Mohon tunggu...
Dharma
Dharma Mohon Tunggu... Dosen - dosen

saya dosen, keseharian menulis dan mengajar di Bali

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

CERITA DOKTOR DHARMA DI ATAP BALI part 1

5 Januari 2025   06:24 Diperbarui: 5 Januari 2025   06:24 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Ranjang tidurnya proper dengan tubuh majikan. Dia layani rakyat memakai udelnya. Yang lelaki, dikebiri. Perempuan, dijadikan hiasan dapur, the second sex. Ini kegagalan dalam arti sesungguhnya, yakni; suatu konsep yang belum selesai, tugas andalah untuk menyelesaikannya, yang bakalan tidak pernah selesai. Dengan cara itu budak bertumbuh.”

Pendek cerita, dipenggalnya kepala raja Louis XVI menjadi momentum robohnya keperkasaan raja di seluruh daratan. Euforianya membahana hingga ke pelosok. Keajaiban budaya mekar, delapan belas jam kerja ke sepuluh jam per hari, bangun sebelum fajar dan tidur terlalu larut terhenti.   

“Pasar yang awalnya hiruk pikuk, kini keriput. Properti di obral. Demi roti dan salad, pikiran, tenaga, dan modal kaum pedagang mencuat ke publik. Republik bergema, menggelegar.”

Hal yang paling mengejutkan saya adalah ide republik meliuk-liuk. Bukan obat mujarab. Anehnya dielu-elukan, padahal labil, seolah-olah serba bisa, yang sanggup mengobati dirinya sendiri tatkala sakit. Dagangannya, keadilan lewat pajak. Tuannya rakyat, pelayannya pemerintah. Maju tak gentar membela yang bayar. Tumpul ke kawan, tajam ke lawan.

Sebagai tuan fahrenheit yang murah senyum. Republik menerangi gelap dengan lampu warna warni, gegap gempita. Sekejap, café penuh kursi-kursi vinil. Estetika toko mewah, segelas anggur mudah diteguk. Restoran cepat saji menjamur dalam jarak tiga kilo. Ketenaran republik yang disponsori kapitalis tengik dan tengil ditata influencer.

Ini tontonan, bukan acara televisi yang penting. Republik di asuh gerombolan badut, menguras anggaran dan memaku kursi kekuasaan. Yang darurat, dinormalkan. Yang normal, didaruratkan. Ledakan bom molotot dan suara rakyat membuatnya terpencar. Ini contoh kejadian di awal gerakan hak sipil Eropa.

“Bukan Sinterklas yang mengubah keadaan, ini pekerjaan ‘Invisible Hand’ dengan traktat setiap individu dibebaskan dalam tatanan berusaha dan berupaya. Adam Smith, The Wealth of Nations. Doktrin, bekerja keras demi kemakmuran.”

Pasca ditemukannya mesin uap, kompas, dan mesiu, Barat yakin bahwa industri membawa surga ke dunia. Produksi besar-besaran, namun nasibnya naas, harga-harga terjungkal bebas. Pengangguran merajalela. Neraka menganga di depan mata. Kesadaran muncul, ini bukanlah keadaan yang diidamkan.

“Kegalauan di tengah ketidakpastian, memaksa Barat berpikir ulang, memutuskan mencari pulau yang belum dijamah kedekilan.”

Awalnya tiba di daratan luas, sayang primitif. Bukan ini. Pencarian dilanjutkan. Tibalah di pulau cantik, ada sun, sea, dan sex saja. Ada yang hilang. Apa itu? Terlalu dini untuk dijawab. Pencarian diteruskan.

Suatu hari, tibalah mereka di Timur pulau Jawa. Langit berbintang, purna candra menguning. Nafas tanah segar. Religius, otentik, magis, dan lekat dengan alam. Langit dibumikan. Tidak ada yang mati, seperti taman Firdaus dan kupu-kupunya. Ada sun, sea, sex, dan culture. Barat tersipu, ada pulau perawan, mereka memberi label sebagai surga terakhir di muka bumi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun