4. Keterampilan motorik yaitu keterampilan mengorganisasikan. gerakan sehingga terbentuk keutuhan gerakan yang mulus, teratur, dan tepat waktu. Sikap yaitu keadaan dalam diri peserta didik yang mempengaruhi (bertindak sebagai moderator atas) pilihan untuk bertindak. Sikap ini meliputi komponen afektif (emosional), aspek kognitif, dan unjuk perbuatan.Â
F. Pembelajaran Menurut Aliran Kognitivistik Piaget
Pakar kognitivisme yang besar pengaruhnya ialah Jean Pinget, yang pernah mengemukakan pendapatnya tentang perkembangan kognitif anak yang terdiri atas beberapa tahap. Dalam hal pemerolehan bahasa ibu (B1) Piaget mengatakan bahwa (i) anak itu di samping meniru-niru juga aktif dan kreatif dalam menguasai bahasa ibunya; (ii) kemampuan untuk menguasai bahasa itu didasari oleh adanya kognisi; (iii) kognisi itu memiliki struktur dan fungsi. Fungsi itu bersifat genetif, dibawa sejak lahir, sedangkan struktur kognisi bisa berubah sesuai dengan kemampuan dan upaya individu.
Menurut piaget proses belajar sebenarnya terdir dari tiga tahapan, yakni asimilasi, akmodasi, dan equilibrasi (penyeimbangan. Asimilasi adalah proses pengintegrasian informasi baru ke strktur kognitif yang sudah ada. Akomodasi adalah proses penyesuaian struktur kognitif dalam siruasi yang baru. Sedangkan equilibrasi adalah penyesuaian kesenamungan antara asimilasi dan akomodasi. Sebagai contoh, seorang siswa yang sudah mengetajhui prinsip-prinsip penjumlahan jika, gurunya memperkenalkan prinsip perkalian, maka terjadilah proses pengintegrasian antara prinsip penjumlahan (yang sudah ada dibenak siswa) dengan prinsip perkaliamn (sebagai informasi yang baru), inilah yang di maksud proses asimilasi. Jika siswa diberi sebuah soal perkalian maka situasi ini disebut akomodasi, dalam hal ini berarti penerapan prinsip perkalian dalam situasi yang baru dan spesifik. Agar siswa dapat terus berkembang dan menambah ilmunya, tapi sekaligus menjaga stabilitas mental dalam dirinya, diperlukan prose penyeimbangan.
Proses inilah yang disebut equilibrasi, penyeimbangan antara duania luar dan dunia dalam, Tanpa proses ini erkembangan kgnitif seseorang akan tersendat-sendat dan berjlan tak teratur. Seseorang dengan kemampuan equilibrasi yang baik akan mampu menata berbagai informasi yang diterimanaya dalam urutan yang baik, jenih dan logis. Sebaliknya. jika kemampuan equilibrasi seseorang rendah, ia cenderung menyimpansemua informasi yang ada pada dirinya secara kurang teratur, sehingga ia tampil sebaga orang yang alr berpikiranya ruwet, tidak logis, berbelit-belit.
Piaget juga mengemukakan bahwa proses belajar harus disesuaikan. dengan tahap perkembanagan kognitif yang dilalui siswa. Dalam konteks ini terdapat empat tahap, yatu tahap sensori motoric (anak usia 1,5-2 tahun), tahap praoperasional (2-8 tahun), dan tahap operasional formal (14) tahun atau lebih). Proses belajar yang dialami seorang anak berbeda pada tahap yang satu dengan tahap yang lainnya. Secara umum, semakin tinggi tingkat kognitif seseorang maka semakin teratur dan juga semakin abstrak cara berfikirnya. Karena itu, gurur seharusnya memahami tahap-tahap perkembangan kognitif anak didiknya, serta memberikan isi, metode, media pembelajaran yang sesuai dengan tahap-tahap tersebut.
G. Pembelajaran Menurut Aliran Kognitivistik Ausubel
Tawaran paradigma kognitivisme yang diajukan oleh Ausubel menakankan metode interpretasi dari objek pengetahuan yang sedang ditangkap. Menurutnya, metode penafsiran atau interpretasi ini berkembang bersamaan dengan daya pikir siswa menjadi utuh dan konkret. Artinya metode ini berupaya untuk menelaah objek itu dengan sentuhan nalar berpikir kritis. Kemudian objek pengetahuan tersebut diolah dan dikombinasikan dengan hasil pengetahuan yang pernah ditangkap sebelumnya, serta menjadi navigasi dalam pengambilan keputusan. Nugroho menjelaskan konsep pembelajaran dalam perspektif Ausubel yang bertumpu pada aspek daya interpretasi itu akan membentuk inklusivitas berpikir siswa." Inklusivitas berpikir ini akan mewujud dalam konkretisasi objek pengetahuan dengan menerapkan pemahaman itu secara luwes dan lentur. Kelenturan ini akan menjadi sebuah perbedaan utama. dari lanskap dua kutub ilmu pengetahuan ilmu sains dan sosial. Berpijak pada asumsi dasar kognitivisme Ausubel, kita bisa memahanai bahwa keluwesan dalam interpretasi objek pengetahuan sosial membawa kita. pada tahapan penghapusan logika sains yang cenderung bersifat oposisi biner. Kecenderungan ini bisa terlihat ketika logika berpikir yang digunakan senantiasa menempatkan posisi hirarkis antara baik dan buruk, benar dan salah, dan seterusnya. Ausubel hendak memecahkan ini dengan tawaran logika berpikir verbal dimana dalam mengejawantahkan objek pengetahuan harus disertai dengan logika-logika penafsiran yang konkret. Dalam bukunya The Pesychology of Meaningful Verbal Learning Ausubel hendak menjelaskan bagaimana kognitivisme pendidikan ini memiliki relevansi ketika dimanfaatkan sebagai metode pembelajaran. Untuk memasuki logika yang ditawarkan oleh Ausubel, kita dibawa untuk memahami konsep utamanya mengenai Meaningfull Learning atau pembelajaran yang menekankan pada struktur kognitiv yang harus bisa dikembangkan secara totalitas. Guru, yang dalam hal ini berperan sebagai fasilitator, memegang peranan penting agar semua daya kognitif dan imajinat if peserta didik bisa memahami potensipotensi yang terdapat pada seluruh peserta didik. Karena dalam metode ini, menurut Ausubel, setiap individu memiliki keunikan atau karakteristik yang berbeda-beda, karena itu semua inheren di dalam daya pikir manusia. Adapun peta konsep metode yang digunakan dalam pembelajaran merupakan rangkaian struktur aktif yang memiliki keterkaitan antar satu dan lainnya. Menurut Barlow dalam Muhibbin Syah mengatakan bahwa jalinan variabel yang membentuk jaringan struktur kognitif itu terdiri dari beberapa poin, yaitu: petama Advanced organizer (pengaturan awal) di dalamnya terdapat konsep yang diaplikasikan di awal pembelajaran sebelum memasuki pelajaran sesungguhnya.
Hal ini berguna untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dalam. belajar, dan mengingat materi pelajaran. Kedua adalah progressive differentiation, yaitu mengembangkan konsep pembelajaran dengan memulai menjelaskan terlebih dahulu hal-hal khusus disertai dengan contoh. Ketiga, Reconcilasi reconciliation (integrative reconciliation), guru. mengawali pembelajaran dengan menjelaskan dan menunjukkan dengan jelas persamaan maupun perbedaan materi baru dengan yang lalu yang telah dikuasai peserta didik. Terakhir adalah konsolidasi, yaitu guru memberikan pemantapan terhadap materi belajar terhadap materi yang lalu agar peserta didik mudah untuk mempelajari materi belajar selanjutnya.
H. Pembelajaran Menurut Aliran Kognitivistik Jeromde S. Burner Jerome Bruner adalah salah satu pemikir terkenal dalam dunia pendidikan, terutama yang berkaitan dengan pendekatan kognitivisme Cognitive approach). Bangunan teoretik yang dikembangkan oleh Bruner pertama kali dikenal oleh masyarakat luas karena pemikirannya mengenai pendidikan sangat provokatif dan kontroversial. Dikala masyarakat dunia tengah mendambakan seorang Jean Piaget yang mengusung konsep psikologi pendidikan, kedatangan Bruner mengundang simpati banyak orang karena pemikirannya yang mengulang kembali konsep Piaget di satu sisi, dan menolak apa yang telah dipahami sebagai metode kognitiv di sisi lain. Bagi Bruner perkembangan kemampuan daya pikir bergantung pada dua kompetensi yang membangunnya.
Pertama ia sebut sebagai representasi (representation) merupakan regulasi dasar dalam lingkungan dan integrasi (integration) yang dilihat sebagai transendensi daya ingat masa lampau kemudian ditransformasikan ke masa depan. Pengembangan komptensi intelegensia ini digunakan untuk membuahkan terobosan baru atau inovasi yang dimanfaatkan sebagai bentuk prototipe dari agen kultural guru, orang tua. Dasar teori dimana ia diposisikan sebagai pengikut Piaget (Piagetian) terlihat dari tiga konsep yang ia tulis dalam The Course of Cognitive Growth. Dalam buku tersebut terdapat tiga konsep pengembangan intelektual, yakni enaktif, ikonik, dan simbolik. Untuk yang pertama, representasi enaktif ini berkenaan dengan tindakan siswa dalam mengamati sekaligus menjadikan. objek yang ia lihat sebagai fakta empirik. Pada tahap ini siswa, sesuai dengan semangat kognitiv, dituntut untuk mampu menggunakan daya imajinasinya agar objek tersebut bisa ditangkap sesuai dengan kapasitasnya.