ita besuk Bu Dini, yuk, ke sana sama-sama, aku nggak enak kalo datang sendiri. Kebetulan tadi sudah beli kue-kue di warung Mak Piah," ajakku pada Bu Aya.
"Ayuk, tapi jangan kue kering begituan Bu, mending beli brownies sama jus kemasan atau buah-buahan. Dia nggak doyan sama kue begitu," jawab Bu Aya.
"Oalah, masa sih, Bu? Terus beli lagi?"Â
"Iya kita patungan aja, nanti aku ajak ibu-ibu lain juga, dia itu, kan, orang berada, Bu," ujar Bu Temi menimpali.
Bu Dini orang yang terpandang di kampung ini habis operasi keloid, ada benjolan di area lehernya. Berhubung rawat inapnya di rumah sakit yang jauh dari Kampung Asri, kami memutuskan untuk menjenguk ke rumahnya saja setelah pulang dari rumah sakit.
Aku hanya mengangguk tanda setuju yang terpaksa. Aku masih baru jadi warga Kampung Asri menurut saja. Kami pun besuk dengan membawa aneka makanan enak berkat patungan dengan ibu-ibu lainnya. Cukup banyak yang ingin ikut membesuk.
**
Di kemudian hari, "Jeng, mau ikutan besuk Bu Ana nggak? Mumpung kita lagi pada kumpul, nih, sekalian biar ramai-ramai ke sana," tanya Bu Yati padaku.
"Oh, boleh Bu, mau patungan lagi? Mau bawa buah atau brownies Bu?" Aku balik bertanya. Barangkali memang akan patungan seperti tempo hari ketika menjenguk ke rumah Bu Dini.
"Nggak usah repot-repot Jeng, kita sambil jalan ke rumahnya, nanti mampir di warung Mak Piah, beli biskuit sama susu kaleng aja," ucap Bu Yati.
"Maaf, ya, ibu-ibu saya nggak ikut. Masih ada cucian di rumah, titip salam aja sama Bu Ana," Bu Aya meminta ijin.
"Aku juga, Bu. Si bungsu lagi tidur, takutnya bangun." Ibu yang lain menimpali.
"Iya sudah yang ada aja, yuk ibu-ibu," tiga orang berucap hampir berbarengan. Tidak banyak yang ingin datang menjenguk ke rumah Bu Ana.
Aku hanya mengernyitkan dahi, ternyata beda harga untuk menjenguk orang sakit semua itu tergantung siapa orangnya. Tentunya sempat membingungkan bagiku karena kalau boleh jujur, kondisi rumah dan ekonomi Bu Ana seharusnya dikasih yang terbaik. Suaminya yang hanya seorang tukang ojek, dengan tiga anak-anak yang masih kecil dan Bu Ana yang hanya bekerja sebagai tukang cuci setrika di kampung ini, makanan yang enak bukankah lebih sangat pantas baginya? Pikirku.
Aku yang pendatang baru harus bisa menyesuaikan pergaulan ibu-ibu di sini. Awalnya, memang aku jarang sekali berkumpul, tetapi setiap keluar rumah dan berpapasan dengan para tetangga sebisa mungkin menyapa.
Pada akhirnya, aku mulai ikut berbaur dengan tetap menjaga agar tidak terlalu sering kumpul-kumpul tanpa maksud dan tujuan tertentu. Biasanya agenda di sini ibu-ibunya sering mengadakan makan bersama atau liwetan, entah itu di teras rumah atau pergi keluar untuk sekedar makan-makan di warung makan.
Sekumpulan ibu-ibu di tempatku tinggal, pada dasarnya baik hati dan tidak sombong, hanya saja memang di Kampung Asri ini masih berlaku hukum rimba, tetapi bedanya, kuat di sini lebih dititikberatkan pada kondisi perekonomiannya, yang berada akan selalu dihormati, yang biasa saja cukup dengan sekedarnya.
**
Beberapa bulan tinggal di Kampung Asri, aku pernah berhutang di warung sembako Bu Dini, dia memang orangnya sangat baik, selalu menawarkan sembako padaku, dengan pembayaran di akhir bulan.
Setiap aku mengambil sembako dengan berhutang, dia pun selalu mengajakku untuk berbelanja mengisi warungnya di agen besar. Aku mengantarnya dengan motor, lalu mengikuti dia di belakang dengan membawa barang dagangannya. Tidak jarang motor yang kubawa penuh barang, kanan dan kiri juga depan terisi dengan kardus juga plastik besar.
Pada akhirnya aku mulai menyadari, 'aahh ... iya aku punya hutang, jadi wajar saja aku dijadikan asisten pribadinya'. Ke mana pun dia mau, aku harus siaga.
Ibu-ibu yang sering berkumpul yang memiliki waktu luang karena memang di rumahnya ada pembantu, atau anak-anak yang sudah beranjak dewasa. Pembicaraan pun lebih sering tentang pekerjaan para suaminya. Tidak jarang juga mereka saling membandingkan antara dirinya dengan yang lain dalam banyak hal.
Makin lama aku mulai paham kebiasaan dan perilaku mereka, sedikit demi sedikit aku mencoba untuk menjaga jarak. Sebisa mungkin tidak lagi berhutang, dan mengurangi, bahkan menghilangkan rutinitas yang mereka lakukan dalam hal berkumpul, atau liwetan, dan pastinya ada terselip untuk membicarakan orang lain.
Hidup bertetangga memang sangat penting karena bagaimana pun juga aku yang merantau di kampung orang, mereka adalah keluarga terdekatku, kalau aku terlalu menyendiri takutnya ketika sedang kesusahan, mereka akan berpaling. Namun, aku tidak perlu terlalu berbaur, takut nanti akan dengan mudah menilai orang lain hanya dari 'katanya'.
Aku tahu berbuat baik dan bersikap baik pada sekitar itu memang sudah seharusnya dilakukan dalam bertetangga, akan tetapi menjaga diri dari segala keburukan, menurutku hukumnya wajib.
**Wassalam**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H