Mohon tunggu...
Dhimas Raditya Lustiono
Dhimas Raditya Lustiono Mohon Tunggu... Perawat - Senang Belajar Menulis

Perawat di Ruang Gawat Darurat | Gemar Menulis | Kadang Merasa Tidak Memiliki Banyak Bakat

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Menengok Wajah Profesi Perawat

17 Maret 2021   10:54 Diperbarui: 17 Maret 2021   11:10 758
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dengan jumlah lulusan keperawatan yang semakin banyak, tentu menjadikan profesi ini sulit untuk satu suara, hal ini dikarenakan Perawat memiliki pemikirannya masing-masing yang tidak bisa diintervensi oleh siapapun.

Ada yang berpikir bahwa perawat harus sejahtera, ada yang berpikir terima saja jika gaji perawat kecil karena jaminannya surga, adapula yang berpikir bahwa pengurus PPNI tidak becus. Semua pemikiran tersebut tentu saja merupakan variable luar yang tidak bisa dikendalikan oleh siapapun.

Toxic di lingkungan perawat masih kerap terjadi apalagi di media sosial, ketika ada perawat yang mengeluhkan regulasi STR atau gaji yang kecil, ada saja rekan sejawat yang mengatakan “makanya nggak usah jadi perawat”. Kalimat ini tentu saja bernada toxic sekaligus unsolutif. Padahal ada kalimat lain yang bisa digunakan untuk menghiburnya, seperti “mau ikut jualan taperware? Japri yak”

Selain itu, jika ada anggota yang mengomentari kinerja PPNI misalnya “PPNI tutup mata terhadap kesejahteraan anggota”, maka bersiaplah dengan kalimat balasan “kalau begitu, jadi anggota PPNI saja”. Kalimat balasan seperti ini tentu saja tidak akan menjadi penyelesaian yang elegan, sama halnya ketika seorang anak menyampaikan keluhannya kepada orang tuanya, lantas orang tuanya berkata “kamu aja yang jadi orang tua”. Jelas kalimat balasan tersebut seakan menjadi sisi ketidaksadaran pengurus PPNI akan perannya sebagai pengayom Perawat.

Kalimat balasan tersebut adalah kalimat klasik yang menjadi tameng dari keluhan yang dilontarkan oleh para anggota PPNI yang berada di akar rumput.

Alih-alih PPNI menampung keluhan dan memberikan kalimat positif, justru kalimat toxic tersebut seakan meruntuhkan semangat juang rekan sejawat yang sudah terikat dengan sumpah profesi

Di usia ke 47 ini, saya berharap bahwa nantinya Perawat dengan Organisasi yang menaunginya yakni PPNI, adalah satu kesatuan keluarga yang dapat berhubungan saling mesra, jangan sampai Pengurus PPNI hanya bermesraan dengan anggotanya ketika menagih iuran. Tanyakan kepada anggota, apa keluhannya. Kalau perlu sampaikan juga kepada anggota apa keluhan sebagai pengurus PPNI, siapa tahu dengan saling berkeluh kesah, maka akan timbul empati antara anggota dengan Pengurus PPNI.

Harapan saya selanjutnya, transparanlah terhadap keuangan yang dimiliki, tidak perlu terlalu rinci seperti laporan keuangan koperasi, cukup sampaikan saja berapa uang kas yang ada, karena anggota memiliki hak untuk tahu. Siapa tahu ada perawat yang memiliki kenalan pengusaha yang hendak menjadi donatur bagi PPNI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun