Dalam Islam diajarkan untuk saling membantu termasuk dalam bentuk memberi tanpa pengembalian, seperti zakat infaq, shodaqoh atau pinjaman yang dikembalikan seperti: sewa atau gadai (rahn). Gadai sudah dikenal dan menjadi adat. Gadai pun sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW, salah satu hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim yang artinya: "Rasullulah SAW pernah membeli makanan dengan menggadaikan baju besi" (HR.Bukhari dan Muslim).
Gadai merupakan semacam akad pinjam meminjam agar kreditur mempunyai kepercayaan sebagai sebuah jaminan utang. Barang itu tetap menjadi milik orang yang menggadaikannya, tetapi dikuasai oleh penerima barang. Dengan demikian pada prinsipnya marhun tidak mungkin ada di manfaatkan oleh murtahin kecuali dengan izin rahin, tanpa mengurangi nilainya marhun, dan pemanfaatannya hanya sebagai pengganti biaya pemeliharaan.
1. Pengertian Akad Rahn
Gadai atau Al Rahn secara linguistik dapat diartikan dengan (al-stabut, al habs) penetapan dan penahanan, istilah hukum positif di Indonesia rahn itulah yang disebut dengan agunan atau tanggungan. Â Azhar Basyir mengartikan rahn (gadai) sebagai perbuatan yang menjadikan suatu benda yang bernilai menurut pandangan syariat merupakan jaminan dari segala sesuatunya atau sebagian utangnya dapat diterima. Atau sebagian dari utang tunai, asal murtahin (pegadaian) tetap berhak mengembalikan.
Perjanjian rahn bertujuan untuk memberikan kepercayaan lebih kepada pemberi pinjaman pengutang. Pemeliharaan dan penyimpanan barang gadai pada hakikatnya adalah kewajiban pihak yang menggadaikan (rahn), namun dapat juga dilakukan oleh pihak yang menggadaikan pihak yang menerima barang gadai (murtahin) dan besarnya biaya yang ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
2. Dasar Hukum Ar Rahn
- Al-Qur'an
Artinya: "Jika kamu sedang bepergian dan kamu tidak sedang melakukan urusan bisnis di dalamnya uang tunai, dan kamu tidak memiliki juru tulis, maka harus ada jaminan yang dipegang debitur. Namun jika ada diantara kamu yang mempercayai orang lain, hendaklah wali itu menunaikan amanahnya.
- Hadist
Dari Aisyah RA berkata bahwa Rasullullah SAW membeli makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran ditangguhkan dengan menggadaikan baju besinya (HR.Bukhari dan Muslim).
- Ijma'
Ulama sepakat bahwa akad rahn dibolehkan karena setiap manusia membutuhkan bantuan manusia lainnya termasuk dalam hal pinjam meminjam. Karena itulah hukum dibolehkannya akad rahn juga tercantum dalam fatwa Dewan Syari’ah Nasional No.25/DSNMUI/III/2002 pada tanggal 26 Juni 2002.
Ketentuannya sebagai berikut:
Pegadaian (murtahin) mempunyai hak untuk menahan barang jaminan tersebut (marhun bih) sampai seluruh utang nasabah (rahn) lunas.
Jaminan (marhun bih) dan manfaatnya tetap menjadi milik penerima pinjaman (rahin).
Nasabah bertanggung jawab memelihara dan penyimpan barang gadai, namun penerima gadai juga dapat melakukan hal tersebut. Biaya penyimpanan tetap sama.
Besaran biaya dan penitipan barang yang digadaikan tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
3. Rukun dan Syarat Rahn
Rukun rahn ada 4, yaitu pemberi gadai (rahin), penerima gadai (murtahin), jaminan (marhun), dan hutang (marhun bih). Selagi rukun rahn adalah dua pihak yang berkontrak, yang menjadi akad rahn jaminan (marhun) dan hutang (marhun bih). Secara harfiah, rukun rahn adalah ijab dan qabul dari rahin dan murtahin.
Rukun dan Syarat sahnya akad gadai adalah sebagai berikut:
Syarat rukun aqid, menurut para jumhur ulama, kedua belah pihak yang bertransaksi harus baligh dan berakal.
Syarat marhun, syarat jaminan barang gadai yang diberikan kepada murtahin yaitu status barang milik pribadi, barang jaminan merupakan barang pribadi yang berharga sehingga bisa dijual dengan nilai yang sama dengan utang tahin, bisa dimanfaatkan sesuai hukum Islam, barang dalam keadaan utuh dan ditunjukan kepada murtahin.
Shiqhat, antara peminjam dan pemberi pinjaman melakukan akad atau ijab dan qobul.
Syarat marhun bih, perjanjian utang yang dipinjam rahin harus dikembalikan kepada murtahin sesuai kesepakatan dan menyerahkan barang berharga sebagai jaminan untuk melunasi utang. Nominal utang dan cara melunasinya harus jelas dan terhitung.
Pegadaian syariah merupakan adalah lembaga pembiayaan dan perkreditan yang mempunyai gadai sistem PT. Pegadaian Persero berada dibawah naungan Kementrian BUMN, tugas utama pegadaian syariah adalah memfasilitasi kebutuhan masyarakat dana dengan memberikan pinjaman berdasarkan hukum gadai.
Seiring dengan perkembangannya produk syariah di Indonesia, di Tahun 2003 sektor pegadaian juga mendirikan sektor gadai syariah yang membentuk Unit Pelayanan Gadai Syariah (ULGS) yang dalam pelaksaannya menggunakan prinsip syariah. Sampai saat ini pegadaian syariah masih melekat PT. Pegadaian Persero rencananya akan di-pin off. Pada tahun 2019 konsep operasional pegadaian syariah mengacu pada prinsip modern sistem administrasi dengan harapan yang rasional, efisien, dan efektif dengan nilai-nilai Islam.
Tujuan utama didirikannya pegadaian syariah adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat untuk saling membantu, dengan adanya pegadaian syariah, memberantas rentenir, praktik gadai ilegal yang sangat meresahkan dan membebani masyarakat kecil. Alasan mengapa pegadaian syariah diperbolehkan adalah karena sifat sosialnya yang dapat membantu meringankan beban pada masyarakat menengah kebawah yang kesehariannya bersifat konsumtif. Namun sayangnya dalam pegadaian syariah lebih banyak dimanfaatkan oleh masyarakat dengan pendapatan menengah keatas produktif secara komersial. Hal ini terlihat dari besarnya marhun berupa emas dan berlian yang banyak diterima oleh pegadaian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H