Mohon tunggu...
Dhanang DhaVe
Dhanang DhaVe Mohon Tunggu... Dosen - www.dhave.id

Biologi yang menyita banyak waktu dan menikmati saat terjebak dalam dunia jurnalisme dan fotografi saat bercengkrama dengan alam bebas www.dhave.net

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Kearifan Lokal Sang Penjaga Air Pulau Enggano

11 September 2019   16:46 Diperbarui: 22 September 2019   22:55 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sungai bawah tanah di Pulau Enggano | dokpri

Saya tidak membayangkan bagaimana sebuah pulau terluar di Indonesia, dengan luas 402 km persegi dan 2.400 jumlah penduduknya yang berdiri di atas batuan gamping memenuhi kebutuhan airnya. 

Peta pulau Enggano | Sumber Regen Rais academia.edu/5517667/Profil_Pulau_Enggano
Peta pulau Enggano | Sumber Regen Rais academia.edu/5517667/Profil_Pulau_Enggano
Sifat batuan gamping yang mudah menyerap air membuat pulau tersebut terlihat kering, tandus, dan nyaris susah menemukan air. Namun kearifan lokal masyarakatnya bisa menyelamatkan mereka dari ketiadaan air. Sebuah pulau kecil yang menjadi halaman terluar nusantara, Pulau Enggano namanya.

12 jam saya mengarungi Samudra Hindia dari  pelabuhan Bengkulu menuju arah barat daya. Kapal merapat di pelabuhan Kahyapu setelah semalaman meretas ganasnya ombak Samudra Hindia.

KM Pulau Tello satu-satunya kapal ferry yang melayani penyebrangan ke Pulau Enggano | dokpri
KM Pulau Tello satu-satunya kapal ferry yang melayani penyebrangan ke Pulau Enggano | dokpri
Menabung Air Hujan
Keesokan harinya saya mencoba menjelajahi keenam desa yang ada di pulau Enggano. Mendung yang menggelayut di sisi barat memutuskan saya harus segera mencari tempat berteduh di sebuah rumah di Desa Banjar Sari.

Saya mencoba berteduh di teras rumah, tak berapa lama tuan rumah memaksa saya untuk masuk rumahnya. Sesaat saya meminta ijin untuk ke kamar mandi yang terletak di belakang rumah. Saya seolah tak percaya, di belakang rumah banyak tabungan.

Tandon-tandon air berjajar di belakang rumah untuk menampung air yang tertangkap atap lalu terkumpul di talang dan dengan pipa di alirkan di mulut toren. Hujan sore ini yang menjadi bencana saya karena tidak bisa melanjutkan perjalanan ternyata menjadi berkah buat mereka.

"Mas kami hidup di sini hanya mengandalkan air hujan. Kebetulan iklim di sini tidak sama dengan Jawa. Di sini, minimal dalam satu minggu ada hujan. Jika hujan, kami mengupayakan airnya bisa kami tampung menjadi tabungan selama satu minggu" Kata tuan rumahnya yang mengaku transmigran dari Tegal.

Sembari mendengar ceritanya saya menatap langit, kiranya hujan bisa memenuhi tabungan airnya. Apa daya, langit yang tadi mengujamkan airnya kini meneteskan airnya. "Sudah lumayan cukup mas, bisa untuk satu minggu". Lalu saya mohon pamit.

Sang Penjaga Sungai
Hari berikutnya saya berjalan menuju desa yang bernama Apoho. Sudah lama sekali saya tidak melihat sungai yang jernih dan melintasi kampung. Biasanya, sungai yang melewati kampung akan menjadi tempat sampah yang panjang, namun kali ini berbeda.

Sungai kecil di Bak Blau Pulau Enggano | dokpri
Sungai kecil di Bak Blau Pulau Enggano | dokpri
Saya melihat air sangat jernih, ikan-ikan berkeliaran, dan luar biasanya tidak ada sampah. Berbincanglah saya dengan pak Prian yang bersama saya sing itu. "Mas orang-orang di sini tidak berani mengotori sungai. Jangankan berak, kencing atau meludah di sungai saja tidak berani apalagi membuang sampah. Kami tidak bisa hidup tanpa sungai ini, karena ini satu-satunya nyawa kami di Enggano". Demikian dia berkisah.
Laguna kecil di Pulau Enggano yang terus dipelihara kelestariannya | dokpri
Laguna kecil di Pulau Enggano yang terus dipelihara kelestariannya | dokpri
"Bagaimana jika ada yang mengotori sungai ?" tanya saya. "Dulu ada yang kencing di sungai, tak lama kemudian kemaluannya bengkak. Penunggu sungai marah" kata pak Prian. "Dia harus meminta maaf, bayar denda adat baru akan dibebaskan dari hukuman itu" katanya. Cerita tersebut ternyata menjadi rahasia umum, entah benar atau tidak sudah menjadi pengetahuan lokal.

Konservasi berbasis kearifan lokal menjadi sangat efektif dalam menjaga kelestarian sungai-sungai di Enggano. Mereka menjadi manusia yang sadar betapa pentingnya sungai buat mereka dan mereka bisa memberikan tempat yang terhormat pada sungai.

Urat Nadi Pulau Enggano
Hari terakhir kunjungan saya adalah di Dusun Jangkar. Dusun paling tengah dan terpencil di Enggano. Saya bertemu dengan pak Kadus Aji. Siang itu saya diajak masuk gua terpanjang di Enggano yang bernama Dopaam. Gua ini memiliki lorong sepanjang hampir 2,7 km dan butuh waktu sekitar 4 jam untuk menelusurinya.

Sungai bawah tanah di Pulau Enggano | dokpri
Sungai bawah tanah di Pulau Enggano | dokpri
Di dalam perut bumi Enggano, Pak Aji berkisah jika air yang ada di dalam gua ini menjadi sumber air bagi seluruh pulau Enggano. "Air di sini mas dijadikan PAM dan dialirkan ke seluruh pulau ini yang bisa dijangkau. Nanti di mulut gua satunya saya tunjukan bendungannya" katanya sembari membetulkan senter kepala.

Dalam penelusuran ini saya merasakan gua ini ibarat sebuat urat nadi. Darah dalam nadi adalah air bersih, jernih, dan mengalir dengan deras. Begitu derasnya kadang saya harus berpegangan daripada terseret arus dan terbawa entah kemana. Saya kagum, betapa di atas sana sangatlah tandus, tetapi di dalam sini melimpah dengan air bersihnya.

"Sebagai kadus yang daerahnya di hulu saya merasa bertanggung jawab atas air yang ada di dalam gua ini. Bayangkan jika air di sini bermasalah, maka orang satu pulau bisa sengsara. Tugas berat saya emban untuk menjaga gua ini agar bagaimana caranya tetap aman, karena sebagian nyawa orang Enggano ada di sini" kata pak Aji saat menuju pintu keluar.

Mulut Gua Dopaan yang menjadi sumber air bersi warga Enggano | dokpri
Mulut Gua Dopaan yang menjadi sumber air bersi warga Enggano | dokpri
Di pintu keluar saya melihat bendungan besar lalu ada pipa HDPE menyalurkan sebagian air dari dalam mulut gua. Distribusi air ini sekitar 6 km sebelum sampai di bak penampungan. 

Dalam satu menit, debit air disini bisa mencapai 2000 liter. Gua ini tidak pernah mengenal musim kering dan terus mengeluarkan air bersihnya. Saya hanya berguman, "Tuhan menciptakan kehidupan pasti akan memberikan sumber kehidupan dan memilih orang-orang kepercayaanNya untuk menjaga sumber tersebut".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun