Bukan hari ini saja, upaya hidup berdampingan penuh kedamaian menjadi tema besar yang aktual. Dialog-dialog tersebut telah ada sejak zaman baheula. Sebuah titik temu yang amat sejarah tentang kerukunan beragama terpatri di India, dua ratus tahun sebelum masehi. Begini isinya:
(1) Barang siapa menghormati, menghargai agama keyakinan orang lain, sama dengan menghormati, menghargai agama keyakinan sendiri.
(2) Barang siapa menghina, mencela, merendahkan agama keyakinan orang lain, sama dengan menghina, mencela, merendahkan agama kita sendiri.
Deklarasi ini disaksikan langsung oleh Dewan Asoka. Sejurus waktu, pernyataan cinta ini kemudian melanglang buana. Asoka memasyurkan misi kemanusiaan ini ke empat penjuru dunia; Tiongkok kuno, Yunani kuno, Sri lanka kuno dan Nusantara kuno. Singkatnya, yang dikirim itu berhasil menjadi buah bibir di berbagai belahan dunia. Menjadi semacam paradigma yang menelurkan peradaban timur yang manis -- sebelum dirusak oleh generasi pengrusak dengan tanda di bumi hanguskannya kampus Nalanda, India pada abad 12.
Senin, 4 Februari 2019, seputaran waktu sebelum kembang api Chinese New Year's 2570 meletup-letup di langit. Dua orang ternama tokoh Internasional, Grand Syekh Al Azhar, Sayyed Ahmed el-Thayeb dan Pimpinan Gereja Katolik Dunia Paus Fransiskus, bermuka-muka di Abu Dhabi. Mereka selaras melempar senyum, berjabat tangan, dan akhirnya berpelukan.
Kedua laki-laki yang diakui sebagai respresentatif dari dua Agama besar di dunia itu sepakat menandatangani dokumen persaudaraan insani, Document on Human Fraternity; Human Fraternity, Living in Peace, and Coexistence.Â
Sebelumnya pertengahan bulan Desember lalu, Ulama besar Mesir itu mengucapkan selamat natal dan selamat ulang tahun pada rekannya, Paus yang saat itu tengah berusia ke-82 tahun. Sebelumnya lagi, kedua sahabat itu sempat saling berkunjung tempat, lalu bergantian menjadi tuan rumah.
Setelah dibaca-baca dan dialih bahasakan oleh Martin Harun OFM. Dokumen termaksud itu berisi tentang seruan perdamaian, kebebasan, dan hak-hak perempuan. Dokumen aslinya tersedia dalam bahasa inggris dan bahasa arab. Ada 12 point tertulis.
***
Empat Seperkawanan
Setelah mengejanya berminggu-minggu, akhirnya 10 april 2019 kemarin beberapa tokoh Indonesia merespons dengan mengadakan Forum Titik Temu. Si pengundang ialah empat seperkawanan; Nurcholish Madjid Society, Gusdurian, Maarif Institute, dan Wahid Foundation.Â
Tatap muka yang diselenggarakan di hari kerja itu diadakan di sebuah hotel di "Jantung Jakarta." Tujuannya untuk mendialogkan, menguraikan dan menyumbang gagasan pada konteks-konteks aktual atas berbagai isu global dan nasional yang beberapa dekade ini dirasa panas.
Acaranya sederhana. Ringan. Dipersilahkan bagi yang berkenan juga bisa sambil ngeteh. Mereka yang hadir antara lain segenap tokoh agama, akademisi, penegak hukum, budayawan, pemikir dan penonton, serta para insan pers. Bisik-bisiknya acara ini juga dihadiri beberapa makhluk tak kasat mata, sstttt.. cuma ini rahasia.Â
 "kita punya titik-titik yang sama." kata Mahfud MD yang menjadi salah satu pembicara di sana.
Begini. Tapi kan setiap agama mempunyai hukumnya sendiri-sendiri. Setiap agama memiliki kepentingan dan cara yang berbeda dalam mencapai tujuannya. Bagaimana mungkin setiap agama yang begitu banyak di Indonesia bisa hidup berdampingan. Saling bekerjasama, rukun dan ringan membantu, tidak hina-menghina, tidak rendah-merendahkan. Kekira bagaimana, bisa ngak?
"begini jawabnya." mantan Ketua MK itu mulai menguraikan keahliannya.
