Mohon tunggu...
Dhedi R Ghazali
Dhedi R Ghazali Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Saya hanya seorang penulis yang tidak terkenal.

Saya hanya pembaca yang baik dan penulis yang kurang baik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pelacur Gratisan

20 Maret 2016   21:49 Diperbarui: 20 Maret 2016   22:02 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tiara masih saja terduduk di sudut cafe tempat dia bekerja. Tak seorangpun dalam beberapa hari terakhir menggunakan jasa tubuhnya. Sudah sejak satu bulan yang lalu, dia memang sepi pelanggan. Padahal selama ini Tiara menjadi primadona lelaki hidung belang yang memang seringkali menghamburkan uang demi sebuah dosa besar yang disebut zina.

"Kamu kenapa, Ra?" tanya Mama Susi. Dia adalah germo yang selama ini menjadi perantara sekaligus pencari pelanggan bagi Tiara.

"Aku tidak kenapa-kenapa, Ma." Pandangan gadis muda itu menatap tajam ke arah Mama Susi.

Tiara masih terdiam. Terlihat matanya mulai berbinar. Entah apa yang diinginkan Tuhan darinya? Selama ini pekerjaan yang dilakoni bukanlah karena keinginannya sendiri. Keluarganya yang miskin menjadi awal mula dia menjadi pelacur. Alasan klasik di negeri ini, bukan? Seolah harta adalah sesuatu yang harus didapatkan dengan cara apapun. Dengan hasil menjajakan tubuh pula Tiara hingga saat ini masih bisa melanjutkan sekolahnya. Suatu kekhawatiran sendiri sebab jika pihak sekolah tahu apa pekerjaannya, tentu dia akan lekas didepak. Toh pekerjaan sebagai pelacur sudah ada sejak zaman nenek moyang, dimana jual beli perempuan adalah sebuah komoditi yang sangat menjajikan. Sebuah bisnis yang dengan mudah mencari celah kelemahan iman setiap insan untuk dijadikan ladang uang.

Mama Susi melangkahkan kaki menuju kerumunan om-om yang sedang asyik minum bersama beberapa pelacur lain. Kemewahan yang membawa malapetaka! Tentu mereka mempunyai uang berlebih untuk bisa berfoya-foya di tempat ini. Jangan harap hanya dengan modal ratusan ribu bisa mendapatkan kepuasaan birahi, sebab rata-rata tarif pelacur yang ada adalah jutaan rupiah. Selain karena pelacurnya masih muda-muda, kamar yang disediakan pun termasuk mewah lengkap dengan AC dan kamar mandi dalam. Jangan bayangkan tempat ini sama dengan tempat pelacuran di pinggiran pantai dengan bilik-bilik sederhana.

***

Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah setelah liburan panjang. Malam tadi Tiara masih juga belum mendapat pelanggan satupun. Di dalam kelas telah ramai siswa-siswa yang lain. Beberapa gerombolan kecil asyik mengobrol dengan tema yang berbeda-beda.

"Hai, Ra. Lama kita tak berjumpa. Gimana kabarmu?" Seorang siswi berpawakan tinggi dengan rambut panjang menyapa Tiara yang baru saja masuk ke ruang kelas.

Tiara hanya tersenyum menanggapi. Siswi itu bernama Susan. Dia adalah teman Tiara yang sekaligus mempunyai pekerjaan yang sama. Susan bahkan sudah menjajakan diri sejak dia duduk di SMP kelas 3. Hanya saja, dia terjun ke dunia pelacuran setelah keperawanannya direnggut oleh sang mantan pacar. Seorang pria brengsek yang pergi setelah mendapatkan apa yang dia inginkan. Susan berfikiran bahwa sudah terjatuh ke dalam air, maka lebih baik dia hanyut sekalian di dalamnya. Dia sudah tak lagi perawan, jadi apa guna menjaga kehormatan, sedang kesuciannya sudah terenggut?

"Ah, kenapa kau hanya tersenyum, Ra?"

"Beberapa hari terakhir aku tidak mendapat pelanggan. Uangku sudah mulai menipis, San. Belum lagi minggu depan harus membayar uang SPP." Wajah Tiara terlihat sayu. Matanya sembab kehitaman setelah semalaman begadang tanpa membuahkan hasil.

"Pantesan daritadi mukamu kusut begitu. Gini aja, Ra. Nanti malam kamu ikut aku. Kamu kenal Ray, bukan? Dia kakak kelas kita. Doi anak dari keluarga kaya raya. Pasti kamu bisa mendapatkan uang darinya. Ray itu lelaki dengan nafsu tinggi, sedikit dirayu saja pasti uang akan mengalir, Ra."

"Tapi, San ... Apa kamu tidak takut dia membeberkan pekerjaan kita ke pihak sekolah?" tanya Tiara dengan penuh keragu-raguan.

"Tidak mungkin, Ra. Dia bisa dipercaya kuk. Aku sudah beberapa kali kencan dengannya. Selama itu pula rahasiaku terkunci rapat."

***

Percakapan antara Tiara dan Susan akhirnya berujung kepada kesepakatan antara Ray dengan Tiara. Malam ini mereka berdua sudah berjanji untuk menghabiskan malam di rumah Ray.

Malam pun tiba. Tiara berdandan secantik mungkin sebelum datang ke rumah Ray. Dia harus mendapatkan uang untuk membayar SPP. Dengan mengenakan pakaian yang seksi, lengkap dengan gincu merah di bibir, Tiara terlihat bagai seorang ratu. Tentu setiap lelaki hidung belang akan dengan mudah tergoda oleh kecantikan pelacur satu ini.

Tak lama kemudian tibalah dia di rumah Ray. Tanpa basa-basi lelaki itu mengajak Tiara menuju kamar. Memang benar kata Susan, Ray adalah anak dari keluarga kaya raya. Rumah ini bagaikan istana, bahkan kamar pribadinya jauh lebih besar tiga kali lipat dari kamar Tiara. Nafsu Ray membuncah melihat kecantikan dan kemolekan tubuh Tiara. Dengan penuh birahi, terjadilah perzinaan antara mereka berdua.

Napas terengah dan bulir keringat menyudahi percumbuan keduanya. Mereka pun bercengkrama dengan tubuh yang hanya tertutupi selimut. Tiba-tiba datang seorang wanita yang membuka pintu kamar. Rupanya Ray lupa bahwa malam ini dia juga mempunyai janji dengan sang kekasih hati.

"Ray?!!!" Wanita itu berteriak dengan histeris melihat kekasihnya berada dalam satu selimut tanpa mengenakan pakaian dengan wanita lain.

Tiara tak kalah kaget. Wanita itu ternyata Marwah. Dia adalah teman satu kelas Tiara. Meski mereka berdua tidak begitu akrab, namun karena sering bertemu membuat keduanya sama-sama terkaget-kaget. Saling pandang terjadi, dua wajah keheranan terlihat jelas. Sedangakan satu wajah terlihat panik.

Marwah berlari meninggalkan kamar. Ray tergesa-gesa memakai celana, dan dengan telanjang dada dia mengejar Marwah. Di ruang tamu, terlihat Marwah menangis.

"Sayang, aku bisa jelaskan semua. Ini hanya salah paham." Ray membelai rambut Marwah.

Marwah yang masih emosi hanya diam dan berusaha menjauhkan tangan Ray yang membelai rambut panjangnya.

"Tidak ada lagi yang perlu dijelaskan, Ray! Kau ini lelaki bajingan! Lelaki brengsek!" Marwah sangat marah. Berkali-kali dia pukul tubuh lelaki di sampingnya.

"Sabar, Sayang. Aku bisa jelaskan semua. Dia itu hanya seorang pelacur. Aku sama sekali tidak ada hubungan apa-apa dengannya."

"Plakk!!!" Tamparan mendarat di wajah Ray. "Jadi kau menyewa seorang pelacur? Apa kau tidak ingat apa yang sering kita lakukan? apa kau kurang puas telah kurelakan keperawananku? Bahkan selama kita pacaran, selama itu pula kita sering melakukaknnya, Ray. Kau ini memang bajingan!" Emosi Marwah membuncah. Terjadilah pertengkaran sengit antara mereka berdua.

Tiara hanya terdiam mendengar pertengkaran itu. Sebelum dia menjadi sasaran amarah Marwah, dia memilih untuk pulang. Tak lagi peduli dengan uang yang sedari tadi pagi diharapkan.

***

Hari berganti, dengan penuh kemalasan Tiara melangkahkan kaki melewati lorong menuju ke kelasnya. Sebelum sampai di dalam kelas, terlihat Susan berwajah panik.

"Gawat, Ra. Kamu dipanggil kepala sekolah!"

"Ada apa memang, San?"

"Aku tidak tahu secara pasti. Hanya kudengar kabar, pekerjaanmu sebagai pelacur sudah diketahui oleh pihak sekolah, Ra."

Tiara hanya terdiam. Mulutnya tiba-tiba kaku, tubuh gemetaran. Ribuan bahkan jutaan kekhawatiran melayang-layang di atas kepala. Wajahnyapun terlihat pucat pasi sekarang.

Di dalam ruang kepala sekolah, sudah menunggu Marwah, Ray dan Pak Zainal.

"Silahkan duduk, Nak."

Tiara duduk di kursi yang sudah disediakan. wajahnya benar-benar tidak bisa menyembunyikan ketakutan.

"Begini, Nak. Bapak dengar dari Ray dan Marwah bahwa selama ini kamu sudah melanggar peraturan di sekolah ini. Bahkan boleh dibilang apa yang kamu lakukan telah mencoreng nama sekolah, Nak."

Tiara hanya menundukkan kepala.

"Apa benar selama ini kamu bekerja sebagai penjaja tubuh, Nak?"

Pertanyaan itu menyambar-nyambar hati dan pikiran Tiara. Di depan matanya sudah terbuka lebar pintu untuk mendepaknya dari sekolah.

"Iya benar, Pak. Dia ini pelacur! Benarkan Ray? Saya dan Ray menjadi saksinya, Pak." Marwah memberikan penjelasan dengan nada yang penuh dendam.

"Kenapa diam, Nak? Apa benar apa yang diakatakan dua temanmu ini?"

Tiara hanya mengangguk perlahan. Suasana hening seketika. Hanya gemuruh yang terdengar menggebu di dada Tiara. Detak jantungnya semakin kencang.

"Bapak tidak menyangka ternyata benar kamu menjual diri, Nak. Bapak benar-benar kecewa. Kamu ini anak yang pandai, kenapa kamu bisa menggadaikan masa depanmu dengan cara seperti ini, Nak? Kamu tahu, peraturan di sekolah ini dengan jelas akan mengelurakan siswanya yang terjerat kasus pornografi dan narkoba, kan? Besuk kamu suruh orang tuamu datang ke sini, dengan berat hati Bapak harus memberi tahu mereka tentang semua ini."

"Tidak perlu repot-repot, Pak. Orang tua saya sudah tahu apa pekerjaan saya selama ini. Jadi percuma juga Bapak memberi tahu mereka. Lagipula, dengan uang hasil melacurkan diri inilah biaya sekolah bisa saya bayar."

Pak Zainal hanya terdiam, dia menghela napas panjang-panjang.

"Boleh saya bertanya, Pak?" Suara Tiara memecah keheningan. Kata-katanya yang terdengar tegas benar-benar telah mengusir jauh wajah berbalut ketakutan. Kali ini wajahnya penuh dengan ketenangan,

"Apakah melacurkan diri karena terdesak kemiskinan untuk membiayai sekolah demi mencapai cita-cita itu sesuatu yang teramat buruk? Saya pun tak ingin bekerja seperti ini, tapi keadaanlah yang memaksa."

"Tidak baik menyalahkan takdir, Nak. Bagaimanapun juga, Tuhan sudah melarang perzinaan. Bukankah melacurkan diri termasuk dalam zina? Masih banyak pekerjaan halal lainnya yang bisa kamu kerjakan, jadi jangan pernah kamu mengambing hitamkan kemiskinan keluargamu itu."

"Lalu bagaimana dengan mereka yang dengan sukarela menyerahkan keperawanan kepada pacarnya, Pak? Mereka yang dengan dalih suka sama suka, cinta sama cinta dan diberi sedikit bumbu-bumbu janji tak pasti dengan rela melepas kesucian, bahkan setelahnya berlanjut ke perzinaan yang berulang. Apakah mereka lebih baik dari saya?"

Ray dan Marwah terlihat kaget dengan apa yang disampaikan Tiara. Mereka berdua mulai salah tingkah. Pak Zainal tak kalah bingung dengan pertanyaan yang disampaikan Tiara.

"Kenapa Bapak diam? Demi Allah saya mendengar dengan telinga saya sendiri percakapan Marwah dan Ray. Bahwa keduanya juga sering melakukan zina. Apakah mereka tak lebih hina dari saya, Pak? Saya menjual diri dengan imbalan uang, dimana uang itu untuk biaya sekolah. Tapi mereka? Mereka beruntung terlahir dari keluarga yang kaya, tak perlu memikirkan biaya sekolah. Bukankah apa yang dilakukan Marwah juga tak jauh beda dengan pelacur? Pelacur gratisan tepatnya. Menyerahkan tubuh untuk orang yang dicintainya tanpa imbalan apapun! "

Pak Zainal masih saja diam. Apa yang dikatakan Tiara benar-benar membuat Beliau menjadi ciut nyalinya.

"Kenapa masih diam, Pak? Saya yakin banyak dari siswa di sini yang melakuan hal yang sama seperti apa yang dilakuakn Ray dan Marwah. Banyak pelacur gratisan di sini! Bapak punya anak perempuan, bukan? Semoga anan Bapak tidak menjadi pelacur gratisan seperti mereka."

Tanpa permisi Tiara keluar dari ruang kepala sekolah. Sejak saat itu pula dia resmi dikeluarkan.

Yogya, 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun