Mohon tunggu...
Dhifaaf AinunJuwairiyah
Dhifaaf AinunJuwairiyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta

Mencari inspirasi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Piracy di Selat Malaka: Strategi ASEAN dan Negara Terkait dalam Meningkatkan Keamanan Maritim

5 Desember 2024   18:40 Diperbarui: 7 Desember 2024   14:31 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

The Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) adalah organisasi antarpemerintah regional yang terdiri dari sepuluh negara Asia Tenggara: Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Brunei, Vietnam, Laos, Myanmar, dan Kamboja.

Didirikan pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok, Thailand, ASEAN bertujuan untuk mempromosikan kerja sama politik dan ekonomi serta stabilitas regional di antara para anggotanya.

Organisasi ini juga berfokus pada pengembangan kolaborasi dan bantuan timbal balik dalam hal-hal yang menjadi kepentingan bersama, seperti perdagangan, pertanian, industri, transportasi, dan komunikasi.

ASEAN telah memainkan peran penting dalam mengoordinasikan upaya-upaya di antara negara-negara anggotanya untuk meningkatkan keamanan maritim. Salah satu wilayah maritim yang menjadi fokus pembahasan yaitu Selat Malaka.

Selat Malaka memiliki sejarah yang kaya sebagai jalur maritim penting dan menjadi salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia yang menghubungkan Samudra Hindia dengan Samudra Pasifik.

Kepentingan strategisnya sudah ada sejak zaman kuno ketika selat ini menjadi jalur utama bagi para pedagang dari Arab, Afrika, Persia, dan India. 

Wilayah ini menjadi saksi kebangkitan kerajaan maritim yang kuat seperti Sriwijaya, yang menguasai selat ini dan memfasilitasi perdagangan antara Timur dan Barat.

Selama era kolonial, selat ini semakin dianggap penting ketika kekuatan-kekuatan Eropa, termasuk Portugis, Belanda, dan Inggris berusaha untuk mengendalikan selat ini sebagai jalur perdagangan yang menguntungkan.

Selat ini merupakan rute penting bagi perdagangan global, terutama untuk minyak dan barang antara Eropa, Timur Tengah, dan Asia Timur.

Perdagangan yang ramai dan lokasi yang strategis membuatnya menjadi titik rawan pembajakan karena para perompak mengincar banyak kapal yang melewati jalur air yang sempit dan sibuk ini.

Meskipun ada upaya untuk mengekang pembajakan, geografi selat yang kompleks dan lalu lintas yang tinggi terus membuatnya rentan terhadap serangan bajak laut.

Selat Malaka adalah target utama pembajakan karena beberapa faktor. Sempitnya selat serta banyaknya pulau kecil dan sungai menjadi tempat persembunyian yang ideal bagi para perompak.

Secara historis, bajak laut telah menjadi bagian dari sejarah kawasan ini selama berabad-abad, dengan penguasa lokal yang secara historis mengandalkan bajak laut untuk mempertahankan kekuasaan.

Selain itu, batas-batas teritorial selat yang rumit dan kebutuhan akan kerja sama di antara beberapa negara (Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand) menyulitkan upaya pengawasan yang efektif di kawasan ini.

Salah satu kasus pembajakan yang terkenal di Selat Malaka terjadi pada tahun 2004 yang melibatkan kapal tunda Jepang, Idaten. Kapal ini diserang oleh perompak yang menaiki kapal dan mengambil alih kendali.

Para perompak meminta uang tebusan untuk pembebasan kru dan kapal. Insiden ini menyoroti kerentanan kapal-kapal yang melewati selat tersebut dan ancaman signifikan yang ditimbulkan oleh perompakan di wilayah tersebut.

Serangan terhadap Idaten merupakan bagian dari tren peningkatan pembajakan yang lebih besar pada awal tahun 2000-an, yang menyebabkan Selat Malaka ditetapkan sebagai area berisiko tinggi oleh Lloyd’s Joint War Risk Committee pada tahun 2005. 

Penetapan ini mendorong peningkatan kerja sama internasional dan langkah-langkah keamanan untuk memerangi pembajakan di wilayah tersebut.

ASEAN dan negara-negara terkait telah mengambil beberapa langkah penting untuk memerangi pembajakan di Selat Malaka.

Salah satu upaya yang paling awal dan paling menonjol adalah Malacca Straits Coordinated Patrol (MALSINDO) yang diluncurkan pada tahun 2004 oleh Malaysia, Singapura, dan Indonesia.

Inisiatif ini melibatkan patroli terkoordinasi di perairan teritorial masing-masing negara untuk menekan pembajakan.

Selain itu, program “Eyes in the Sky” diperkenalkan pada tahun 2005 yang melibatkan pengawasan udara untuk memantau dan menghalangi aktivitas bajak laut. Program ini meningkatkan kemampuan untuk mendeteksi dan merespons insiden pembajakan dengan cepat.

The Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy and Armed Robbery against Ships in Asia (ReCAAP) juga dibentuk untuk memfasilitasi pembagian informasi dan kerja sama di antara negara-negara anggota.

Perjanjian ini telah berperan penting dalam meningkatkan keamanan maritim regional.

Upaya-upaya ini dikombinasikan dengan peningkatan kerja sama internasional dan keterlibatan berbagai lembaga keamanan maritim telah berkontribusi secara signifikan dalam mengurangi insiden pembajakan di Selat Malaka.

Meskipun ASEAN dan negara-negara terkait telah membuat langkah signifikan dalam memerangi pembajakan di Selat Malaka, upaya awal mereka menghadapi beberapa tantangan.

MALSINDO tidak mengizinkan pengejaran lintas batas yang berarti para perompak dapat melarikan diri dengan menyeberang ke perairan teritorial negara lain.

Kebutuhan akan kerja sama di antara berbagai negara dengan sistem hukum dan kemampuan penegakan hukum yang berbeda membuat upaya yang terkoordinasi menjadi sulit.

Terbatasnya sumber daya dan pendanaan untuk operasi keamanan maritim menghambat efektivitas patroli dan pengawasan. Tidak ada kerangka kerja kontra-pembajakan formal yang mengarah pada upaya patroli dan respons yang terputus-putus.

Forum-forum ASEAN sering kali kesulitan untuk memindahkan kebijakan dari dialog ke implementasi sehingga mempengaruhi efektivitas keseluruhan tindakan anti-pembajakan.

Kelemahan-kelemahan ini menyoroti perlunya upaya yang lebih kuat dan terkoordinasi untuk mengatasi pembajakan secara efektif di kawasan ini.

Upaya ASEAN dan negara-negara terkait untuk memerangi pembajakan di Selat Malaka telah menunjukkan hasil yang signifikan. Misalnya, jumlah insiden pembajakan di kawasan ini telah menurun secara signifikan selama bertahun-tahun.

Pada tahun 2024, langkah-langkah yang ditingkatkan dan upaya kerja sama dengan negara-negara pesisir berkontribusi pada penurunan 50% insiden perompakan di Selat Malaka dan Singapura.

Selain itu, ReCAAP melaporkan penurunan 16% dalam jumlah insiden pembajakan dan perampokan bersenjata di seluruh Asia pada paruh pertama tahun 2024.

Statistik ini menyoroti dampak positif dari patroli terkoordinasi, pengawasan udara, dan inisiatif berbagi informasi dalam mengurangi insiden pembajakan dan meningkatkan keamanan maritim di kawasan ini.

Secara keseluruhan, upaya-upaya ini telah secara signifikan meningkatkan keselamatan dan keamanan Selat Malaka, sehingga menguntungkan perdagangan internasional dan stabilitas regional.

Penurunan insiden pembajakan juga telah berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi negara-negara pesisir dengan memastikan perjalanan barang dan sumber daya yang aman melalui rute maritim yang penting ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun