25 Juni 1950, Kim Il-sung pemimpin pertama Korea Utara melakukan invasi mendadak atas saudaranya di Selatan. Hal ini memicu perang selama 3 tahun (25 Juni 1950 - 27 Juli 1953). Pasca perang, terjadi menyebabkan perubahan peta batas wilayah antara kedua negara. Hingga saat ini masih terjadi perbedaan sudut pandang klaim wilayah (terutama di perairan) (US Navy, 2007).
Paradoks (pertentangan) antara Korea Utara dan Korea Selatan menyebabkan krisis Nuklir di Semenanjung Korea. Kim Jong Un -- pemimpin Korea Utara saat ini mencanangkan kebijakan Byungjin, yag mengakselesari pembangunan nuklir sebagai senjata seiring pengembangan rudal balistik. Hal ini mensinergi pembangunan antara sektor ekonomi dan sektor militer (Choe, 2011). 1 Januari 2024 Jong Un dengan tegas memerintahkan jajarannya untuk terus mengembangkan kekuatan sebagai bagian prioritas penting pertahanan Korea Utara, dan akan menggunakan kedua teknologi ini untuk memusnahkan Korea Selatan apabila diprovokasi (DePetris, 2024).
Reaksi Korea Selatan tidak kalah keras. secara langsung dengan tegas menyatakan bahwa denuklirisasi Korea Utara merupakan hal penting dilakukan dunia saat ini (DePetris, 2024). Korea Selatan menerbitkan Buku Putih Pertahanan yang memuat legalitas tindakan militer terhadap fasilitas nuklir dan rudal Korea Utara sebagai upaya preventif ketika ditemukan cukup bukti bahwa Korea Utara akan melakukan serangan terhadap mereka (DePetris, 2024). Berbeda dengan Korea Utara yang serius mengembangkan Nuklir sebagai senjata, Korea Selatan cukup mengandalkan hubungan baiknya dengan Amerika untuk kesenjataan Nuklir. 18 Juli 2023, USS kentucky SSBN-737, kapal selam kelas Ohio sandar di Pelabuhan Busan, Korea Selatan. Kedatangannya merupakan bukti komitmen kuat Amerika mendukung negara itu terhadap berbagai ancaman keamanan, terutama dari Utara, demikian diucapkan Jenderal Paul LaCamera Komandan ROK/US Combined Forces Command (CFC) dan United Nations Command (UNC) (Irianto, 2023).
      --
Saran dan Solusi Strategis Menghadapi Krisis Nuklir di Semenanjung Korea
Potensi kerawanan konflik yang dapat berimbas pada penggunaan senjata cukup besar kemungkinan terjadi jika kedua Korea terus saling curiga. Jong Un secara konsisten menunjukan sikap berkeras diri dan menolak negara manapun yang mencoba melayangkan kritik padanya termasuk dalam hal pengembangan nuklir (Meski mendapat sanksi PBB, mereka tidak peduli), secara konsisten menganggap Korea Selatan sebagai ancaman keamanan serius dengan dukungan Amerika. Sementara pemimpin Korea Selatan saat ini Yok-seol adalah sosok tegas terhadap provokasi Korea Utara. Secara praktis Korea Selatan menyiapkan dengan serius berbagai kemungkinan negatif atas perkembangan situasi politik dengan saudaranya dari Utara.
Indonesia sebagai negara yang berhubungan baik terhadap kedua negara ini, dapat memberi andil dalam meredakan ketegangan meski aplikasinya tidak akan mudah mengingat perseteruan antara kedua pihak. Beberapa usulan upaya strategis bagi Indonesia terhadap permasalahan krisis Nuklir di Semenanjung Korea adalah sebagai berikut:
a. Â Â Â Â Diplomasi Pihak Ke-3 Untuk demi Jaminan Keamanan
      Korea Utara dan Korea Selatan, masing-masing memiliki negara besar yang senantiasa mendukung mereka. Korea Selatan memiliki Amerika. Korea Utara, memiliki Russia dan Tiongkok. Ketiga negara ini adalah faktor penting bagi upaya penguatan diplomasi terhadap dua Korea. Ketika mereka saling memberi jaminan keamanan untuk menjaga kedaulatan pihak yang didukung, menjadi sebuah langkah maju upaya meredakan krisis nuklir. Indonesia dapat menyampaikan hal ini kepada ketiga negara besar tadi. Sebagai salah satu negara sahabat dua Korea, Indonesia turut prihatin atas krisis yang tengah terjadi dan berharap ada perdamaian abadi di sana.
b. Â Â Â Â Diplomasi Internasional
      Upaya lain yang perlu dipertimbangkan adalah menyampaikan usulan kepada PBB untuk melihat permasalahan ini dengan lebih mendalam. Benar, Korea Utara telah melakukan pelanggaran terhadap NPT melalui program nuklir mereka, namun apakah sanksi internasional atas mereka sudah tepat? Apakah ini justru dapat semakin menciptakan kebencian komunal pada dunia internasional dari rakyat Korea Utara?