Saya tidak membayangkan bagaimana sebuah pulau terluar di Indonesia, dengan luas 402 km persegi dan 2.400 jumlah penduduknya yang berdiri di atas batuan gamping memenuhi kebutuhan airnya.Â
12 jam saya mengarungi Samudra Hindia dari  pelabuhan Bengkulu menuju arah barat daya. Kapal merapat di pelabuhan Kahyapu setelah semalaman meretas ganasnya ombak Samudra Hindia.
Keesokan harinya saya mencoba menjelajahi keenam desa yang ada di pulau Enggano. Mendung yang menggelayut di sisi barat memutuskan saya harus segera mencari tempat berteduh di sebuah rumah di Desa Banjar Sari.
Saya mencoba berteduh di teras rumah, tak berapa lama tuan rumah memaksa saya untuk masuk rumahnya. Sesaat saya meminta ijin untuk ke kamar mandi yang terletak di belakang rumah. Saya seolah tak percaya, di belakang rumah banyak tabungan.
Tandon-tandon air berjajar di belakang rumah untuk menampung air yang tertangkap atap lalu terkumpul di talang dan dengan pipa di alirkan di mulut toren. Hujan sore ini yang menjadi bencana saya karena tidak bisa melanjutkan perjalanan ternyata menjadi berkah buat mereka.
"Mas kami hidup di sini hanya mengandalkan air hujan. Kebetulan iklim di sini tidak sama dengan Jawa. Di sini, minimal dalam satu minggu ada hujan. Jika hujan, kami mengupayakan airnya bisa kami tampung menjadi tabungan selama satu minggu" Kata tuan rumahnya yang mengaku transmigran dari Tegal.
Sembari mendengar ceritanya saya menatap langit, kiranya hujan bisa memenuhi tabungan airnya. Apa daya, langit yang tadi mengujamkan airnya kini meneteskan airnya. "Sudah lumayan cukup mas, bisa untuk satu minggu". Lalu saya mohon pamit.
Sang Penjaga Sungai
Hari berikutnya saya berjalan menuju desa yang bernama Apoho. Sudah lama sekali saya tidak melihat sungai yang jernih dan melintasi kampung. Biasanya, sungai yang melewati kampung akan menjadi tempat sampah yang panjang, namun kali ini berbeda.
Konservasi berbasis kearifan lokal menjadi sangat efektif dalam menjaga kelestarian sungai-sungai di Enggano. Mereka menjadi manusia yang sadar betapa pentingnya sungai buat mereka dan mereka bisa memberikan tempat yang terhormat pada sungai.
Urat Nadi Pulau Enggano
Hari terakhir kunjungan saya adalah di Dusun Jangkar. Dusun paling tengah dan terpencil di Enggano. Saya bertemu dengan pak Kadus Aji. Siang itu saya diajak masuk gua terpanjang di Enggano yang bernama Dopaam. Gua ini memiliki lorong sepanjang hampir 2,7 km dan butuh waktu sekitar 4 jam untuk menelusurinya.