"kalau dalam ilmu hukum itu, hukum dibagi dua. Hukum publik dan hukum privat. Hukum publik itu hukum yang secara sah mengikat kepada semua orang, apapun agamanya, apapun sukunya. Itu disebut purifikasi, jadi kalau dalam hukum publik itu dicari titik samanya, pasti ketemu."
Semua orang seruangan itu dengan seksama menyimak uraian Profesor jebolan UII Yogyakarta ini yang kala itu bicara dari dimensi hukum dalam mencapai titik temu, sebagaimana termaktub di atas.
Mahfud mengutip sebuah ayat Al-Quran dan mengaktualisasikannya dengan konsep Nurcholish Madjid (cak nur) tentang kalimatun sawa (titik temu). Konsep 'kalimatun sawa' yang diangkat oleh cak nur, sebetulnya telah banyak dipinjam dalam berbagai skripsi, tesis, maupun disertasi akademik anak-anak muda kita seantero negeri.
Mahfud melanjutkan uraiannya lagi "satu lagi, hukum privat yang sifatnya pribadi. Itu tidak usah diberlakukan oleh Negara sudah berlaku sendiri."
Begini maksudnya. Setiap agama memiliki tuntutan kewajiban dan ritual ibadahnya masing-masing. Itu telah diajarkan di tiap-tiap keluarga/ komunitas dan sudah melekat menjadi kesadaran. Jadi hal-hal semacam itu tidak perlu dibuatkan undang-undang atau hukum positifnya. Kekira begini contohnya, anda mau sholat, ya sholat saja. Anda mau puasa, ya puasa saja. Mau ke gereja, ya ke gereja saja. Mau ke wihara, ke kuil, ke pura ya silahkan. Hukum privat sifatnya kesukarelaan. Kalau orang mau tunduk ya tunduk, ngak bisa dipaksakan oleh Negara.
Lantas untuk apa undang-undang haji, apakah semua orang Indonesia wajib naik haji? tidak. Naik haji itu kewajiban agama. Kewajiban hukum ngak ada. Tapi kalau ada warga negara ingin naik haji atau keluar negeri katakanlah. Negara wajib melindunginya. Hal-hal yang telah menjadi hukum nasional, bukan lagi hukum agama, tapi hukum bersama.
"ketemu kalimatun sawa-nya itu di situ, yang pasti diterima oleh agama apapun, karena di situ (legislative) dirembuk secara bersama-sama. Mari kita bernegara dengan cara itu. Insya allah damai." Muridnya Gus Dur itupun mengakhiri ulasannya.
***
Tiga GembalaÂ
"dokumen ini sebenarnya berbicara tentang kita. Kita yang berbeda, tapi kita dipersatukan oleh asal usul kemanusiaan yang sama." Â Yudi latif membuka pemaparannya.
Selidik punya selidik, ternyata dalam berbagai literasi menyebutkan, usia kemanusiaan kita jauh lebih tua dibanding usia keagamaan kita. Agama-agama yang ada hari ini paling banter jika ditarik usianya sejak 3000 tahun yang lalu, tapi usia kemanusiaan kita itu paling sedikit 20.000 tahun yang lalu. Bahkan di Nusantara, orang papua, melanesia sudah ada di pulau papua sejak 45.000 tahun yang lalu. Jadi bagaimanapun, keagamaan kita tidak akan ada tanpa kemanusiaan.
Kang Yudi, anak muda jebolan The Australian National University ini kala itu fokus bicaranya tentang inklusif citizenship yang termaktub dalam poin ke-8 pada Document on Human Fraternity. Ini isinya:
"konsep kewarganegaraan didasarkan pada kesetaraan hak dan kewajiban, sehingga semua menikmati keadilan. Karena itu penting untuk menegakan dalam masyarakat kita konsep kewarganegaraan penuh dan menolak penggunaaan istilah minoritas secara diskriminatif yang menimbulkan perasaan keterasingan dan inferioritas. Penyalahgunaannya membuka jalan bagi permusuhan dan perselisihan......"
Point ini seakan mengatakan bahwa problem tantangan dari orang-orang beragama itu adalah satu sisi dia harus menjadi orang beragama yang baik, di sisi lain juga harus menjadi warga Negara yang baik. Banyak orang yang beragama baik, namun belum tentu menjadi warga Negara yang baik.
"dalam hal ini titik persamaan itu, kalau dalam bangsa ini ada di dalam Pancasila. Hidup baik menurut Pancasila perlu keseimbangan peran komunitas, peran negara dan peran pasar," kata si empunya BPIP ini.
Peran dan tugas komunitas adalah menjadi gembala nilai atau akhlak. Tugas pemerintah menjadi gembala tata kelola. Sedangkan tugas dari pasar adalah menjadi gembala kemakmuran yang inklusif (menyeluruh).
"problem kewargaan Indonesia hari ini" tiba-tiba saja suara kang yudi sedikit meninggi dan serius. Â
"ketiga gembala tidak menjadi gembala yang baik. Gembala komunitas, entah itu tokoh agama, tokoh pendidikan gagal melakukan pendidikan nilai. Orang menjadi beragama yang katanya teguh, tapi semakin beragama, terus semakin tidak benilai, semakin tidak beraturan," sambung cendekiawan muda asal sukabumi ini.
Memang kini banyak tokoh agama yang nyebrang ke politik praktis. Seharusnya tokoh-tokah agama dan pendidikan itu mengembangkan akhlak, bukan hanyut di dalam persaingan-persaingan politik. Gembala nilai tengah menjadi pelaku politik. Ini keliru. Sudah bukan rahasia, di Indonesia pendidikan terburuk adalah pendidikan nilai. Kalau kita mau bertanggung jawab pada keagamaan kita, tugas dari tokoh agama itu sebaiknya tidak menjadi aktivis politik.
Semua hadirin yang kekira berjumlah 300-an orang itu terpukau. Teman-teman seruangan merecordnya. Para insan pers yang sedari tadi duduk-duduk di pojokan, semua berdiri. Kita sedang memandangi si guru muda pemilik buku mata air keteladanan itu bicara.
"Ke-dua, tata Negara kita juga buruk. Jumlah partai bertambah, institusi-institusi Negara makin gemuk, semakin luas, tapi tata kelola kita semakin amburadul."
Pernyataan ayah empat anak ini dikuatkan beberapa fakta, bahwa setiap pemilu bukan menjadi semakin baik tapi semakin kacau. Tata kelola kenegaraan kita juga gagal melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Tata kelola Negara gagal memajukan kesejahteraan umum. Tata kelola Negara kita gagal mencerdaskan kehidupan umum. Aktivis politik kehilangan orientasinya. Sibuknya hanya saling menjatuhkan dan berlomba-lomba menjadi orang yang paling benar.
"yang ke-tiga, gembala pasar juga hanya sibuk mengakumulasi capital tanpa tahu di mana batas kekayaan itu harus diakhiri."
Di Indonesia rasanya tidak perlu ada batas minimum dalam kemampuan ekonomi seseorang, yang harus dituju itu adalah batas maksimum. Sampai di mana kekayaan itu harus kita akumulasikan. Sekarang para pembisnis-pembisnis juga tidak merasa ikut bertangung jawab pada sosial capital. Mereka hanya asik pada finansial capital, dan seoalah-olah menyerahkan urusan sosial kepada tokoh-tokoh agama. Mereka seenak udelnya sendiri, mangambil keuntungan investasi, kinerjanya naik, tapi soal carut marut republik tidak ikut bertanggung jawab.
Terlalu kejam. Ini Tidak bisa dibiarkan, sebab dari sinilah sumbu ketidakadilan itu menjadi penyakit kronis pada kewargaan kita.
"jadi sudah saatnya tiga element ini bertanggung jawab melakukan pertaubatan kolektif." katanya diakhir acara. Sejurus kemudian disambut tepuk tangan para hadirin.
***
Menjadi saudara, menjadi saudariÂ
Eksklusifisme Bergama, eksklusifisme berideologi dalam beberapa dekade ini mulai mengoyak persaudaraan antar kelompok manusia. Karena itulah kedua pimpinan umat tersebar ini memandang perlu untuk mengingatkan dunia betapa berbahanya sikap merasa lebih perkasa dari Tuhan dan mengatasnamakan Tuhan untuk kepentingan kelompoknya saja. Mereka telah dan tengah berada pada titik temu. Usahanya untuk terus mengusap dunia amat mulia. Kita jangan ganggu ya sayang. Jangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H