Mohon tunggu...
Dhea Nur Septi Anggraeni
Dhea Nur Septi Anggraeni Mohon Tunggu... Lainnya - 2002

Masih SMA

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ballerina

24 Februari 2021   11:09 Diperbarui: 24 Februari 2021   11:16 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Sabtu pagi yang cerah menyapaku pagi ini, kuterbangun dengan rasa yang tak biasa, sebuah penyesalan terus saja membuatku tak bisa tenang, setiap orang pasti pernah merasakan pahitnya di masa lalu, begitupun denganku. Aku bangun dan berjalan menuju sebuah ruangan yang tidak pernah berani ku buka. Ruangan yang memiliki banyak kenangan.


"Bianca kamu pasti kuat!" ucapku pada diriku sendiri


Perlahan ku buka ruangan itu, terlihat beberapa barang yang tersusun rapi disana. Aku berjalan melihat sekeliling ruangan. Oh tidak, begitu banyak kenangan yang tersimpan di ruangan itu. Hingga pada akhirnya mataku tertuju pasa sebuah album foto yang berada diatas meja. Foto ku bersama saudara perempuanku ketika masih kecil. Aku membukanya perlahan demi perlahan hingga tak sadar air mataku mengalir. Aku teringat akan memori ku bersama saudaraku. Betapa jahatnya diriku kepadanya.


Waktu itu ketika umurku beranjak remaja aku mengikuti kelas ballerina karena memang aku bercita - cita untuk menjadi seorang penari balet profesional. Aku pergi kelas dengan saudara perempuanku yang umurnya satu tahun lebih tua dariku, namanya Diandra. Aku dan Diandra seperti anak kembar yang tak bisa terpisahkan, mungkin karena umur kami yang hanya berbeda satu tahun. Kemanapun kami selalu bersama, berbagi cerita, saling menyayangi layaknya saudara kandung seperti biasa. Aku dan Diandra tak henti - hentinya berlatih menari. Setiap kali pulang sekolah ataupun hari libur kami selalu melakukan latihan balet bersama. Aku senang memiliki saudara perempuan seperti Diandra, ia orang yang sempurna. Hidupnya selalu beruntung, ia anak yang sangat pintar, bahkan ia sudah menjuarai beberapa lomba, termasuk lomba balet. Aku senang ketika Diandra dinobatkan menjadi seorang pemenang, akan tetapi semakin aku beranjak dewasa, aku memiliki perasaan yang seharusnya tidak pantas aku rasakan. Aku iri dengan keberhasilan Diandra. Dia selalu dipuji oleh semua orang, terkecuali orang tuaku. Orang tuaku selalu menasehatiku untuk tidak iri kepada Diandra. Sejak saat itu aku berlatih lebih keras agar aku bisa mengalahkan Diandra, ya aku memang salah melakukan hal itu, karena bagaimanapun Diandra adalah saudara kandungku, tidak sepantasnya aku jadikan saudaraku menjadi sainganku.


"Bi, nanti kita latihan bareng ya." Ajak Diandra kepadaku ketika kita pulang sekolah


"Gausah, aku bisa latihan sendiri." Jawabku pada Diandra ketus


Aku meninggalkan Diandra ke tempat latihan sendirian. Aku terus berlatih sekeras mungkin agar aku bisa mengalahkan Diandra. Lama aku berlatih Diandra menghampiriku "Bi, ini minum dulu, kamu terlalu keras berlatih hari ini, istirahatlah nanti kakimu sakit." Ucap Diandra menyerahkan sebotol air mineral kepadaku. Dan apa yang aku lakukan kepadanya?? Aku menepis tangan Diandra hingga air itu terlempar jauh.

"Gausah sok perhatian deh!" ucapku padanya.


"Bianca!! Apa yang kamu lakukan?!" Teriak guru baletku


"Hmm ini salah saya miss, saya yang menganggu Bianca latihan, biar saya yang membersihkan ini." Ucap Diandra membelaku.


Aku pergi ke meninggalkan Diandra disana untuk beristirahat sejenak. Setelah istirahat aku harus latihan kembali agar gerakan berputarku maksimal. Aku berputar dan melompat dengan semangat hingga tak sadar lantai bekas minuman yang aku tepis tadi masih licin dan akhirnya kejadian tak terduga menimpaku.


"Krekk..." Kakiku tergelincir hingga aku terjatuh ke lantai, sakit sangat sakit.


"Ya Allah Bianca!"


"Astaga!"


"Bi, kamu gak apa apa?"


Semua orang menghampiriku dengan wajah yang khawatir, aku dibawa ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, dokter langsung memeriksaku. Orang tuaku datang karena di telepon oleh Diandra.


"Maaf Pak... Bu... Ada keretakan pada pergelangan kaki Bianca, sehingga memerlukan perawatan yang cukup lama supaya kakinya bisa berjalan seperti semula. Untuk sementara Bianca tidak boleh melakukan banyak aktivitas, dan Bianca memerlukan kruk atau kursi roda untuk membantunya berjalan. Tapi untuk saat ini Bianca perlu di rawat terlebih dahulu selama beberapa hari. Terimakasih saya harus memeriksa beberapa pasien yang lain. Semoga Bianca cepat sembuh." Ucap dokter itu kepada orang tuaku di depanku.


"Hah? Berarti Bianca gak bisa nari lagi dong Mah?" Aku menangis dan memeluk Mama.


"Ini hanya sementara kok, nanti kamu akan sembuh lagi." Ucap Mama kepadaku


"Tapi kan.. Lomba nya satu minggu lagi, Bianca mau menang di lomba yang sekarang Ma" Aku semakin kencang menangis, lalu aku melihat Diandra yang menangis disana.


"Ini semua gara - gara Diandra! Kamu yang buat aku gak bisa jalan sekarang!" Teriak ku pada Diandra


"Jangan menyalahkan siapapun ini sebuah kecelakan!" Tegas Papa


"Tapi Diandra yang gak bener ngebersihin lantainya. Kamu sengaja kan biar aku jatuh, terus kamu yang menang lagi lomba?" Ucapku pada Diandra


"Ngga Bi, gak kayak gitu, a-aku gak ada niatan buat nyelakain kamu, a-aku minta maaf." Diandra menangis


"Alah gausah boong, pasti kamu sengaja! Gara gara kamu aku gabisa jalan lagi. Aku banci Diandra!" Teriakku sehingga seisi ruangan dapat mendengar suaraku


"Sebaiknya kamu istirahat" Ucap Mama, dan akupun memutuskan untuk beristirahat.
Papa membawa Diandra pergi dari ruanganku, mungkin menenangkan Diandra atau apalah aku tidak mau tahu.


Keesokan harinya ketika aku terbangun dari tidurku, Diandra ada di sampingku, ia menyapaku dengan senyuman manisnya.


"Ngapain kamu disini? Bukan nya hari ini harus sekolah?" Tanyaku


"Hari ini aku izin untuk merawatmu." Ucap Diandra


"Aku gak butuh kamu, mending kamu pergi aja dari sini, mana Mama Papa?"


"Mereka kan pergi bekerja, jadi aku yang bertugas merawatmu sebelum suster yang Papa bayar untuk merawatmu datang."


"Kamu pergi aja deh! Aku bilang aku ga butuh kamu!"


"T-tapi kalau kamu mau apa apa kan susah."


"Heh, kamu mikir ga? Aku kayak gini karena siapa? Karena kamu! Inget itu."


"Aku minta maaf untuk itu, tapi aku benar benar gak ada niatan buat nyelakain kamu, kamu satu satunya adik aku, aku sayang kamu Bi."


"Halah, kamu sangat menjijikan!"


"Sekeras apapun kamu ngusir aku, aku gak akan pergi dari sini."


"Terserah!"


Diandra dengan sigap merawatku di rumah sakit, dari mulai menyuapiku, mengganti pakaianku, dan mengantarku ke kamar mandi. Sungguh wanita berhati malaikat. Hingga waktu tak terasa sudah malam, orangtua ku datang bersama suster yang akan merawatku selama sakit.


"Kata Dokter, besok kamu sudah boleh pulang." Ucap Papa


"Serius Pa?"


"Iya, kamu besok sudah boleh pulang." Tembal Mama


"Dan ini suster Diana, dia yang akan merawatmu selama sakit."


"Hallo, Bianca." Sapa suster Diana


"Hallo Sus."


"Karena sekarang sudah malam, kamu harus istirahat, agar besok kamu ga kesiangan. Kan kamu mau pulang, sudah rindu kamar bukan?"


"Iya Sus, rindu banget."


Aku senang karena ada suster yang merawatku, itu tandanya aku tidak lagi dirawat oleh Diandra.
Aku terbangun dengan wajah yang semangat, hari ini aku akan pulang ke rumah dan aku tidak sabar akan hal itu. Aku merindukan kamarku, dan aku juga merindukan masakan Mama. Kini hari - hariku dibantu oleh suster dan kursi roda. Rasanya aku sangat ingin pergi berlatih balet. Aku termenung di sebuah taman yang berada di belakang rumahku. Merenungkan akan cita - citaku untuk bisa menjadi seorang ballerina. Aku pandang kaki sebelah kanan ku, begitu rapi dibalut gips. Menyerah? Ahh tidak ini hanya sementara. Sudah cukup aku mencari angin segar akupun kembali ke kamarku didorong oleh suster Diana. Ketika aku melewati kamar Diandra aku melihat ia sedang menari berputar dan melompat. Aku iri padanya karena ia masih bisa melakukan balet, sedangkan aku, aku seperti orang tak berguna yang hanya duduk di kursi roda. Aku benar benar merasa sangat tidak berguna saat ini. Karena kaki ku yang seperti ini aku tidak bisa lagi menari, bahkan sepertinya akan selamanya tidak bisa menari.


"Sus, ayok cepat ke kamar!" Aku berteriak sehingga mampu membuat Diandra menoleh ke arahku. Terlihat muka Diandra yang merasa iba kepadaku


"Cepat!" Teriakku lagi pada Suster Diana


"Baiklah."


Aku tahu Diandra pasti merasa tidak enak karenaku. Aku kembali ke kamarku dan aku menangis sejadi jadinya, hatiku benar - benar hancur, harapanku benar - benar pupus. Kini aku terpuruk.


Sekitar dua minggu aku diam di rumah, akhirnya hari ini dokter mengijinkan aku untuk bersekolah lagi, aku sangat bersemangat karena aku akan bertemu dengan teman - temanku. Dokter juga mengganti kursi roda ku dengan kruk. Untungnya kemarin aku sudah berlatih berjalan menggunakan kruk, cukup melelahkan tapi aku ingin sekolah dan sembuh. Setibanya di sekolah seluruh teman - temanku menyambutku dengan antusias, aku senang bisa kembali melihat wajah teman - temanku, tapi ada kejadian yang membuatku merasa kesal. Ketika jam istirahat telah tiba, aku bersama dengan teman - temanku pergi ke kantin untuk melakukan makan siang, tiba - tiba ada seorang perempuan yang mengejek ku. Ia sengaja menyenggolku hingga akhirnya kruk itu terjatuh dan akupun ikut tersungkur ke lantai.


"Heh! Kalau jalan hati - hati dong, lo ga liat ada orang sakit disini?" Ucap temanku.


Kakiku terasa sakit untuk kembali berdiri, akhirnya aku meminta suster untuk membawakan kursi rodaku kembali. Suster Diana ikut bersamaku sekokah atas perintah Papa.


"Oh ini yang mau jadi penari balet tapi berdiri aja gak mampu! Dasar lumpuh." Ucap perempuan itu.


"Hey, jaga ya mulut lo!" Aku melemparkan kruk yang aku pegang ke arah dia, hingga ia meringis kesakitan.


"Emang kenyataan nya kan lo lumpuh." tembal temannya


"Kurang ajar lo semua!" Teriakku sambil menangis


Semua orang yang ada disana melihat ke arahku, mereka semua berusaha membantuku untuk berdiri bahkan membelaku. Aku sangat ingin meninju wajahnya tapi apalah dayaku yang tak bisa berdiri, hanya duduk tersimpuh sambil menahan amarah yang sebentar lagi akan meledak.
Diandra melihatku tersimpuh dilantai, ia menghampiriku dan membelaku di depan perempuan itu. Perempuan yang bahkan aku tidak tahu dia siapa.


"Heh, maksud lo apa?" ucap Diandra kepada perempuan itu


"Emang adek lo lumpuh kan? Terus salah kita dimana?" Jawab mereka


"Jaga ya mulut lo! Bianca ga lumpuh, lo yang lumpuh, lumpuh otak! Sekarang juga lo pergi sebelum gue tinju muka brengsek lo!"


Mereka pun pergi, karena memang semua orang memojokkan dia.


"Bi, kamu gak apa - apa?" tanya Diandra


"Diem! Jangan pegang gue!" jawabku


"Ayok, aku bantu kamu berdiri."


"Gausah, aku ga perlu bantuan kamu."


"Bi, aku mohon untuk saat ini kamu jangan egois."


"Kamu lupa? Aku gini juga gara - gara kamu Diandra!"


"Aku gak peduli apa yang kamu omongin, tapi aku mohon biarkan aku bantu kamu berdiri."
Diandra pun membantuku untuk berdiri, tapi tak bisa, kaki ku terasa berat dan sangat sakit, aku menangis menahan kesakitan yang luar biasa ini.


"Gak bisa, ini sakit." ucapku. Walau sudah dibantu oleh beberapa orang tapi tetap saja aku tidak bisa berdiri. Menyedihkan.


Hingga pada akhirnya suster datang membawakan kursi rodaku, aku naik ke kursi roda dan meminta ijin kepada wali kelas untuk pulang. Aku rasa kaki ku mengalami keretakan untuk kedua kalinya, dan itu terbukti benar ketika dokter datang untuk memeriksa ku. Dengan ini aku benar - benar tidak bisa mengikuti lomba balet yang akan berlangsung dua minggu lagi. Padahal sedikit lagi aku bisa sembuh, tapi berengsek nya perempuan yang menyenggolku tadi siang, membuatku kembali tidak bisa berjalan bahkan sakitnya lebih parah dari yang pertama, masa pemulihanku diperkirakan akan berlangsung selama dua bulan bahkan bisa lebih dari itu. Aku tidak bisa mengikuti lomba dan mengalahkan Diandra.


Hari ini perlombaan ballerina digelar, semua anggota keluargaku sibuk untuk menganyar Diandra lomba, aku sebenarnya tidak mau untuk ikut bersama mereka, karena itu hanya akan membuatku sakit hati, karena pada perlombaan kali ini, aku tidak bisa ikut serta. Tapi dengan berat hati aku ikut mengantarkan Diandra. Sesampainya di gedung, suasana nya terasa sama seperti aku ikut lomba tahun lalu. Banyak orang tua yang mengantarkan anak - anaknya lomba, mereka yang ikut lomba terlihat sangat cantik dan menawan, aku rindu berputar dan melompat.


"Hai Bianca, apa kabar?" Sapa guru balet ku.


"Baik Miss." Jawabku malas


"Sayang sekali kamu tidak dapat ikut lomba tahun ini..."


Mama berdehem agar Mrs tak lagi melanjutkan perkataannya.


Mama tahu betul perasaanku saat ini, memang hanyalah Mama yang mengerti semua permasalahan yang aku alami.
Akhirnya lomba pun segera dimulai, Diandra tampil sebagai peserta pertama, gerakan yang dilakukan Diandra benar - benar indah, pantas saja selama ini ia selalu memenangkan perlombaan ini. Mataku berkaca - kaca melihat keindahan ini. Sungguh berbakat sekali Diandra menari balet. Aku sangat terkesima dengan penampilan Diandra.
Kini pengumuman pemenang akan segera dibacakan, aku ikut merasa dag-dig-dug, dan ternyata Diandra kembali dipilih sebagai pemenang. Aku senang tapi aku juga iri dengan Diandra. Aku iri karena kali ini perlombaan dimenangkan lagi oleh Diandra. Diandra berjalan ke atas podium untuk menerima piala dan hadiah berupa uang tunai. Aku bahagia karena bagaimanapun Diandra adalah saudara kandungku, teman baikku. Tapi aku terlalu egois sehingga menjadikan Diandra sebagai musuh terbesarku. Diandra turun dan menghampiriku.


"Ini piala punya kamu." Diandra menyerahkan piala itu kepadaku


"Maksud kamu apa?"


"Kamu sudah keras berlatih untuk bisa memenangkan lomba ini bukan? Ini pantas aku berikan kepadamu karena kamulah yang sepantasnya memenangkan lomba ini, bukan aku."


"Gausah drama deh, kamu seneng kan bisa menang lagi, kamu seneng kan aku gabisa ikut lomba, udahlah Di gausah banyak drama, aku muak dengan semua tingkah kamu yang kayak gini."


Aku keluar gedung sendirian, menyeret kursi rodaku yang sudah menjadi teman baikku.
Aku terus menjalankan kursi rodaku hingga aku tidak menyadari bahwa kini aku sudah berada di jalan besar yang penuh dengan mobil. Aku bingung dan aku melihat mobil dari kejauhan yang akan menghampiriku dan siap menabrak ku kapan saja. Aku menggerakan kursi rodaku untuk segera menghindar, tetapi roda itu tersangkut oleh jalan yang berlubang, aku sudah tidak punya pilihan dan berharap bahwa mukjizat akan datang kepadaku saat ini juga. Ku pejamkan mataku siap akan suatu hal yang akan datang saat ini juga.


"Biancaaa... Awassss....!!!"


"Brakkkkkk....." Aku terlempar dan suara itu tak lagi ku dengar, aku membuka mataku dan aku melihat darah yang mengalair di tanah aspal keluar dari seseorang yang mendorongku agar aku tidak tertabrak, orang itu adalah Diandra.


"Diandraaaaaaaa!!" teriakku


Aku pingsan, dan ketika aku bangun aku sudah berada di rumah sakit.


"Ma, Diandra mana?" Tanyaku pada Mama dan Mama menangis lalu membantuku bangun.


"Ma, aku mau liat Diandra."


Mama membatuku duduk ke kursi roda dan membawaku ke ruangan ICU. Disana terdapat Diandra yang terbaring lemah tak berdaya, aku menangis dengan apa yang telah terjadi. Mama membawaku masuk ke ruangan Diandra. Diandra sudah siuman hanya saja ia perlu istirahat karena Diandra mengelami luka parah pada bagian kepala.


"Di, maafin aku." Aku menangis memeluk Diandra.


"Kamu gak perlu minta maaf, kamu gak salah kok."


"Aku salah karena telah menjadikan kamu musuhku, bahkan aku selalu bersikap tak baik kepadamu, maafkan aku Di, maaf."


"Sudah jangan nangis, aku gak kenapa kenapa kok." Diandra mengusap air mataku


"Di, kamu harus sembuh biar kita bisa kayak dulu lagi, aku gak akan bersikap egois kali ini. Aku sayang kamu Di."


"Iya, aku juga sayang kamu. Tapi aku gak tau kapan aku akan sembuh, pokoknya setelah kamu bisa jalan lagi, kamu harus janji sama aku, kamu harus jadi penari balet profesional, terus latihan dan terus semangat, terus jadi Bianca yang pekerja keras, dan pantang menyerah, aku yakin suatu hari nanti kamu bisa jadi seorang ballerina."


"Aku mau itu terjadi bareng sama kamu, aku mau kita jadi ballerina bersama, itu impian kita sejak kecil, Di. Ayo dong semangat buat sembuh."


"Iya, Bi. Tapi sekarang aku capek, aku mau istirahat dulu, kamu harus nepatin janji kamu ya. Jangan nakal - nakal, jadilah orang yang baik, i love more than you."


Aku memeluk Diandra dengan sangat erat, hingga akhirnya aku tidak mendengar lagi suara Diandra bahkan hembusan nafas Diandra sudah tidak aku rasakan. Diandra istirahat untuk selama - lamanya. Aku menangis sejadi - jadinya sambil menggoyahkan tubuh Diandra berharap bahwa mukjizat akan datang kepadaku dua kali. Tapi nihil, kini Diandra sudah tenang di alam sana. Tangisan ku pecah, hatiku terasa hancur, ini semua salahku. Aku yang sudah membuat Diandra kehilangan nyawanya, aku yang selalu menyalahkan Diandra akan kegagalan yang telah aku perbuat. Apa yang aku lakukan kepada Diandra tidak bisa dibenarkan. Papa menarikku agar jauh dari Diandra, dan dokter mencabut semua peralatan yang terpasang pada Diandra lalu menutup Diandra menggunakan kain putih. Aku tak bisa menerima ini semua. Harusnya aku yang terbaring dan tertutup kain itu, bukan Diandra.


Tangisanku terhenti ketika ku dengar seseorang mengetuk pintu.


"Bianca, apa kamu di dalam?" itu suara Mama.
"Iya, Ma." Mama menghampiriku dan memelukku, menenangkan ku pada kejadian dua tahun itu.


"Kamu merindukan Diandra?" tanya Mama


"Iya, Ma."


"Kalau begitu selesai kamu tampil, kita ziarah ke makam Diandra ya." ajak Mama


"Sekarang sudah siang, waktunya kamu siap - siap, nanti kamu terlambat." sambungnya


"Baik, Ma."


Selesai tampil aku langsung bergegas untuk pergi ziarah ke makam Diandra, tak lupa aku membawa bucket bunga kesukaan Diandra. Ku pandangi batu nisan yang terdapat nama Diandra disana, aku bercerita kepadanya tentang apa yang aku capai saat ini.


"Kini aku yang sekarang bukanlah aku yang dulu, aku sudah mencapai impianku menjadi seorang penari ballerina. Ini semua berkat kamu, kamu banyak menginspirasiku, kamu yang menjadi penyemangatku untuk bisa bangkit dari keterpurukan ku. Aku sudah berjanji padamu untuk menjadi orang yang baik dan tidak egois. Kini apa yang aku harapkan sudah menjadi kenyataan. Harapan aku dan harapan kamu sudah terbayarkan dengan kesuksesan ku menjadi seorang penari ballerina. Terimakasih Diandra karena pernah hadir dan memberikan pelajaran yang sangat berharga bagiku, aku sayang kamu, dan kamu akan seterusnya menjadi saudara terbaikku. I love you, Di!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun