"Hea ... bangun," kata nenek sambil menepuk pipi cucunya.
Gadis yatim piatu itu terbangun dengan tubuh penuh keringat. Kekerasan yang dilakukan oleh Ara telah membuatnya trauma hingga terbawa ke alam mimpi. Akhirnya, Hea makin yakin untuk membalas dendam.
Pada malam purnama, mereka mendatangi Mudang Arin tanpa sepengetahuan anggota keluarga di rumah.
"Siap?" Mudang Arin kembali menegaskan kepada mereka. "Kita lakukan ritual sebelum purnama bergeser."
Ketiga sahabat itu menganggukkan kepala dengan pasti.
Satu buah lilin besar diletakkan di atas meja yang berada di tengah ruangan berbentuk persegi. Hea, Soyun dan Hwan berdiri pada setiap sudut ruangan.
"A-apa yang akan kami lakukan, Mudang?" tanya Hea lirih.
"Kalian akan melakukan permainan kecil untuk memanggil Dalgyal Gwishin. Dia yang akan membalaskan dendammu."
Mudang Arin menjelaskan langkah permainan dengan detail. Saat ritual berlangsung, mereka tidak boleh bersuara apalagi menengokkan kepala ke belakang. Salah satu orang maju, menepuk punggung teman, teman yang ditepuk akan berjalan untuk menepuk teman yang di depannya, begitu seterusnya hingga arwah datang yang ditandai oleh berhentinya balasan tepukan dari belakang.
"Baiklah, aku akan membacakan mantra dari luar ruangan. Kalian lakukan sesuai petunjuk dan jangan pernah melanggar aturannya!"
Permainan dimulai dari Hea, dia melangkah maju lalu menepuk punggung Soyun dua kali, kemudian Soyun berjalan maju lalu menepuk punggung Hwan.