Mohon tunggu...
dharma simatupang
dharma simatupang Mohon Tunggu... Guru - Guru Fisika SMK N 2 Pematangsiantar

^^Anugrah Ilahi membuat ku membumi^^

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Membongkar 4 Miskonsepsi Pengembangan Magang SMK

3 November 2021   13:37 Diperbarui: 3 November 2021   19:35 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi siswa SMK sedang mempraktikan kemampuan mengelasnya dihadapan para user yang berasal dari Jepang| Sumber: Tribun Jateng/Rival Almanaf

Magang pada saat ini di SMK disebut sebagai prakerin (praktik kerja industri). Prakerin adalah suatu proses pembelajaran yang berintegrasi antara dunia pendidikan SMK dengan Dunia Usaha/Dunia Industri (DU/DI) untuk mengembangkan kompetensi kejuruan para siswa melalui praktik bekerja secara langsung di DU/DI. 

Pemerintah melalui surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 323/U/1997 tahun 1997 tentang penyelenggaraan Pendidikan Sistem Ganda pada SMK telah menekankan bahwa dunia kerja harus menjadi mitra sejajar bagi SMK. 

Prakerin biasanya dilakukan siswa SMK kelas XII, yang mana prakerin menjadi salah satu syarat utama untuk menyelesaikan proses pendidikan SMK . Artinya jika siswa SMK tidak lulus atau tidak menyelesaikan prakerin dipastikan tidak dapat memperoleh ijazah SMK (tidak berhak lulus SMK). 

Siswa SMK kelas XII yang akan melaksanakan prakerin sudah dibekali dengan kemampuan dasar kompetensi selama 2 tingkat di kelas X dan kelas XI. Alasannya jelas agar dalam pelaksanaan prakerin nanti tidak mengalami kendala yang berarti dalam penerapan ilmu pengetahuan dasar. 

Pada saat prakerin, kemandirian, interaktif, dan partisipasi aktif siswa dengan para pekerja di lingkungan tempat siswa prakerin akan memberikan ruang yang cukup untuk peningkatan kompetensi kejuruan serta perkembangan psikologis. 

Pokoknya semestinya prakerin akan bisa meningkatkan kualitas diri siswa SMK sehingga siap memasuki dunia kerja. Karena dulunya memang ide pendirian SMK dilatarbelakangi sebagai solusi untuk mengurangi pengangguran sekaligus menghasilkan generasi siap kerja. 

Siswa Prakerin. Sumber : www.voaindonesia.com
Siswa Prakerin. Sumber : www.voaindonesia.com

Nah di sinilah diharapkan peran sekolah yang harus optimal dalam mengemas program prakerin sebaik mungkin. Karena kita percaya bahwa kualitas siswa SMK dipengaruhi oleh kualitas prakerinnya. 

Tetapi apa jadinya bila pengembangan prakerin SMK justru terjebak dalam sejumlah miskonsepsi?

Tentunya kualitas diri siswa tidak optimal. Bagaimana kita bisa berharap tercapainya generasi siap kerja berkualitas sesuai misi awal pendirian SMK?

Miskonsepsi pertama, Serba Keharusan.

Karena prakerin sudah menjadi suatu syarat kelulusan siswa SMK, maka banyak sekolah yang melakukan "prakerin paksaan". Karena memang prakerin seolah hanya menjadi sebuah kegiatan rutinitas tahunan yang tidak berdampak.

Bukankah aneh, di saat sekolah harus punya program prakerin yang notabene berkolaborasi dengan DU/DI namun di lapangan masih banyak jurusan SMK yang belum memiliki MoU dengan DU/DI tersebut. Akibatnya siswa diarahkan (dipaksakan) untuk mencari sendiri tempat atau lokasi DU/DI prakerinnya sendiri. 

Siswa yang seharusnya fokus belajar dan mempersiapkan diri secara materi dan juga mental, ternyata masih dijejali dengan beban mencari lokasi prakerinnya sendiri. Tentu hal ini berakibat terhadap kualitas siswa akan kurang karena tempat prakerinnya pun jadi asal-asalan. Yang penting ada tempat prakerin dan bisa dapat sertifikat. 

Saat prakerin apakah siswa mengembangkan kualitas diri atau hanya sekadar mencari sertifikat? Dan memang akhir-akhir ini rupanya sudah menjadi suatu budaya, budaya keharusan. Mengikuti prakerin juga hanya untuk mendapat sertifikat. 

Sebaiknya orientasi prakerin bukan karena suatu keharusan saja, melainkan karena kebutuhan. Setiap siswa hadir dan belajar karena kebutuhan belajarnya. 

Miskonsepsi kedua, Hanya Kompetensi

Pengembangan siswa melalui prakerin sering kali hanya dimaknai sebagai pengembangan kompetensi belaka. Sering kali ada gap yang besar antara harapan dan realita. 

Siswa berharap banyak dari program prakerin namun kenyataan tidak seperti yang mereka harapkan. Sering kali apa yang sudah dipelajari menjadi menguap begitu saja saat tidak relevan untuk dipraktikkan saat melaksanakan prakerin. Siswa merasa terasing di tempat prakerin dan tidak bisa mengaktualisasikan diri. 

Miskonsepsi ketiga, Tergantung tempat magang di DU/DI

Upaya pengembangan siswa melalui prakerin sering kali terganggu karena ketergantungan pada DU/DI. Jika DU/DI tidak bersedia menerima siswa maka tentunya kacau kegiatan tersebut. 

Seharusnya guru lah yang paling mengetahui kondisi lapangan. Guru yang punya jam terbang untuk memberikan solusi terhadap kesulitan siswa. Sekolah juga layak menjadi DU/DI tentunya dengan unit produksi yang jelas.

Miskonsepsi keempat, Masih terjebak di antara prakerin dan tugas belajar

Seperti di sekolah tempat saya bekerja, masih saja siswa yang sedang prakerin dituntut juga untuk menyetorkan tugas-tugas yang diberikan oleh bapak ibu guru. Siswa tidak memiliki waktu untuk beristirahat. 

Di tempat prakerin mereka harus berusaha memberikan yang terbaik di DU/DI, namun di saat yang mereka juga dituntut untuk menyetorkan tugas yang diberikan guru melalui modul pembelajaran. 

Alangkah baiknya saat prakerin tersebut hendaknya hanya membahas tentang prakerin. Tidak perlu diintegrasikan lagi dengan tugas-tugas sekolah. Siswa pastinya lebih menikmati masa prakerin bukannya menjadi suatu beban bahkan terpaksa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun