Bukan muluk-muluk, Bali itu ziarah sekala (nyata) niskala (mungkin nyata). Apa yang ada di sekala, ada di niskala. Berlaku juga sebaliknya. Perjalanan suka duka pasang surut, muncul lantas tenggelam. Bila suka adalah duka yang tertunda, maka duka adalah suka yang tertunda. Suka berumur pendek dalam penyesalan, duka berumur panjang dalam kemuliaan.
“Kisah semacam ini disengaja bukan gratis dari langit. Epiknya terpahat apik di secarik kertas, ditoreh dengan pena asing. Tidak ada alamat, tidak ada nomor telepon, hanya alegori keseimbangan, yang tidak dikenali.”
Pancaran nada dasarnya ‘Keselarasan’. Kaum brahmana (pendeta) produksi moral, kesatria (pejabat publik) menghasilkan keadilan, waisya (pedagang) produksi material, dan sudra (pekerja) menghasilkan nilai.
“Sayangnya, struktur masyarakat ideal kami ini sekadar teks. Saya masih berjibaku menumpuk material, agar setiap pagi dapur mengepul. Umur lima puluh tahunan, pantas saya mendapatkan kehidupan tanpa utang, mendapati diri bermukim di tempat sunyi.”
Saya tidak mencari restoran mewah, secangkir kopi Arabika lima puluh ribu rupiah, atau sepiring nasi goreng sea food tiga puluh lima ribu rupiah. Semua itu enak, maksud saya tidak satu pun dari ini memproduksi kehangatan warga.
Saya ingin, orang asing tidak ada yang tersesat. Kerasnya orang lokal jangan diartikan kasar. Nilai tukar petani dijamin, angka partisipasi sekolah sarjana, equal untuk perempuan. Kamar mandi umum wanita jumlahnya lima kali lebih banyak dari pria, karena perabotannya banyak.
Celingak-celinguk turis di bandara, uangnya full ke Bali, ritual di setiap rumah dianggarkan di belanja pemerintah. Tarian di balairung hotel. Lukisan di dinding restoran. Dodol desa Penglatan di rak Indomaret. Generasi milenial dan zenial giat ke gunung.
“Inilah yang menarik orang datang, secuil kenangan. Bali itu tentang nilai, pantai tentang kebersihan, gunung tentang kesucian, perilaku tentang kepolosan, watak tentang keluguan, gotong-royong tentang panggilan. Sayangnya saya belum memancarkan apa-apa.”
Bagaimana yang tertindas sanggup mempertahankan pejuang tulen? Maksud saya, kehidupan jauh sebelum Majapahit. Film di Youtube, sekilas menggambarkan perdebatan tentang persepsi Bali kuno, yang percaya bahwa emosi musti diendapkan, untuk hindari konflik terbuka. Dengan cara, tebar ketakutan. Tidak boleh ke sana, ada setan.
“Realitasnya, kesadaran digelapkan oleh keadaan. Tetua merancang kata ‘Inggih’ untuk disamarkan. Artinya bukan ‘Ya,’ namun ‘Menghormati’ petuah orang yang disegani.”
Tujuannya, menjalani perintah tuan. Fungsinya, menumpas perompak. Keberhasilannya dibangun atas upaya orang-orang yang ditundukkan. Segalanya dibuat oleh dan untuk tuanku.