LATAR BELAKANG
Perkembangan teknologi kian hari semakin maju. Dengan kian majunya teknologi, kita mendapatkan kemudahan dalam memanfaatkannya. Komunikasi antar manusia saat ini tidak hanya dapat dilakukan secara langsung melainkan juga dapat dilakukan dengan berbagai alat. Salah satu alat komunikasi yang paling banyak digunakan saat ini adalah internet. Menurut data BPS dari survei Susenas yang dilakukan pada tahun 2021, sebanyak 62,10% penduduk Indonesia telah mengakses internet pada tahun 2021. Tingkat penggunaan internet yang tinggi ini mencerminkan lingkungan yang memiliki keterbukaan terhadap informasi dan penerimaan publik terhadap perkembangan dan perubahan teknologi. Perkembangan teknologi yang sangat pesat kini kian maju dengan adanya inovasi baru seperti adanya aplikasi dan media sosial.
Dengan segala manfaat positif yang diberikan oleh internet lewat kemudahan yang ditawarkan mulai dari akses informasi hingga sebagai alat komunikasi, bahkan tidak menutup kemungkinan internet mampu dimanfaatkan untuk seorang individu mencari pasangan misalnya dengan menggunakan aplikasi yang mendukung hal ini seperti tinder, michat, bumble dan lain sebagainya. Diantara banyaknya manfaat positif dan kemudahan yang diberikan oleh internet baik secara langsung maupun lewat aplikasi yang mendukung, tidak menutup peluang internet dapat disalahgunakan untuk hal-hal negatif. Bahkan tidak menutup kemungkinan akan terjadinya kekerasan seksual lewat internet.
Salah satu bentuk penyalahgunaan internet untuk hal-hal negatif adalah sebagai sarana pendukung kekerasan seksual. Kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku atau predator sekarang ini tidak hanya terjadi dalam fisik melainkan juga terjadi secara online lewat aplikasi atau media sosial, salah satunya adalah sexting. Sexting merupakan sebuah bentuk interaksi seksual yang terjadi secara tidak langsung atau dilakukan lewat perantara secara online (Anisa, Ayu, Valentine, 2021). Sexting sendiri adalah sebuah tindakan yang dimana pelaku mengirimkan pesan, foto ataupun video seksual melalui perantara handphone atau dengan menggunakan internet dengan didukung oleh aplikasi berupa media sosial seperti misalnya whatsapp, telegram, twitter, line, instagram dan berbagai jenis aplikasi lain.
Sexting mungkin tidak terdengar begitu umum di telinga, namun pada kenyataannya remaja menjadi pelaku yang paling mendominasi perilaku sexting. Sexting yang dilakukan oleh remaja umumnya berawal dari hubungan antara dua individu yang berstatus pacaran, dimana kemudian mereka mulai mencoba untuk melakukan, mengirim dan menyimpan hal-hal yang negatif dan berbau dewasa antara kedua individu tersebut. Namun tidak hanya pada remaja yang memiliki hubungan diantara keduanya, perilaku menyimpang ini juga terjadi di antara dua orang yang bahkan tidak memiliki hubungan. Bahkan perilaku sexting ini juga tidak hanya terjadi di masyarakat melainkan di dunia pendidikan juga, misalnya saja di dunia kampus.
Kampus merupakan salah satu tempat untuk mengenyam pendidikan. Kampus adalah sarana yang diberikan untuk digunakan sebagai ruang bagi mahasiswa untuk mengembangkan bakat dan melanjutkan studinya. Sayangnya gambaran kampus yang ideal dan terhindar dari hal-hal negatif harus pupus, kenyataannya kampus juga bukan tempat yang aman bagi para mahasiswa dalam menghindari kekerasan seksual dan pelecehan. Perilaku sexting bahkan tidak hanya dapat terjadi di antara mahasiswa saja, melainkan juga dapat terjadi antara dosen dengan mahasiswa.
Salah satu kasus yang pernah ramai diperbincangkan adalah mengenai kasus kekerasan seksual berupa sexting yang dilakukan oleh seorang dosen kepada mahasiswa. Tulisan ini akan mengangkat, membahas, serta menganalisis kasus kekerasan seksual berupa sexting yang terjadi di Universitas Negeri Jakarta yang terjadi dan hangat diperbincangkan pada tahun 2021 lalu dengan menggunakan teori sosiologi.
PEMBAHASAN
1. Pengertian Kekerasan Seksual
Kasus kekerasan seksual belakangan ini kian ramai terjadi dan menjadi perbincangan hangat, baik di berita ataupun di internet. Salah satu faktor penyebab mengapa tingkat kasus kekerasan seksual di indonesia ini meninggi adalah mudahnya akses dunia maya saat ini, dimana dalam dunia maya terdapat berbagai jenis situs-situs dewasa yang menawarkan dan menyajikan hal tidak senonoh kepada siapa saja. Untuk itu sangat penting adanya yang memantau serta mengontrol situs-situs tersebut secara ketat.
Definisi kekerasan seksual merupakan sebuah tindakan atau perbuatan yang bentuknya berupa penghinaan, pelecehan, merendahkan dan/atau menyerang tubuh dan/atau fungsi seseorang dikarenakan adanya ketidakseimbangan antara relasi kuasa dan/atau gender dimana hal ini mengakibatkan individu menderita secara psikis dan/atau fisik yang mampu mengganggu kesehatan seseorang serta menghilangkan peluang orang tersebut untuk dapat mengenyam pendidikan secara aman.
Dalam hukum pada Pasal 1 ayat 1 UU nomor 12 tahun 2022, tindak pidana kekerasan seksual dimaknai sebagai segala bentuk perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana yang telah diatur dalam undang-undang dan perbuatan seksual lainnya sebagaimana telah diatur dalam undang-undang. Tindak pidana yang berhubungan dengan masalah kekerasan seksual telat diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mulai dari Pasal 281 hingga Pasal 299 tentang Kejahatan terhadap[ tindak Kesusilaan, yang berbunyi “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusakkan kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun”.
Kekerasan seksual umumnya dipahami hanya sebatas pemerkosaan, namun tidak hanya itu saja. Sebagaimana telah diatur dalam Bab II mengenai Tindak Pidana Kekerasan Seksual Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 mengenai Tindak Pidana Kekerasan Seksual, jenis-jenis kekerasan seksual diantaranya: Pelecehan seksual non-fisik. pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual dan kekerasan seksual yang dilakukan melalui teknologi. Adapun salah satu perbuatan yang termasuk kekerasan seksual yang dilakukan secara tidak langsung atau menggunakan perantara berupa teknologi adalah sexting.
2. Pengertian Sexting
Sexting mungkin tidak terdengar begitu umum baik digunakan atau didengar, namun sesungguhnya sexting telah populer sejak 2009, dimana kata sexting sendiri terdiri dari kata “sex” dan “texting”. Sexting adalah sebuah tindakan yang dimana pelaku mengirimkan pesan, foto ataupun video seksual melalui perantara handphone atau dengan menggunakan internet dengan didukung oleh aplikasi berupa media sosial seperti misalnya whatsapp, telegram, twitter, line, instagram dan berbagai jenis aplikasi lain. Dikutip dari yolanda (2018), menurut survei yang dilakukan oleh Pew pada tahun 2009 menyatakan bahwa 15% remaja yang ada di Amerika Serikat setidaknya pernah menerima foto yang berbau dewasa dari salah seorang teman lewat perantara ponselnya. Sexting terbagi menjadi 2 bentuk, yaitu verbal dan non-verbal. verbal sebagaimana kita ketahui berupa pesan dengan kalimat seksual yang tidak senonoh, selain itu menggoda dan merayu pun termasuk kedalam sexting verbal. Selanjutnya sexting non-verbal berbentuk seperti mengirimkan video, foto ataupun stiker yang seksual.
Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi sexting, diantaranya adalah: sikap, norma subjektif terhadap sexting dan insecure relationship. Normal subjektif merupakan sebuah pandangan seorang individu terhadap kepercayaan yang dipegang erat oleh orang lain yang dimana hal tersebut akan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap minat untuk melakukan ataupun tidak melakukan sesuatu yang tengah menjadi pertimbangan individu tersebut. Sedangkan insecure relationship adalah sebuah rasa cemas pada diri individu terhadap hubungan yang dimilikinya.
3. Landasan Teori
3.1. Teori Interaksionisme Simbolik oleh George Herbert Mead
Teori interaksionisme simbolik dipelopori oleh Max Weber dan diperkenalkan oleh John Dewey, Charles H. Cooley, George Herbert Mead dan Herbert Blumer. Keempat sosiolog tersebut memandang interaksionisme simbolik lewat sudut pandang sosial. Secara spesifik teori interaksionisme simbolik ini dikemukakan oleh George Herbert Mead. Mead merupakan seorang sosiolog yang lahir di Massachusetts, Amerika Serikat., pada 27 februari 1863. Teori interaksionisme simbolik yang dikemukakan oleh Mead, didasarkan pada teori behaviorisme, namun bukan behaviorisme radikal melainkan behaviorisme sosial, yang berfokus pada interaksi yang terjadi antar individu dengan masyarakat. Interaksi terjadi antara individu kemudian berkembang lewat simbol-simbol yang diciptakan, simbol-simbol tersebut mencakup gerak tubuh seperti suara, gerak fisik, dan bahasa tubuh yang dilakukan secara sadar.
Landasan berpikir dari teori interaksionisme simbolik adalah interaksi yang berlangsung di antara ragamnya ideologi dan makna yang ada pada masyarakat. Pada interaksi, setiap diri individu dan masyarakat berperan sebagai aktor yang tidak dapat dipisahkan serta saling mempengaruhi antara satu dengan yang lain. Interaksionisme yang terjadi antara individu pada sebuah kelompok masyarakat terjadi melalui proses yang dimana proses yang dimaksud adalah mempelajari tindakan sosial untuk mengetahui makna dari sebuah tindakan sosial lewat perspektif seorang individu. Menurut Mead pikiran berperan sangat besar terhadap sebuah tindakan sosial, sebab individu akan melakukan pertimbangan sebelum memulai atau melakukan sebuah tindakan.
3.2. Teori Dramaturgi oleh Erving Goffman.
Teori Dramaturgi membahas mengenai interaksi sosial yang dimana teor ini dimaknai dengan pertunjukan drama yang berada di atas panggung, dalam hal ini individu merupakan aktor. Erving Goffman adalah tokoh yang mengemukakan mengenai dramaturgi. Goffman lahir di Alberta, Kanada, pada 11 juni 1922. Karya Goffman yang paling penting dan populer mengenai diri atau self dalam interaksionisme simbolis adalah buku Presentation of Self in Everyday Life yang dirilis pada tahun 1959. Lewat teori ini Goffman berpendapat ketika individu berinteraksi maka mereka ingin memberikan gambaran yang ideal mengenai diri mereka dan cenderung menyesuaikan diri terhadap lawan bicara mereka sehingga sifat-sifat atau perilaku yang menurutnya menyimpang dari ideal akan secara otomatis disembunyikan, Goffman menyebut ini sebagai manajemen kesan.
Menurut Goffman, kehidupan sosial terbagi menjadi 2 yaitu front stage dan back stage. Panggung depan menurut Goffman ialah bagian dari pertunjukan yang berfungsi sebagai gambaran ideal dari individu tersebut. Goffman menyatakan bahwa panggung depan cenderung dipilih bukan diciptakan. Sedangkan panggung belakang menurut Goffman adalah bagian dimana tindakan atau perilaku dari aktor tersebut berbanding terbalik dengan gambaran ideal di panggung depan yang ditampilkan.
4. Kasus Sexting di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Jakarta.
Pada sub-bab ini akan mengangkat salah satu kasus sexting yang sempat ramai menjadi perbincangan hangat baik di lingkungan kampus tersebut ataupun di dunia maya. Kasus ini berlatar belakang tempat di salah satu perguruan tinggi negeri yaitu Universitas Negeri Jakarta.
Kasus ini diawali dengan pengakuan dari korban yang memposting hasil screenshot di salah satu base twitter yaitu @AREAJULID pada tanggal 6 Desember 2021 pukul 08.39. Sesaat setelahnya tweet tersebut pun menjadi viral dan ramai, hingga akhirnya diketahui bahwa pelaku sexting tersebut merupakan seorang dosen berinisial DA yang ditugaskan sebagai dosen pembimbing mahasiswa di Program Studi Tata Rias, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Jakarta.
Diduga pesan sexting yang dilakukan oleh dosen berinisial DA tersebut telah berlangsung sejak 2018. Setelah kasus ini hangat diperbincangkan, Bapak Syaifudin yang merupakan kepala HUMAS UNJ pun mengakui adanya kasus pelecehan seksual tersebut. Selanjutnya diketahui bahwa korban yang dilecehkan pun telah melapor kepada BEM UNJ dan setelahnya BEM UNJ telah mengambil tindakan dengan menyampaikan masalah tersebut kepada rektor. Kasus ini ditindaklanjuti secara tertutup. Hingga update terakhir dari kasus ini adalah dosen berinisial DA tersebut akhirnya dinonaktifkan dari kegiatan akademik, skripsi, dan mengajar.
5. Analisis Kasus Sexting dengan Menggunakan Teori Sosiologi.
Berdasarkan kronologi kasus yang telah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya mengenai kasus kekerasan seksual berupa sexting salah satu mahasiswi di Universitas Negeri Jakarta oleh seorang dosen berinisial DA, selanjutnya kita akan menganalisis kasus tersebut menggunakan teori interaksionisme simbolik dan teori dramaturgi.
Teori interaksionisme simbolik membahas mengenai cara pandang atau bagaimana seorang individu memaknai orang lain. Pada kasus tersebut kita dapat melihat bahwa dosen berinisial DA tersebut tidak memaknai korban sebagai seorang mahasiswi dan tidak menghormati korban sebagai seorang perempuan. Apabila dosen tersebut memaknai dirinya sebagai tenaga pendidik dan mahasiswi tersebut sebagaimana seharusnya maka dosen tersebut tidak akan berani untuk melakukan hal-hal seperti itu. Adapun penggunaan emoticon yang tidak seharusnya digunakan dalam konteks percakapan tersebut seperti emoticon hati dan cium. Pada sub-bab sebelumnya Mead menyatakan bahwa pikiran berperan sangat besar terhadap sebuah tindakan sosial, sebab individu akan melakukan pertimbangan sebelum memulai atau melakukan sebuah tindakan. Disini kita juga dapat melihat bahwa dosen berinisial DA tersebut sepertinya belum memikirkan secara matang-matang apa yang dia lakukan, terlihat dari betapa beliau kerap mengirimkan pesan meskipun tidak ditanggapi oleh korban.
Selanjutnya dalam teori dramaturgi membahas mengenai panggung depan dan panggung belakang. Pada kasus tersebut kita dapat melihat bahwa panggung depan dan manajemen kesan dari dosen tersebut adalah gambaran idealnya sebagai seorang tenaga pendidik yang dimana dia merupakan seorang dosen yang berwibawa dan bisa dikategorikan bukan dosen yang ketat serta dosen yang mendekatkan diri dengan mahasiswa dan mahasiswi lewat candaan yang dilontarkan. Namun pada saat yang bersamaan kita dapat melihat panggung belakang, kita melihat bahwa candaan dosen tersebut tidak terlihat seperti sebuah candaan melainkan cenderung mengarah pada melakukan sexting kepada mahasiswi dan membuat mahasiswi tidak nyaman dengan apa yang dosen tersebut lakukan. Dari penjelasan kasus diatas maka kita dapat menyimpulkan bahwa front stage dan back stage terkadang memiliki sisi yang berlawanan 180°. Lewat kasus ini kita juga dapat melihat serta menilai bahwa tidak semua orang mampu mempertahankan gambaran ideal yang dimilikinya dan justru mengungkapkan panggung belakangnya.
KESIMPULAN
Kekerasan seksual merupakan sebuah tindakan atau perbuatan yang bentuknya berupa penghinaan, pelecehan, merendahkan dan/atau menyerang tubuh dan/atau fungsi seseorang dikarenakan adanya ketidakseimbangan antara relasi kuasa dan/atau gender dimana hal ini mengakibatkan individu menderita secara psikis dan/atau fisik yang mampu mengganggu kesehatan seseorang serta menghilangkan peluang orang tersebut untuk dapat mengenyam pendidikan secara aman.
Kampus merupakan salah satu tempat untuk mengenyam pendidikan. Kampus adalah sarana yang diberikan untuk digunakan sebagai ruang bagi mahasiswa untuk mengembangkan bakat dan melanjutkan studinya. Sayangnya gambaran kampus yang ideal dan terhindar dari hal-hal negatif harus pupus, kenyataannya kampus juga bukan tempat yang aman bagi para mahasiswa dalam menghindari kekerasan seksual dan pelecehan. Perilaku sexting bahkan tidak hanya dapat terjadi di antara mahasiswa saja, melainkan juga dapat terjadi antara dosen dengan mahasiswa.
Sexting adalah sebuah tindakan yang dimana pelaku mengirimkan pesan, foto ataupun video seksual melalui perantara handphone atau dengan menggunakan internet dengan didukung oleh aplikasi berupa media sosial seperti misalnya whatsapp, telegram, twitter, line, instagram dan berbagai jenis aplikasi lain. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sexting yang terjadi, baik di dalam maupun di luar lingkup kampus, baik antar sesama mahasiswa ataupun antar dosen dan mahasiswa, termasuk ke dalam tindakan kekerasan seksual. Kampus yang seharusnya mampu menjadi tempat aman untuk mengenyam pendidikan justru menjadi salah satu tempat yang paling berbahaya. Sehingga lewat tulisan ini perilaku sexting yang terjadi dapat diminimalisir untuk menciptakan dunia kampus yang nyaman dan terbebas dari kekerasan seksual.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H