Mohon tunggu...
Dhea K
Dhea K Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Negeri Jakarta

Saya merupakan seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri di jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Kasus Sexting di Lingkungan Kampus

17 Desember 2022   14:24 Diperbarui: 17 Desember 2022   15:05 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam hukum pada Pasal 1 ayat 1 UU nomor 12 tahun 2022, tindak pidana kekerasan seksual dimaknai sebagai segala bentuk perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana yang telah diatur dalam undang-undang dan perbuatan seksual lainnya sebagaimana telah diatur dalam undang-undang. Tindak pidana yang berhubungan dengan masalah kekerasan seksual telat diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mulai dari Pasal 281 hingga Pasal 299 tentang Kejahatan terhadap[ tindak Kesusilaan, yang berbunyi “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusakkan kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun”.

Kekerasan seksual umumnya dipahami hanya sebatas pemerkosaan, namun tidak hanya itu saja. Sebagaimana telah diatur dalam Bab II mengenai Tindak Pidana Kekerasan Seksual Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 mengenai Tindak Pidana Kekerasan Seksual, jenis-jenis kekerasan seksual diantaranya: Pelecehan seksual non-fisik. pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual dan kekerasan seksual yang dilakukan melalui teknologi. Adapun salah satu  perbuatan yang termasuk kekerasan seksual yang dilakukan secara tidak langsung atau menggunakan perantara berupa teknologi adalah sexting.

2. Pengertian Sexting

Sexting mungkin tidak terdengar begitu umum baik digunakan atau didengar, namun sesungguhnya sexting telah populer sejak 2009, dimana kata sexting sendiri terdiri dari kata “sex” dan “texting”.  Sexting adalah sebuah tindakan yang dimana pelaku mengirimkan pesan, foto ataupun video seksual melalui perantara handphone atau dengan menggunakan internet dengan didukung oleh aplikasi berupa media sosial seperti misalnya whatsapp, telegram, twitter, line, instagram dan berbagai jenis aplikasi lain. Dikutip dari yolanda (2018), menurut survei yang dilakukan oleh Pew pada tahun 2009 menyatakan bahwa 15% remaja yang ada di Amerika Serikat setidaknya pernah  menerima foto yang berbau dewasa dari salah seorang teman lewat perantara ponselnya. Sexting terbagi menjadi 2 bentuk, yaitu verbal dan non-verbal. verbal sebagaimana kita ketahui berupa pesan dengan kalimat seksual yang tidak senonoh, selain itu menggoda dan merayu pun termasuk kedalam sexting verbal. Selanjutnya sexting non-verbal berbentuk seperti mengirimkan video, foto ataupun stiker yang seksual.

Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi sexting, diantaranya adalah: sikap, norma subjektif terhadap sexting dan insecure relationship. Normal subjektif merupakan sebuah pandangan seorang individu terhadap kepercayaan yang dipegang erat oleh orang lain yang dimana hal tersebut akan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap minat untuk melakukan ataupun tidak melakukan sesuatu yang tengah menjadi pertimbangan individu tersebut. Sedangkan insecure relationship adalah sebuah rasa cemas pada diri individu terhadap hubungan yang dimilikinya.

3. Landasan Teori

3.1. Teori Interaksionisme Simbolik oleh George Herbert Mead

            Teori interaksionisme simbolik dipelopori oleh Max Weber dan diperkenalkan oleh John Dewey, Charles H. Cooley, George Herbert Mead dan Herbert Blumer. Keempat sosiolog tersebut memandang interaksionisme simbolik lewat sudut pandang sosial. Secara spesifik teori interaksionisme simbolik ini dikemukakan oleh George Herbert Mead. Mead merupakan seorang sosiolog yang lahir di Massachusetts, Amerika Serikat., pada 27 februari 1863. Teori interaksionisme simbolik yang dikemukakan oleh Mead, didasarkan pada teori behaviorisme, namun bukan behaviorisme radikal melainkan behaviorisme sosial,  yang berfokus pada interaksi yang terjadi antar individu dengan masyarakat. Interaksi terjadi antara individu kemudian berkembang lewat simbol-simbol  yang diciptakan, simbol-simbol tersebut mencakup gerak tubuh seperti suara, gerak fisik, dan bahasa tubuh yang dilakukan secara sadar.

      Landasan berpikir dari teori interaksionisme simbolik adalah interaksi yang berlangsung di antara ragamnya ideologi dan makna yang ada pada  masyarakat. Pada interaksi, setiap diri individu dan masyarakat berperan sebagai aktor yang tidak dapat dipisahkan serta saling mempengaruhi antara satu dengan yang lain. Interaksionisme yang terjadi antara individu pada sebuah kelompok masyarakat terjadi melalui proses yang dimana proses yang dimaksud adalah mempelajari tindakan sosial untuk mengetahui makna dari sebuah tindakan sosial lewat perspektif seorang individu. Menurut Mead pikiran berperan sangat besar terhadap sebuah tindakan sosial, sebab individu akan melakukan pertimbangan sebelum memulai atau melakukan sebuah tindakan.

3.2. Teori Dramaturgi oleh Erving Goffman.

             Teori Dramaturgi membahas mengenai interaksi sosial yang dimana teor ini dimaknai dengan pertunjukan drama yang berada di atas panggung, dalam hal ini individu merupakan aktor. Erving Goffman adalah tokoh yang mengemukakan mengenai dramaturgi. Goffman lahir di Alberta, Kanada, pada 11 juni 1922. Karya Goffman yang paling penting dan populer mengenai diri atau self dalam interaksionisme simbolis adalah buku Presentation of Self in Everyday Life yang dirilis pada tahun 1959. Lewat teori ini Goffman berpendapat ketika individu berinteraksi maka mereka ingin memberikan gambaran yang ideal mengenai diri mereka dan cenderung menyesuaikan diri terhadap lawan bicara mereka sehingga sifat-sifat atau perilaku yang menurutnya menyimpang dari ideal akan secara otomatis disembunyikan, Goffman menyebut ini sebagai manajemen kesan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun