Setengah abad lebih telah berlalu. Tepatnya, pada tahun 1962, Indonesia pernah menjadi tuan rumah Asian Games. Kini, Indonesia kembali menyandang gelar tersebut pada perhelatan Asian Games 2018, sejak diumumkan di Incheon, Korea Selatan pada Asian Games 2014.
Jakarta - Palembang. Dua kota besar yang akan menjadi saksi bisu perjuangan atlet seluruh penjuru Asia, menjadi pengingat suksesnya pesta olahraga Benua Kuning di Indonesia.
Penyelenggaraan Asian Games bertepatan pada Bulan Kemerdekaan Indonesia. Kibaran Bendera Merah Putih akan mewarnai seluruh penjuru kota. Harapan pun tersemat untuk para atlet nasional di hari penting Bangsa Indonesia. Jutaan "semoga" dilantunkan masyarakat untuk Tim Indonesia agar memperoleh hasil terbaik di perayaan 73 tahun Indonesia.
Tepat 31 Juli 2018, waktu magang saya berakhir di salah satu media cetak terbesar di Kalimantan Timur yakni Kaltim Post. Kebetulan, selama magang saya berada di rubrik olahraga. Beberapa hal mengenai perkembangan Asian Games bisa saya bagi di sini.
Sebelas cabang olahraga (cabor) di Asian Games yang pernah saya liput kala magang lalu, yaitu sepatu roda, gulat, anggar, hockey, squash, taekwondo, dayung, layar, pencak silat, soft tenis, dan balap sepeda. Sebelas cabor tersebut sudah menjalani berbagai try out dan kejuaraan menjelang mega kompetisi Asia ini.
Pelatihan nasional (pelatnas) sudah dilakukan sejak setahun terakhir. Pemusatan latihan dilakukan tiap cabor untuk menunjang kesiapan atlet. Latihan fisik dan teknik terus diemban atlet Merah Putih. Sparring juga kerap dilakukan para pelatih . Pengurus besar setiap cabor pun selalu mengawasi peningkatan kualitas para atlet.
Memang, Asian Games membutuhkan atlet tangguh nan berkualitas. Demi sebuah medali untuk Indonesia, para atlet bekerja keras dalam hal berlatih.
Tak hanya itu, ada saja bumbu-bumbu pengorbanan yang harus ditaburkan. Salah satu atlet pelatnas cabor soft tenis pernah mengatakan kepada saya, "capek sih mbak, harus setiap hari latihan dengan intensitas tinggi. Tapi ini kesempatan berharga buat saya. Jadi, saya melakukan yang terbaik. Bukan hanya saya yang bangga nanti, tapi Indonesia".
Ada pula atlet gulat yang menceritakan masa try out nya di Bulgaria ketika Bulan Ramadan lalu. Dia hanya bisa berpuasa ketika hari minggu saja. Kenapa? Karena hanya hari itu dia libur latihan. Intensitas yang lumayan menguras keringat dan tenaga mengalahkan ketahanan puasa atlet tersebut. Dan dia pun harus berlebaran dengan atlet gulat Indonesia lainnya di sana.
Ada pula atlet pencak silat yang harus meninggalkan istri dan keluarganya selama hampir setahun. Hanya menjelang lebaran kemarin dia bisa menjejakkan kakinya di kampung halamannya.
Ada pula yang harus menahan rasa irinya ketika melihat seperjuangannya bisa konsisten melakukan yang terbaik saat latihan dan memiliki daya tahan tubuh yang selalu baik. Kemudian bisa masuk dalam daftar pemain inti saat pertandingan, bukan pemain cadangan. Namun, atlet itu pernah berkata, "Tak apa mba. Saya berada di pelatnas saja sudah membuat saya bangga".
Banyak pengorbanan yang dilakukan para atlet demi performa terbaik di Asian Games 2018. Banyak perasaan yang harus ditempa untuk tetap berada di pelatnas. Terlepas dari itu semua, tak ada hal yang sia-sia bukan? Usaha tak pernah mencumbui hasil.
Namun bagaimana atlet yang gagal masuk kualifikasi pemain inti? Atau yang hanya bertahan hingga seleksi pelatnas saja? Mereka juga sudah berusaha? Apakah perumpamaan "usaha tak pernah menghianati hasil" itu berlaku?
Ya tentu saja. Mungkin usaha mereka yang belum berkesempatan emas tersebut tidak lebih banyak dibandingkan mereka yang lolos. Mungkin doa yang dipanjatkan tidak bersungguh-sungguh. Mungkin niatnya kurang baik sehingga Tuhan tidak mengizinkan.
Tugas kita sekarang adalah mari kita selalu mendoakan atas perjuangan yang dilakukan para atlet Indonesia. Karena, kejuaraan atlet di pesta olahraga tersebut akan menambah jejeran prestasi Indonesia di mata dunia. Semoga Tim Indonesia bisa berlaga dengan hasil yang memuaskan.
Lain pula dengan antusias masyarakat Indonesia. Tak bisa ditampik, semua elemen masyarakat turut merasakan euforia Asian Games. Kehebohan dari mengadakan tari poco-poco massal menyambut Asian Games hingga lagu Via Vallen "Meraih Bintang" bertemakan Asian Games selalu menggema di setiap sudut kota.
Kobaran semangat dari masyarakat pribumi terus menggaung di langit-langit kota. Hal ini pun menyalurkan semangat para atlet untuk melakukan terbaik dan terbaik.
Berharap Tim Indonesia bisa memboyong medali untuk bangsa tercinta. Padahal, bukan kita yang akan bertanding nanti, namun rasa haru dan bangga menyeruak di setiap hati masyarakat Indonesia.
Terkait venue pertandingan, kesimpulan yang bisa saya berikan di sini sesuai berita terupdate dari kompas.com, yakni sudah mencapai 95 persen untuk keseluruhan venue. Jelang kurang dari seminggu menuju perhelatan akbar Asian Games 2018, beberapa venue dikabarkan belum juga rampung. Namun, para pekerja menjanjikan untuk diselesaikan segera. Penyiapan perlengkapan terus dilakukan di masing-masing venue cabor. Hal ini diupayakan agar atlet Indonesia dapat terlebih dahulu beradaptasi dengan venue baru.
Membahas dana dalam Asian Games memang cukup krusial. Mengingat pembangunan venue dan penataan kedua kota, Jakarta-Palembang mengucurkan dana yang tidak sedikit.
Dilansir dari kompas.com, Panitia Penyelenggara Asian Games 2018 atau INASGOC, menunggu kepastian anggaran tambahan pada 2018 sebesar Rp 1,1 triliun dari alokasi anggaran dalam APBN 2018 sebesar Rp 1,8 triliun. Tambahan anggaran itu dibutuhkan untuk memenuhi pembayaran uang muka sewa arena pertandingan dan uang muka persiapan upacara pembukaan dan penutupan Asian Games.
Beberapa info atlet yang pernah saya wawancarai ketika magang pun hingga kini uang saku atlet belum juga diterima. Namun, ditengah himpitan dana ini, atlet tetap berlatih keras demi citra bangsanya, Indonesia.
Selepas perhelatan mega kompetisi ini, saya harap pemerintah tetap memperhatikan atlet-atlet yang telah berjuang untuk bangsanya.
Dalam perjalanan saya selama magang, saya bertemu dengan pelatih dan atlet berprestasi yang undur diri dari dunia olahraga. Alasannya? Karena keberhasilan saat pertandingan hanya dihargai ketika kompetisi tersebut. Selepas pertandingan, dilupakan. Tak ada tambahan bonus atau beasiswa dari hasil besar yang diraih.
Juga, jangan pernah berkata bahwa atlet yang membela Indonesia itu selalu berharap bonus dari pemerintah. Di Asian Games ini saja, sudah berapa banyak keringat yang ditumpahkan, berapa banyak waktu yang seharusnya digunakan untuk menuntut ilmu, namun ditangguhkan, berapa banyak momen ditinggalkan bersama keluarga, berapa banyak hal di dunia ini diabaikan, karena titik fokusnya beralih.
Hanya demi sebuah medali untuk bangsanya. Hal-hal yang dikorbankan para atlet tidak bisa diuangkan sebenarnya. Mereka hanya butuh dihargai, bahkan setelah kompetisi itu selesai.
Tugas kita kini ialah, doakan mereka yang berjuang untuk Indonesia dengan segala pengorbanan yang sudah mereka lakukan.Â
Jika 73 tahun yang lalu "Pahlawan" ialah dia yang berperang dengan bambu runcing lalu berteriak merdeka, maka kini definisi tersebut sudah berubah. Pahlawan masa kini adalah dia yang berperang dengan kampuan dan bakatnya demi Bangsa Indonesia.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H