.

Tekanan Sosial Masyarakat

Selama pandemi, masyarakat telah memandang perawat dengan banyak sebutan, ada yang menyebut sebagai pahlawan, ada yang menyebut sebagai agen penyebar virus, dan ada juga yang menganggap bahwa perawat adalah profesi yang diuntungkan berkat adanya Pandemi.

Beragam tanggapan tersebut tentu saja tidak membuat perawat menghentikan aktifitasnya, meski hati dan pikirannya kadang misuh-misuh. Apapun yang terjadi profesi ini tetap menjalankan tugasnya selama 24 jam tanpa mengenal tanggal merah.

Ketika saya berdinas di UGD, saya memiliki tanggung jawab agar siapapun yang masuk ke dalam ruang UGD untuk mengenakan masker. Saat ruang UGD ramai oleh orang-orang yang Kepo ketika ada rekannya mengalami luka robek, mulut saya tak henti-hentinya mengingatkan kepada siapapun yang masuk untuk mengenakan masker, alhasil ada salah satu keluarga pasien yang mengatakan kepada saya “corona itu nggak ada”, kalimat tersebut cukup mengoyak emosi saya yang sedang membersihkan luka pasien.

Oke fiks, kalimat tersebut tentu saja cukup membuat saya tersinggung, apalagi di bed yang lain ada pasien yang terbukti reaktif setelah rapid test.

Terlepas dari adanya konspirasi atau anggapan bahwa covid-19 tidak ada, saya ingin menyampaikan kepada seluruh masyarakat, bahwa selama berada di rumah sakit, puskesmas atau klinik, penggunaan masker adalah wajib, sama wajibnya dengan pengendara motor untuk mengenakan helm ketika berkendara di kawasan tertib lalu lintas.

Toxic dari sesama Rekan Sejawat

Dengan jumlah lulusan keperawatan yang semakin banyak, tentu menjadikan profesi ini sulit untuk satu suara, hal ini dikarenakan Perawat memiliki pemikirannya masing-masing yang tidak bisa diintervensi oleh siapapun.

Ada yang berpikir bahwa perawat harus sejahtera, ada yang berpikir terima saja jika gaji perawat kecil karena jaminannya surga, adapula yang berpikir bahwa pengurus PPNI tidak becus. Semua pemikiran tersebut tentu saja merupakan variable luar yang tidak bisa dikendalikan oleh siapapun.

Toxic di lingkungan perawat masih kerap terjadi apalagi di media sosial, ketika ada perawat yang mengeluhkan regulasi STR atau gaji yang kecil, ada saja rekan sejawat yang mengatakan “makanya nggak usah jadi perawat”. Kalimat ini tentu saja bernada toxic sekaligus unsolutif. Padahal ada kalimat lain yang bisa digunakan untuk menghiburnya, seperti “mau ikut jualan taperware? Japri yak”

Selain itu, jika ada anggota yang mengomentari kinerja PPNI misalnya “PPNI tutup mata terhadap kesejahteraan anggota”, maka bersiaplah dengan kalimat balasan “kalau begitu, jadi anggota PPNI saja”. Kalimat balasan seperti ini tentu saja tidak akan menjadi penyelesaian yang elegan, sama halnya ketika seorang anak menyampaikan keluhannya kepada orang tuanya, lantas orang tuanya berkata “kamu aja yang jadi orang tua”. Jelas kalimat balasan tersebut seakan menjadi sisi ketidaksadaran pengurus PPNI akan perannya sebagai pengayom Perawat.

Kalimat balasan tersebut adalah kalimat klasik yang menjadi tameng dari keluhan yang dilontarkan oleh para anggota PPNI yang berada di akar rumput.

Alih-alih PPNI menampung keluhan dan memberikan kalimat positif, justru kalimat toxic tersebut seakan meruntuhkan semangat juang rekan sejawat yang sudah terikat dengan sumpah profesi

Di usia ke 47 ini, saya berharap bahwa nantinya Perawat dengan Organisasi yang menaunginya yakni PPNI, adalah satu kesatuan keluarga yang dapat berhubungan saling mesra, jangan sampai Pengurus PPNI hanya bermesraan dengan anggotanya ketika menagih iuran. Tanyakan kepada anggota, apa keluhannya. Kalau perlu sampaikan juga kepada anggota apa keluhan sebagai pengurus PPNI, siapa tahu dengan saling berkeluh kesah, maka akan timbul empati antara anggota dengan Pengurus PPNI.

Harapan saya selanjutnya, transparanlah terhadap keuangan yang dimiliki, tidak perlu terlalu rinci seperti laporan keuangan koperasi, cukup sampaikan saja berapa uang kas yang ada, karena anggota memiliki hak untuk tahu. Siapa tahu ada perawat yang memiliki kenalan pengusaha yang hendak menjadi donatur bagi PPNI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun