Miskonsepsi pertama, Serba Keharusan.
Karena prakerin sudah menjadi suatu syarat kelulusan siswa SMK, maka banyak sekolah yang melakukan "prakerin paksaan". Karena memang prakerin seolah hanya menjadi sebuah kegiatan rutinitas tahunan yang tidak berdampak.
Bukankah aneh, di saat sekolah harus punya program prakerin yang notabene berkolaborasi dengan DU/DI namun di lapangan masih banyak jurusan SMK yang belum memiliki MoU dengan DU/DI tersebut. Akibatnya siswa diarahkan (dipaksakan) untuk mencari sendiri tempat atau lokasi DU/DI prakerinnya sendiri.Â
Siswa yang seharusnya fokus belajar dan mempersiapkan diri secara materi dan juga mental, ternyata masih dijejali dengan beban mencari lokasi prakerinnya sendiri. Tentu hal ini berakibat terhadap kualitas siswa akan kurang karena tempat prakerinnya pun jadi asal-asalan. Yang penting ada tempat prakerin dan bisa dapat sertifikat.Â
Saat prakerin apakah siswa mengembangkan kualitas diri atau hanya sekadar mencari sertifikat? Dan memang akhir-akhir ini rupanya sudah menjadi suatu budaya, budaya keharusan. Mengikuti prakerin juga hanya untuk mendapat sertifikat.Â
Sebaiknya orientasi prakerin bukan karena suatu keharusan saja, melainkan karena kebutuhan. Setiap siswa hadir dan belajar karena kebutuhan belajarnya.Â
Miskonsepsi kedua, Hanya Kompetensi
Pengembangan siswa melalui prakerin sering kali hanya dimaknai sebagai pengembangan kompetensi belaka. Sering kali ada gap yang besar antara harapan dan realita.Â
Siswa berharap banyak dari program prakerin namun kenyataan tidak seperti yang mereka harapkan. Sering kali apa yang sudah dipelajari menjadi menguap begitu saja saat tidak relevan untuk dipraktikkan saat melaksanakan prakerin. Siswa merasa terasing di tempat prakerin dan tidak bisa mengaktualisasikan diri.Â
Miskonsepsi ketiga, Tergantung tempat magang di DU/DI
Upaya pengembangan siswa melalui prakerin sering kali terganggu karena ketergantungan pada DU/DI. Jika DU/DI tidak bersedia menerima siswa maka tentunya kacau kegiatan tersebut.Â