Harum masakan terbang membubung ke angkasa terbawa angin sampai ke perbatasan. Aromanya mengundang warga kampung tetangga berdatangan. Mereka turut serta membantu di perapian. Unik memang. Cara desa itu mengumpulkan orang salah satunya adalah dengan memasak makanan sampai harum. Itu kode. Sebuah kearifan lokal yang sampai sekarang masih tegak berdiri.
Penduduk desa sudah pasti tau jika ada asap disertai dengan harum aroma makanan yang lezat, sudah barang tentu, kalau bukan ada yang meninggal, ya pasti ada penduduk urban yang kembali ke desa. Cuma dua itu saja.
"Sopo toh mbok yang pulang," tanya Warijum kepada Ibu-ibu yang sedang menanak nasi.
"Itu Jum, si gadis pemilik mata binar." Jawab salah satu dari mereka.
"Ya Allah gusti... si gadis yang sering kita dongengkan itu," Warijun setengah kaget. "Astaga la! Kulo pengin motong entok dulu," Warijum bergegas agak sedikit berlari kembali ke rumahnya.
"Loro yo, Jum," seloroh warga lain mengingatkan dengan bercanda.
Desa tempat kelahiran Kantil memang memiliki ikatan sosial yang sangat kuat. Empati yang terus terbangun membuat hubungan sosial lebih dari kekeluargaan.
Azas gotong royong, begitu orang menyebutnya. Bahkan dari kecil anak-anak juga sudah dilibatan. Contoh terdekat ialah satu minggu lalu ketika warga bergotong royong membangun ulang sebuah rumah milik seorang nenek yang tinggal sebatang kara. Letak rumah yang berada pas di puncak bukit kapur tak mengendurkan semangat berbagi. Anak-anak tetap gigih hilir mudik membawa batu bata dan menggotong kayu. Anak perempuan membantu dengan mencuci kasurnya di sungai. Begitulah. Mereka memeras keringat bersama dalam berbuat kebaikan.
Nasi sudah tanak. Ayam bakar sudah matang. Daging kelinci sudah tersaji lengkap dengan sambal manis dan sayurnya yang banyak. Langit terus bekerja. Matahari telah selesai bertugas.
***