Mohon tunggu...
Cerita Doktor Dharma
Cerita Doktor Dharma Mohon Tunggu... Dosen - Dosen STIE Satya Dharma Singaraja, Bali

Ada benci dan cinta, siapa menang? Yang sering engkau beri makan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

CERITA DOKTOR DHARMA DI ATAP BALI part 1

5 Januari 2025   06:24 Diperbarui: 14 Januari 2025   11:10 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Part 1 (Sumber: Dharma Hartawan by Canva)

“Ada benci dan cinta,

Siapa yang menang?

Yang sering engkau beri makan”

Saya punya pekerjaan yang mengharuskan kaki banyak berjalan. Tidak selalu seribu langkah per hari. Kaki mengetahui banyak hal tentang capaian hidup, melalui percakapan di internet, saya mendengar kaki alat transportasi pertama yang mesti hangat.   

Bulan Juni, dua kosong dua empat, pukul lima pagi lewat dua puluh lima menit, saya berpijak di ketinggian 3.142 MDPL. Nampak Gunung Rinjani di ufuk Timur. Di Barat menjulang deretan gunung yang ada di Tabanan dan Buleleng. Batukaru, Sanghyang, Lesung, Tapak, Adeng, Pohen dan Catur. Yang paling jelas Abang dan Batur.

“Takjub mendaras. Mural tidak mempersoalkan apa pun, bibir etika lingkungan berbisik, terima kasih.”

Di tengah lipstik sun rise yang aduhai, sayup-sayup saya mendengar dua orang asing saling bertegur tanya, berdebat tentang harga.

“Seratus dua puluh tujuh dolar untuk mendaki Gunung Agung? seru cowok Prancis sambil mengangkat tracking pole. Tapi, pantas saja bayar segitu, desak cewek Belanda. Makin bagus harga, makin sayang pada sesuatu. Prinsipnya, harga adalah substitusi yang baik.”  

Si cowok mengawali dengan pertanyaan “Apa yang membedakan Bali dengan pulau lainnya?” dan kemudian dengan cepat berpaling ke kenikmatan yang menyejukkan.

Saya tidak dapat menahan kantuk mendengar ironi ini. Saat lautan awan tidak menghalangi matahari untuk merona, saya baru saja habis makan buah Ara. Mungkin kedua tamu itu belum baca Marx. Ya, pantas saja, dia-kan orang Jerman, pikir saya.

“Bali adalah suatu pulau dan tempat di mana dewa-dewi dilahirkan. Pusat liburan dengan bantuan mantra-mantra.”

Terus, apa yang membedakannya? Pola Produksi. Hal ini dengan mudah menerangkan, mengapa ada orang menganggap rimba sebagai ekspedisi kepemimpinan yang bagus. Hubungan yang sama sederhananya dengan mengetahui, apa kegiatan dasar manusia? Kerja, terus apa yang mendamaikannya? Pembagian kerja.      

“Ada sesuatu yang memuaskan emosional tentang pola produksi. Bila cara produksi ngomong tentang perjanjian kerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, maka hubungan produksi berbicara tentang distribusi pendapatan berkeadilan. Interaksi di antara keduanya menciptakan aliran modal.”

Bali menarik bagi naluri investasi, yang menjanjikan surga sambil membuat harga barang dan jasa makin mahal. Hasrat di balik ini, nilai tukar petani lebih direndahkan dari nilai tukar pariwisata. Dengan begitu, tanah di jual.

“Dulu orang Bali menyembah patung agar panen berhasil. Kini menjual patung untuk membeli hasil panen.”  

Mengapa sebagian besar kecurigaan dituduhkan kepada tanah. Bisa saja salah. Untuk waktu yang lama, saya pikir tanah bukanlah biak kerok. Dugaan saya akurat, dalilnya sama dengan, Mengapa macet padahal jalan terus dibuat dan diperlebar? Karena kepemilikan atas kendaraan tidak di atur.  Begitu juga dengan tanah, nomor sertifikatnya mesti sama dengan nomor rekening bank, pajak, dan nomor kendaraan. Bila tidak, niscaya kelabu, tidak hangat. Untuk tidak berkata dekil.   

“Ini adalah konsep dasar di balik maraknya tanah di jual dan macetnya jalan. Mana mungkin, bahagia tatkala keakraban dengan manusia, lingkungan, dan alam gaib goyah oleh ketamakan. Sebidang tanah mengajarkan tentang kehidupan dan ketahanan.”    

Saya tidak yakin, ikatan emosional kita dengan tanah terjaga. Sebuah permohonan, mengingat perasaan tanah terluka, agar kepemilikan dibatasi. Ini realitas, yang menjadikan Bali tercebur ke dalam kotak Pandora. Tanah menangis, tidak yakin apa arti dirinya, dia yakin seberapa buruk ketidakpastian akan menghantui ke depannya.

“Betapa mengerikan, tatkala kemalangan menimpa dan semua orang berteriak. Betapa gembiranya, tatkala sebidang tanah tersedia buat cetak momen-momen indah dengan anak cucu.”  

Ada beberapa kesalahan di level pengambilan keputusan, tepatnya ada pilihan yang disengaja. Skenario terburuk, badai datanglah, niscaya penyakit berhamburan, yang tersisa hanya ‘Hope.’ Sekutu terbaik, mengubah konsep pemenuhan pribadi menjadi aksi saling balas membantu. Ini sel primitif yang berasal dari mistik kuno. Kontribusinya tulus, terpatri di setiap kerutan kening.

“Bukan rahasia lagi, harmoni merukunkan kompetisi, dan kompetisi menyehatkan harmoni. Saya rasa ini tidak cacat, karena Bali telah berlari dari ordo keperkasaan raja ke ordo kebenaran natural hingga ordo keadilan republik dan kejujuran digital.”

Ambil kendali atas hidup anda, temukan momentum penting yang menandai anda, apa yang anda inginkan, raihlah. Jadikan monumen, karena aroma tanahnya masih segar. Mentari dua belas jam mewarnai lentik jari-jemari penari dan pelukisnya.

Bukan muluk-muluk, Bali itu ziarah sekala (nyata) niskala (mungkin nyata). Apa yang ada di sekala, ada di niskala. Berlaku juga sebaliknya. Perjalanan suka duka pasang surut, muncul lantas tenggelam. Bila suka adalah duka yang tertunda, maka duka adalah suka yang tertunda. Suka berumur pendek dalam penyesalan, duka berumur panjang dalam kemuliaan.

“Kisah semacam ini disengaja bukan gratis dari langit. Epiknya terpahat apik di secarik kertas, ditoreh dengan pena asing. Tidak ada alamat, tidak ada nomor telepon, hanya alegori keseimbangan, yang tidak dikenali.”

Pancaran nada dasarnya ‘Keselarasan’. Kaum brahmana (pendeta) produksi moral, kesatria (pejabat publik) menghasilkan keadilan, waisya (pedagang) produksi material, dan sudra (pekerja) menghasilkan nilai.

“Sayangnya, struktur masyarakat ideal kami ini sekadar teks. Saya masih berjibaku menumpuk material, agar setiap pagi dapur mengepul. Umur lima puluh tahunan, pantas saya mendapatkan kehidupan tanpa utang, mendapati diri bermukim di tempat sunyi.”

Saya tidak mencari restoran mewah, secangkir kopi Arabika lima puluh ribu rupiah, atau sepiring nasi goreng sea food tiga puluh lima ribu rupiah. Semua itu enak, maksud saya tidak satu pun dari ini memproduksi kehangatan warga.

Saya ingin, orang asing tidak ada yang tersesat. Kerasnya orang lokal jangan diartikan kasar. Nilai tukar petani dijamin, angka partisipasi sekolah sarjana, equal untuk perempuan. Kamar mandi umum wanita jumlahnya lima kali lebih banyak dari pria, karena perabotannya banyak.

Celingak-celinguk turis di bandara, uangnya full ke Bali, ritual di setiap rumah dianggarkan di belanja pemerintah. Tarian di balairung hotel. Lukisan di dinding restoran. Dodol desa Penglatan di rak Indomaret. Generasi milenial dan zenial giat ke gunung.

“Inilah yang menarik orang datang, secuil kenangan. Bali itu tentang nilai, pantai tentang kebersihan, gunung tentang kesucian, perilaku tentang kepolosan, watak tentang keluguan, gotong-royong tentang panggilan. Sayangnya saya belum memancarkan apa-apa.”    

Bagaimana yang tertindas sanggup mempertahankan pejuang tulen? Maksud saya, kehidupan jauh sebelum Majapahit. Film di Youtube, sekilas menggambarkan perdebatan tentang persepsi Bali kuno, yang percaya bahwa emosi musti diendapkan, untuk hindari konflik terbuka. Dengan cara, tebar ketakutan. Tidak boleh ke sana, ada setan.

“Realitasnya, kesadaran digelapkan oleh keadaan. Tetua merancang kata ‘Inggih’ untuk disamarkan. Artinya bukan ‘Ya,’ namun ‘Menghormati’ petuah orang yang disegani.”

Tujuannya, menjalani perintah tuan. Fungsinya, menumpas perompak. Keberhasilannya dibangun atas upaya orang-orang yang ditundukkan. Segalanya dibuat oleh dan untuk tuanku.

“Ranjang tidurnya proper dengan tubuh majikan. Dia layani rakyat memakai udelnya. Yang lelaki, dikebiri. Perempuan, dijadikan hiasan dapur, the second sex. Ini kegagalan dalam arti sesungguhnya, yakni; suatu konsep yang belum selesai, tugas andalah untuk menyelesaikannya, yang bakalan tidak pernah selesai. Dengan cara itu budak bertumbuh.”

Pendek cerita, dipenggalnya kepala raja Louis XVI menjadi momentum robohnya keperkasaan raja di seluruh daratan. Euforianya membahana hingga ke pelosok. Keajaiban budaya mekar, delapan belas jam kerja ke sepuluh jam per hari, bangun sebelum fajar dan tidur terlalu larut terhenti.   

“Pasar yang awalnya hiruk pikuk, kini keriput. Properti di obral. Demi roti dan salad, pikiran, tenaga, dan modal kaum pedagang mencuat ke publik. Republik bergema, menggelegar.”

Hal yang paling mengejutkan saya adalah ide republik meliuk-liuk. Bukan obat mujarab. Anehnya dielu-elukan, padahal labil, seolah-olah serba bisa, yang sanggup mengobati dirinya sendiri tatkala sakit. Dagangannya, keadilan lewat pajak. Tuannya rakyat, pelayannya pemerintah. Maju tak gentar membela yang bayar. Tumpul ke kawan, tajam ke lawan.

Sebagai tuan fahrenheit yang murah senyum. Republik menerangi gelap dengan lampu warna warni, gegap gempita. Sekejap, café penuh kursi-kursi vinil. Estetika toko mewah, segelas anggur mudah diteguk. Restoran cepat saji menjamur dalam jarak tiga kilo. Ketenaran republik yang disponsori kapitalis tengik dan tengil ditata influencer.

Ini tontonan, bukan acara televisi yang penting. Republik di asuh gerombolan badut, menguras anggaran dan memaku kursi kekuasaan. Yang darurat, dinormalkan. Yang normal, didaruratkan. Ledakan bom molotot dan suara rakyat membuatnya terpencar. Ini contoh kejadian di awal gerakan hak sipil Eropa.

“Bukan Sinterklas yang mengubah keadaan, ini pekerjaan ‘Invisible Hand’ dengan traktat setiap individu dibebaskan dalam tatanan berusaha dan berupaya. Adam Smith, The Wealth of Nations. Doktrin, bekerja keras demi kemakmuran.”

Pasca ditemukannya mesin uap, kompas, dan mesiu, Barat yakin bahwa industri membawa surga ke dunia. Produksi besar-besaran, namun nasibnya naas, harga-harga terjungkal bebas. Pengangguran merajalela. Neraka menganga di depan mata. Kesadaran muncul, ini bukanlah keadaan yang diidamkan.

“Kegalauan di tengah ketidakpastian, memaksa Barat berpikir ulang, memutuskan mencari pulau yang belum dijamah kedekilan.”

Awalnya tiba di daratan luas, sayang primitif. Bukan ini. Pencarian dilanjutkan. Tibalah di pulau cantik, ada sun, sea, dan sex saja. Ada yang hilang. Apa itu? Terlalu dini untuk dijawab. Pencarian diteruskan.

Suatu hari, tibalah mereka di Timur pulau Jawa. Langit berbintang, purna candra menguning. Nafas tanah segar. Religius, otentik, magis, dan lekat dengan alam. Langit dibumikan. Tidak ada yang mati, seperti taman Firdaus dan kupu-kupunya. Ada sun, sea, sex, dan culture. Barat tersipu, ada pulau perawan, mereka memberi label sebagai surga terakhir di muka bumi.

“Mengapa bisa terjadi? Karena dilahirkan tidak sempurna. Butuh otak, tangan, dan kaki orang lain untuk bertahan hidup. Sudah bisa diduga, budaya saling balas membantu mengakar sebagai sarana penilai dan penghukum yang kompatibel.”

Pencitraan ulang tentang pencarian surga terakhir menimbulkan kontroversi. Buku, spanduk, dan iklan berseliweran. Ajaib, Bali tersohor dalam hitungan bulan. Propaganda seperti itu tidak ditentang, malahan disoroti valid atas nama perlindungan, dibaliknya perampasan.

 

“Ribuan mil di luar Bali, kampanye diskriminasi dibenarkan. Dari Black Codes, Slave Codes hingga Jim Crow. Dengan bantuan peri, kolonisasi diakhiri dengan penaklukan, sambil menyeringai: Kami pikir itu semua sudah diatur.”

Masuknya kopi Robusta meminggirkan Jaka (enau). Boikot produk asing malah merusak norma lokal. Kepemilikan dibebaskan di tingkat individu. Sistem tuan tanah, warisan kolonial menggeser kerja berbasis ikatan kekeluargaan menjadi sewa.

Tujuannya sedikit revolusioner, kerja sebagai in put ke kerja sebagai investasi dan kerja sebagai norma. Dulu kerja diperlakukan kasar dan sering bekerja melebihi ketentuan kontrak, kini semuanya bereaksi terhadap hasil, dan itu adalah panggilan.  

“Republik industri terancam beku pangan, eksploitasi pupuk kimia membuat burung-burung enggan hinggap di pohon buah di musim semi, Rachel Carson, Silent Spring. Orang-orang tidak sepenuhnya memahami environmental ethic and gender quality sebagai the new kinds of justice.”   

Bobroknya, banyak yang kesurupan di bagian terlarang Dark Web, sebagai ekosistem digital yang dirahasikan, sulit dilacak, dipenuhi mata-mata, yang disetujui penguasa. Narkoba, pornografi, pembunuh bayaran, pembangkang, peretas, judi, senjata illegal, dan sejenisnya. Berselancar dengannya full dolar.

“Di dunia labirin, tidak ada agama yang terlibat, hanya ada kreativitas. Kejujuran tulus di niskala, kebohongan pongah di sekala. Keduanya intrik, agar big data, genom, dan artificial intelligence bergerilya.”    

Pukul setengah delapan pagi saya melandai, dari sini epos Tasbih dan Bandit on, sebagai fiksi ilmiah yang menjanjikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun