Mohon tunggu...
Dhimas Kaliwattu
Dhimas Kaliwattu Mohon Tunggu... Penulis - seorang manusia

menjaga ingatan dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Merayakan Kantil

5 September 2019   16:02 Diperbarui: 5 September 2019   16:13 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari masih sangat pagi dan dingin. Di ufuk timur setitik pun cahaya belum tampak, tapi rumah Kantil sudah penuh orang berdesakan. Gadis jelita bermata binar itu akhirnya sampai ke kampung halaman, rumah ibunya, setelah dua malam melakukan perjalanan panjang menuju bukit kapur, perbatasan selatan jawa.

Masyarakat dan semua pejabat desa tersenyum sumringah ketika melihat gadis pemiliki mata binar tersebut kini telah beranjak dewasa. Mereka ingin melihat langsung dengan mata kepala sendiri, seperti apa rupa wanita yang selalu dikisahkan dalam dongeng sebagai pengantar tidur anak-anak mereka.

"Ini toh jelmaan Dewi Kilisuci. Apik tenan, ndok." Parwati mengelus-elus tangan Kantil."Gimana kabarmu di kota. Apa ada lanang yang menggodamu?"

Pagi telah menjadi bingar. Fajar rekah menyambut. Kemuning padi tengah merunduk. Rindu bertahun-tahun masyarakat kepada Kantil akhirnya kesampean.

Kantil kecil dikenal sebagai pemberani. Bocah yang senang bermain lumpur dan menangkap ikan. Memanen padi dan mengumpulkan kacang hijau.

Kantil lahir dari sajak-sajak puitis. Di antara gelombang angin dan kalimat-kalimat indah yang ada dalam kitab suci. Sedari kecil Kantil sudah dilatih mengenal kehidupan. Menghargai manusia dan alam semesta. Ramah bertutur dan selalu menjaga adab kesopanan pada siapapun.

"Dulu tuh kamu masih segini ndok, sekarang sudah segini besar," kata salah seorang ibu tua di antara kerumunan.

"Iya ya. Dia dulu sering mencret di celana. Eeee... sekarang ayu."

Matahari mulai bekerja. Embun yang bergelantung di pucuk-pucuk daun mulai mengering. Ayam adu berkokok. Kerbau dituntun ke sawah. Permulaan pagi baru, di mulai.

***

Balai desa. Ibu-ibu berkumpul di dapur umum. Mereka saling membawa satu baskom berisi beras. Beberapa di antarnya ada yang membawa daging kelinci, ayam, soang, dan ikan. Ada juga yang membawa sayur-sayuran dan bumbu-bumbuan. Mereka menyiapkan makan malam sebagai tanda bahagia menyambut kembalinya wadon kebanggan desa, si kembang kantil.  

Harum masakan terbang membubung ke angkasa terbawa angin sampai ke perbatasan. Aromanya mengundang warga kampung tetangga berdatangan. Mereka turut serta membantu di perapian. Unik memang. Cara desa itu mengumpulkan orang salah satunya adalah dengan memasak makanan sampai harum. Itu kode. Sebuah kearifan lokal yang sampai sekarang masih tegak berdiri.

Penduduk desa sudah pasti tau jika ada asap disertai dengan harum aroma makanan yang lezat, sudah barang tentu, kalau bukan ada yang meninggal, ya pasti ada penduduk urban yang kembali ke desa. Cuma dua itu saja.

"Sopo toh mbok yang pulang," tanya Warijum kepada Ibu-ibu yang sedang menanak nasi.

"Itu Jum, si gadis pemilik mata binar." Jawab salah satu dari mereka.

"Ya Allah gusti... si gadis yang sering kita dongengkan itu," Warijun setengah kaget. "Astaga la! Kulo pengin motong entok dulu," Warijum bergegas agak sedikit berlari kembali ke rumahnya.

"Loro yo, Jum," seloroh warga lain mengingatkan dengan bercanda.

Desa tempat kelahiran Kantil memang memiliki ikatan sosial yang sangat kuat. Empati yang terus terbangun membuat hubungan sosial lebih dari kekeluargaan.

Azas gotong royong, begitu orang menyebutnya. Bahkan dari kecil anak-anak juga sudah dilibatan. Contoh terdekat ialah satu minggu lalu ketika warga bergotong royong membangun ulang sebuah rumah milik seorang nenek yang tinggal sebatang kara. Letak rumah yang berada pas di puncak bukit kapur tak mengendurkan semangat berbagi. Anak-anak tetap gigih hilir mudik membawa batu bata dan menggotong kayu. Anak perempuan membantu dengan mencuci kasurnya di sungai. Begitulah. Mereka memeras keringat bersama dalam berbuat kebaikan.

Nasi sudah tanak. Ayam bakar sudah matang. Daging kelinci sudah tersaji lengkap dengan sambal manis dan sayurnya yang banyak. Langit terus bekerja. Matahari telah selesai bertugas.

***

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Alunan musik di kejauhan terdengar samar dari rumah Kantil. Bersama ibunda tercinta, Kantil berias begitu cantik. Lampu di sepanjang jalan menuju kantor desa telah dinyalakan. Kemilau bukit kapur akhirnya kembali dapat dilihat orang se-kabupaten. Pertanda ada hal istimewa yang sedang dirayakan.

Para petuah adat memimpin upacara. Sirih telah dihidangkan. Doa telah dipanjatkan. Hingga Parwati, lurah yang juga sebagai kepala desa memberikan sambutannya.

"Patutnyalah kita bersyukur saudara-saudara. Sebentar lagi kelapa-kelapa kita sudah siap petik. Padi dan palawija sudah tiba masa tuainya. Kita akan panen raya (warga riuh bertepuk tangan). Kedatangan si Gadis emas pemilik mata binar, Kantil, akan menjadi berkah dan semangat bagi semua warga desa. Tidak ada lagi yang boleh malas karena sumber semangat itu kini sudah ada di antara kita. Baiklah. Kita panggil anak kita, Kantiiiil..."

"Kanntiiiil..." Parwati mengulangi berkali-kali. Tapi yang dipanggil-panggil tidak juga menghampiri. Sampai akhirnya teriakan yang begitu panik terdengar keras di ujung kerumunan pesta. "Kantil diculik! Kantil diculik," teriak seseorang berulang-ulang.

Pesta dihentikan. Semua orang histeris. Bertanya-tanya. Bingung bercampur sedih. Seluruh perangkat desa langsung mencari. Berpencar.  

"Lima bayangan hitam besar membawanya ke dalam hutan," kata saksi mata yang terakhir kali melihat penculiknya.

Ratusan telik sandi dikirim. Puluhan pendekar dikumpulkan dan disebar. Para petuah melakukan mujahadah. Dukun-dukun berkomunikasi dengan khodamnya. Tapi semua upaya itu tidak membuahkan hasil. Waktu semakin terbuang. Para penculik semakin jauh ke dalam hutan.

"Pasti mereka belum jauh. Kejar!" Parwati memberikan instruksi.

Ratusan orang mengejar ke dalam hutan danfaka, hutan lembah yang konon sangat angker. Semua orang, bahkan ibu-ibu yang tengah menyusui anaknya juga turut mencari. Hutan danfaka bergema. Suara teriakan warga saling mengisi. Sahut menyahut itu tidak terputus sepanjang malam.

Warga terus membelah hutan. Tidak ada yang berniat pulang. Semua jalan coba ditempuh. Baik jalan yang kasat mata maupun yang ghaib. Parwati, yang bisa melihat alam batin dan mempunyai kemampuan menembus dimensi lain tidak juga bisa melacaknya. Tidak ada bekas jejak secuilpun yang bisa dijadikan petunjuk. Tapi di alam tak kasat mata, Parwati mampu mengendus harum tubuh Kantil yang tercium sangat jelas olehnya.

Memang dari kecil Kantil sudah memiliki wangi khas yang tak dimiliki bocah lain, bahkan perawan lain yang usianya jauh melampauinya. Keharuman yang dimiliki Kantil tidak hanya disukai manusia, tapi juga makhluk-makhluk lain di pelampauan.

 "Habis kita Bu! Huft..Huu..Hu... Kakiku sudah tidak bisa digerakan," seorang warga berkata dengan tersengal ngos-ngosan terlihat lelah sekali. "Desa kita tidak bisa menjaganya. Dari kecil gadis pemilik mata binar itu terlalu banyak yang memburu."

"Semoga mereka tidak diculik Rahwana." Parwati pasrah.

"Kenapa yo ibunya juga ikut diculik?" yang lain bertanya.

Matahari kembali bekerja. Semua orang sudah mencapai puncak lelahnya. Kantil dan ibunya tidak juga ditemukan. Beberapa orang termasuk Parwati sudah pingsan semenjak azan subuh terdengar. Desa itu kembali kehilangan orang terbaiknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun