Mohon tunggu...
Dhe Wie S
Dhe Wie S Mohon Tunggu... Penulis - Kang Baca Tulis

personal simple

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Namaku Maryam

7 September 2023   21:50 Diperbarui: 7 September 2023   21:54 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Iih, kamu umurnya berapa? Bajunya kok udah kaya emak-emak gitu. Baju mamanya dulu ya diturunin ke kamu."

"Anak kecil kok udah pake baju gedombrang gitu sih, udah kaya tante-tante aja."

"Kamu kan, masih kecil pake bajunya yang sesuai umur dong. Biar keliatan lucu."

 

Awal-awal kami pindah selalu saja ada komentar seperti itu, buatku. Karena sebagian anak-anak desa berpenampilan minim, masih anak kecil ini kok! Dalih mereka. 

Namaku Maryam, Anak sulung yang baru menginjak di usia tujuh tahun. Penampilanku memang tampak berbeda dari kebanyakan anak seusiaku. Aku selalu saja jadi buah bibir oleh sebagian warga Desa Raos. Keseharianku masih seperti kebanyakan anak lain, yang jadi pembeda hanya di pakaian yang aku kenakan. Setiap keluar rumah untuk bermain aku sudah tidak ingin mengenakan celana pendek, bahkan atasan tanpa lengan, sudah enggan kupakai. Baju walaupun kaos, aku lebih suka memilih lengan panjang lengkap dengan kerudung. 

"Maryam, main sepeda yuk, liat nih ... Sepeda baruku, yang kudapat dari ibu ___"

"Karena kamu rajin membantu... " aku menyela sambil berdendang. Kami pun tertawa. 

"Baiklah, tunggu sebentar ya, Des, aku ganti celana panjang dulu," ucapku pada sahabatku yang bukan lain adalah tetangga sebelah rumah. 

"Oke, jangan lama-lama, ya, soalnya aku mau di ajak pergi sama mami abis pulang dari ibadah, nanti," tutur Desli, temanku yang tak pernah mempermasalahkan, bahkan berkomentar soal cara pakaianku. Walaupun kami berbeda tapi kami sama-sama ciptaan Tuhan. Kata Mama, bermain memang harus pandai memilih teman, tapi bukan berarti membatasi, kamu main dengan siapa. 

Setelah pamit, kami pun melajukan sepeda dengan riang sambil bersenandung. Hal yang biasa kami lakukan saat di hari minggu pagi. Berkeliling kampung, yang nantinya akan berhenti di lapangan bola di ujung jalan pertigaan desa ini. Lalu Desli mentraktirku jajan minuman dan aku mentraktir pisang goreng di warung Mak Ipeh! 

Hanya dua jam saja memang waktu kami bermain sepeda, tapi ini yang selalu mendekatkan kami. Teman di hari minggu. Hari biasa, kami hanya sekedar saling sapa dan mengobrol sebentar, dikarenakan Desli pulang sekolah sudah sore. Desli bersekolah cukup jauh dari desa, diantar Maminya sambil berangkat kerja mengendarai mobil. 

Tante Maya dan Om Gusti, Mami dan Papinya Desli, tetangga yang sudah menganggap kami seperti keluarganya. Mungkin karena keduanya pekerja, jadi tidak terlalu memusingkan omongan yang beredar. 

Mama memang sudah mengenalkan pakaian muslim sejak dini padaku, setidaknya aku harus lebih baik dari Mama, katanya! 

Ayah untungnya sangat mendukung. Terlebih pada anak perempuannya. Bahkan di usia balita Mama sudah mulai mengumpulkan jilbab lucu dan baju muslim untukku. Namun Nenek sempat berceloteh. "Jangan dulu teh, kasian masih kecil. Jangan di pakaikan dulu baju muslim apalagi kerudung. Kasian, gerah nanti yang ada."

Mama sempat sedih kala itu. Disaat Mama ingin didukung atas apa yang beliau niatkan sejak dulu, justru malah ada penolakan. Untung saja kami tidak tinggal serumah. Jadi terkadang, saat berkunjung ke rumah Nenek, aku tak pakai kerudung. Nenek pun kalau membelikan baju-baju, memang baju yang tanpa lengan, rok dan juga celana pendek.

Seiring waktu Mama lebih memilih untuk tidak sering-sering berkunjung. Karena yang Mama takutkan adalah kebiasaan yang sudah berjalan akan mudah rapuh.

Ketika saat bepergian dan datang ke acara khusus semisal pesta pernikahan, Aku dengan senang hati berdandan mengenakan gamis dan kerudung panjang, lengkap dengan ciput polos, bahkan aku terkadang mengenakan kaos kaki.

"Emang nggak punya baju pesta si Maryam? Ini kan hajatan-nya di gedung, loh," tanya Nenek pada mama yang melihat aku sudah berbusana muslimah.

"Iya itu gamisnya, kan, bagus, Bu," jawab Mama, "Sudah, Bu. Lagipula gedungnya, kan, di kantor kelurahan, nggak jauh dari sini," sahut Ayah, saat aku diajak ke pernikahan Om Ruli, saudara dari ayah. 

"Iya Nek, baju sama kerudung ini semuanya kesukaan ayah," Aku menimpali, "Aku juga suka kok, Nek! Pakai gamis ini," tambahku. Kasian Mama selalu saja di komentari. 

Benar saja, setelah sampai ke tempat tujuan. Tak sedikit saudara yang hadir saat melihatku hanya mengelus kepala saja tanpa bertanya lebih atau berkomentar. Lain halnya ketika melihat anak dari saudara yang lain, pujian dan komentar membanjirinya.

"Iih kamu lucu banget deh," Tante Dini mengomentari sepupuku yang mengenakan gaun hijau selutut dengan hiasan rambut lucu penuh warna-warni.

"Bajunya lucu banget sih, jadi gemes liatnya." Tante-tante lain pun ikut berkomentar saat melihat anak tujuh tahun yang putih berpipi "chubby" mengenakan celana pendek dan baju atasan berkarakter tanpa lengan. Cantik!

Aku memperhatikan lama dengan tatapan penuh rasa suka cita. Aku juga suka, kok! Melihat mereka berpakaian seperti itu. 

"Kakak, kamu iri ya sama Dania?" tanya Mama padaku, barangkali aku kepergok oleh Mama sedari tadi melihat saudaraku yang 'seumuran', berlarian ke sana kemari dengan baju dan gaun warna-warni. 

Aku pun hanya membalas dengan gelengan dan senyuman manja pada Mama. Sikap yang kutunjukan, bahwa aku baik-baik saja.

"Maryam, sini kita main yuk!" ajak Dania padaku. 

"Ma, aku main ya, sama Dania, boleh?" tanyaku pada Mama. 

"Boleh dong sayang, hati-hati ya, jangan lari-lari yang bisa bikin bahaya orang sekitar," titah Mama padaku. 

Aku pun mengangguk, dan menggandeng Dania dengan setengah berlari menuju keluar gedung, ada lapangan dekat panggung hiburan. 

"Mar, kita main petak umpet yuk, ajak Tisya juga. Tuh dia lagi disana." Dania menunjuk ke arah dekat pelaminan. 

"Hayuk, tapi jangan jauh-jauh ya, nanti Mama kita nyariin." Bujukku pada Dania. 

Saat kami asyik bermain berlarian, tiba-tiba Dania terjatuh karena tersandung batu. Darah keluar dari lututnya. Dania pun menangis. 

Mama menghampiri dan bertanya padaku, tapi Mama tidak marah. Justru Mama menanyakan apa aku baik-baik saja. Malah Dania yang di marahi Mamanya. Aku kasihan melihatnya. 

"Ma, Dania berdarah lututnya, kenapa malah dimarahi? Bukannya harus di sayang, karena lagi terluka, ya, Ma?" tanyaku pada Mama. 

"Itu, bukan di marahi karena Tante Adel benci sama Dania, tapi karena Mamanya khawatir, Kak!" jawab Mama. 

Aneh! Khawatir tapi Dania malah di marahi. 

"Ma, kalau Dania pakai rok panjang dan daleman celana pasti lututnya nggak berdarah banyak, ya, Ma?" tanyaku lagi. 

"Iya kak, seenggaknya bisa mengurangi luka. Karena terhalang rok dan celana," jelas Mama sambil tersenyum padaku. 

***

Mama bahkan masih sesekali bertanya padaku, "Kakak, kamu nyaman nggak, pakai kerudung dan baju panjang?"

"Nyaman Mah. Kakak suka."

"Kakak, mau pakai celana pendek atau rok pendek?" 

"Nggak Mah, kakak malu," jawabku. Bukan karena aku nggak mau buat Mama sedih, tapi memang aku takut jika untuk pakai celana pendek atau rok pendek saat keluar rumah. 

Mama tak pernah memaksaku, tak pernah sama sekali! Justru Mama pernah memintaku untuk membuka kerudung di saat kami bepergian dan cuaca panas. Aku pun hanya bilang. "Iya Ma, sebentar aja aku buka, ya! Biar sedikit seger, tapi nanti aku pakai lagi." Ucapku pada Mama. 

"Kakak, Mama mau tanya dong, kenapa sih, kakak sekarang lebih nyaman dan suka pakai--pakaian panjang?" tanya Mama. 

"Mungkin ... sudah terbiasa! Jadi nyaman dengan sendiri nya." Jawabku.

Barangkali memang segala sesuatu yang baik butuh proses dan perjuangan. Aku yang kini sudah duduk dibangku sekolah dasar kelas satu telah terbiasa dengan segala apa yang aku kenakan dan Mama ajarkan. Komentar yang tak biasa pun sudah tidak asing lagi ditelingaku yang akhirnya aku akan anggap angin lalu.

Semua yang kulakukan memang bukan tanpa alasan, kenapa sekarang lebih suka berpakaian lebih tertutup dengan seusiaku saat ini. Karena aku pernah melihat langsung, bagaimana anak seusiaku, terlihat lucu saat mengenakan pakaian minim, tapi tak sedikit orang dewasa, terlebih laki-laki memandang sangat lekat. Bahkan beberapa kali melihat mereka yang sedang bermain ayunan, diperhatikan oleh laki-laki setengah baya yang tak jauh duduk di depannya terus saja melihat bagian bawah rok saat anak itu tengah berayun ke atas.

Anak-anak seusiaku yang berpakaian tanpa lengan saat di keramaian dengan mudahnya dipegang sana-sini oleh orang dewasa, membuatku merasa takut.

Aku pun pernah di dekati oleh teman paman, dia berusaha menghampiri dan mencubit gemas pipiku. Padahal usiaku waktu itu genap enam tahun. Di saat itu aku langsung berlari masuk ke dalam kamar dan menangis. 

Biar saja orang bicara dan menganggap aku anak kecil yang dewasa sebelum waktunya, hanya karena melihat pakaianku, dan melihat aku diam saja tidak banyak bicara ketika di keramaian, hanya kalau di tanya aku baru bersuara. Asalkan aku nyaman. 

"Nak, Mama hanya berpikir sederhana, jika Kakak sedari kecil dibiarkan dan dibiasakan sekedarnya bukankah sampai besar kelak Kakak akan semakin nyaman bersikap tidak santun dan berpenampilan kurang sopan, yang akhirnya tumbuh kembang Kakak pun ya ... sekedarnya saja. Dan Mama nggak mau itu terjadi, sama anak cantiknya, Mama!" tutur lembut Mama kala itu. 

Aku pun mengangguk dan memeluk Mama. 

Bagi Mama prestasi akademik hanya bonus yang Allah kasih untuk kami, anak-anaknya, yang terpenting adalah orang tua, khususnya seorang Ibu sebaiknya kebahagiaan anak yang diutamakan, agar anak punya pribadi yang menyenangkan dan penuh kesantunan.

***End***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun