Seringkali kita temui kejadian kejadian terorisme dan pengeboman, tidak bisa kita elakan bahwa pelaku terorisme tersebut berasal dan memeluk agama tertentu, lalu kita mengklaim dan berargumen bahwa kelompok agam tersebut mengajarkan sesuatu kekerasan seperti aksi terorisme tersebut terhadap kaum agama lain. Pandangan ini keliru karena data yang di himpun tidak berdasarkan data actual hanya simpulan bias terhadap agama tertentu, pertanyaanya apakah benar agama tersebut mengajarkan kekerasan? Apakah pemeluk agama tersebut selalu melakukan kekerasan terhadap orang beragama lain? jika tidak bisa menjawab pertanyaan pertanyaan mendasar tersebut maka klaim tersebut adalah cacat atau salah.
Conspiracy Teory
Seringkali kita menemui teori teori konspirasi mengenai sebuah kejadian, seperti Covid-19 merupakan akal akalan para antek global untuk memusnahkan manusia dan melancarkan bisnisnya. Hal seperti ini bisa saja benar dan bisa saja salah. Klaim tersebut bisa benar ketika kita bisa membuktikan data data yang pendukung seperti siapa saja antek global tersebut? Lalu bagaimana cara mereka membuat virus tersebut? Apakah klaim tersebut sudah di verifikasi oleh organisasi global seperi PBB atau WHO? Jika tidak ada bukti dan penjelasan pendukung maka klaim tersebut cacat dan salah, namun tak jarang kita temukan orang percaya kepada sesuatu yang berbau konspirasi.
Persoalannya bukan terletak pada keyakinan akan ada atau tidak adanya persekongkolan, tapi pada soal apakah persekongkolan itu benar-benar terjadi atau tidak
Fallacy of scapegoating
Kesallahan berpikir ini sering terjadi di kehidupan sehari hari kita. Misal kita beranggapan bahwa negara kita tidak maju karena penduduk yang beragama islam memliki SDM yang rendah, kurang maju. Sehingga kualitas SDM kita terbelakang. Hal ini cacat secara logika karena kita mengkambing hitamkan sesuatu yang tidak masuk akal. Atau contoh lain ketika kita melakukan kesalahan lalu kita menyalahkan setan karena menghasut. Pemikiran seperti itu sering kita jumpai
Fallacy Of Reification
Sesuatu yang abstrak tak bisa kita perlakukan sebagai sesuatu yang konkret. Sebagai contoh ada pernyataan bahwa “pentingnya pendidikan, karena pendidikan yang akan mengubah kehidupan kita.” Argumen ini secara logika salah, karena pendidikan merupakan sesuatu yang abstrak. Karena pendidikannya itu sendiri hanyalah makna abstrak yang dikreasikan oleh nalar kita, bukan sesuatu yang konkret yang memiliki realisasi di alam nyata. Contoh lain “Cinta ini telah membuat aku buta”, sebagai sebuah gombalan itu sah sah saja, tetapi dalam sudut ilmu logika hal ini merupakan sesuatu yang keliru.
Fallacy Of The Consequent
Dalam logika kita mengenal sebuah proposisi katagoris dan proposisi hipotesis, proposisi katageris terdiri dar subjek dan predikat Seperti “Muhammad adalah seorang nabi. Sedangkan proposisi hipotetsis kita mengenal istilah antecedent dan consequent. Yang perlu kita pahami ialah, dalam proposisi hipotesis bergerak dari antecedent menuju consequent. Contoh “Jika Riyan adalah orang yang baik (Antecedent), maka riyan tidak pernah berbohong(Consequent)”. Hal ini menjadi salah ketika kita membalik dari consequent ke antecedent contoh “Jika riyan tidak pernah berbohong, maka dia pasti orang baik”.
Meaningless question
Suatu pertanyaan dikatakan tidak bermakna kalau dari balik pertanyaan itu tersimpan cara berpikir yang keliru hingga kalau dijawab hanya akan menghasilkan jawaban yang sama-sama keliru. Contoh ada sebuah pertanyaan “Apa yang tuhan lakukan sebellum menciptakan alam semesta?”. Pertanyaan seperti ini salah meskipun terlihat kritis. Kata “sebelum” dan “sesudah” merupakan konsep keberwaktuan. Sementara waktu hanya ada dengan adanya alam. Alam tiada maka tidak ada waktu. Sehingga akar dari pertanyaan tersebut merupakan sesuatu yang cacat.
Jika Sesuatu yang dilontarkan sudah salah, maka hasinya juga akan salah