Kala itu, setelah menempuh 85 kilometer, aku berhenti di tepi jalan. Sebuah jalanan sepi yang tiada siapapun kecuali kami, hujan, dan petir yang menyambar. Beliau turun dan berkata kalau sudah sampai tujuan. Lalu, mempersilahkanku melanjutkan perjalanan. Sendirian. Beliau hanya tersenyum, lalu bilang,
"Lain kali jangan pulang malam-malam lagi ya, anak bandel! Lanjutkan perjalananmu! Tak usah khawatir, ayah selalu menjagamu dari kejauhan. Pemberanikan? :)"
"Ayah..?"Â
Ternyata prasangkaku benar. Lelaki paruh baya itu bukan sembarang orang.Â
"Ayah tunggu! Tapi aku ingin ikut bersamamu! Ayah tungguuu!!"
Aku gusar tak karuan. Air mataku mengucur deras bak banjir bandang. Sesak. Sungguh sesak luar biasa. Pikiranku buyar. Tak tahu arah pulang. Tak mau ditinggal sendirian.Â
Akupun berlari. Meninggalkan sepeda motor yang tak lagi kinclong karena terciprat genangan air hujan. Mengejar laki-laki paruh baya yang tak kutahui namanya dan ternyata sosok yang kucinta. Aku berlari. Terus berlari.Â
"Ayah tunggu!!"Â
Sekencang kencangnya, secepat-cepatnya, aku berlari.
Hingga akhirnya,
BRAKKKKK