Ajeng jarang sekali meminta jika aku tidak bertanya apa yang dia butuhkan; jarang sekali dia mengeluhkan omongan miring terhadap dirinya yang belum bisa hamil juga. Dia hanya menceritakan soal sekolahnya; tempat ngajinya dan segala kegiatan hariannya mengajar. Anak-anak didik yang menggemaskan baginya, katanya, "Nggak ada anak nakal di dunia ini, Mas ... yang ada kita orang dewasa yang nggak bisa memahami mereka,"
***
"Oh iya, lusa kan, kamu ulang tahun ya, sayang? Mau Mas belikan apa?" tanyaku padanya.
"Iya, toh Mas? Aku hampir lupa," jawab Ajeng.
"Kamu ini, suka di lupa-lupakan deh ulang tahun sendiri, giliran ulang tahunku aja selalu kamu ingat," Kucubit pipinya yang kemerahan dengan lesung Pipit yang tampak serasi di wajah mungilnya.
"Kalau gitu untuk tahun ini aku boleh, ya, Mas minta sesuatu?" tanyanya.
"Apa aja, asal jangan kamu suruh Mas untuk menikah lagi," aku memasang wajah serius.
"He..he.. iya Mas bukan itu, besok aku kasih catatannya ya ... apa aja yang harus Mas beli," pinta Ajeng.
"Memangnya apa sih, yang mau kamu beli? Bikin Mas penasaran aja," tanyaku.
"Ya sudah tunggu besok aja, Mas," Ajeng meraih tanganku, lalu mencium punggung tangan dengan lembut seraya berkata lagi,"Makasi ya, Mas."
'Ya Allah, cukup engkau berikan kebahagiaan padanya, dan persatukan kembali dia untukku menjadi pasanganku di surga kelak,' lirihku dalam hati.