Mohon tunggu...
Cerpen Pilihan

Cerpen | Hujan, Terima Kasih

15 Januari 2017   16:50 Diperbarui: 15 Januari 2017   18:09 709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Aku tidak takut!" 

Teriakan hati milik mahasiswi psikologi itu terdengar begitu lantang. Ia memang ingin bertutur tegas kepada penduduk bumi yang kala itu sedang bersembunyi di bawah atap yang nyaman, pun di atas kasur yang empuk. Menegaskan bahwa guyuran hujan, teriakan petir, pun sambaran kilat, bukanlah misbehavior of earth yang layak untuk ditakuti. "Mereka turun ke bumi untuk menantang. Dan hanya jiwa-jiwa pemberanilah yang akan merasa tertantang," tegasnya pelan----di dalam benda kecil bernama hati.

"Aku tidak takut! Aku akan tetap pergi!" Gaungan hati milik perempuan ber-ransel hitam itu kembali menggelegar. Makin keras. Makin tegas. Ia memang keras kepala. Lagi-lagi ia ingin bertutur tegas kepada makhluk-makhluk yang pada saat itu sedang berselimut, bahwa derasnya hujan, kerasnya petir, pun bengasnya kilat, bukanlah alasan untuk tetap berteduh di balik selimutnya yang tebal dan empuk. Ya, sore kemarin, perempuan rantau itu kembali ber-ulah. Perempuan rantau itu, ... ah sebut saja dia, 'aku'.

Sore kemarin. Saat embusan angin senja memercikkan air langit yang hendak membasahi tanah Tembalang. Saat jiwa-jiwa sang perantau menelingkup di balik selimut tebal nan empuk, menyambut virus kantuk yang tiba-tiba menusuk sebab terang tak kunjung datang. Saat-saat itulah aku, si perempuan berjaket merah, ber-ransel hitam, penenteng tas cangkingan berisi beberapa buku (cerita roman :v), berdiri di depan pintu yang bertuliskan "kamar 304 Graha Larasati) dan berucap lantang, "Bu, kini kupenuhi janjiku. Aku pulang! Tak peduli, meski bumi sedang tak karuan."

Sekali lagi kulirik seisi kamar--memastikan tidak ada yang tertinggal, lalu mengunci pintu, dan turun menuju lantai dasar. Dug. Langkahku terhenti di suatu ruangan luas berisikan 17 kendaraan roda 2 berjenis matic. Tak selang lama, salah satu kendaraan bernama oiraV, berwarna merah merona, dan berbody ramping, melambaikan tangan ke arahku. Rupanya ia telah siap bertamasya ria dengan pemiliknya. Akupun segera mendekat. Membunyikan mesinnya, memberinya kesempatan untuk melakukan pemanasan semenit saja, lalu bergegas tancap gas. Ya, tepat pukul 05.30 pm aku meluncur ke jalanan. Berbaur bersama hujan. Asik kan? 

Musim penghujan memang menyebalkan bagi mereka yang hobinya motoran. Tapi tidak dengan perempuan pembuat onar ini (penulis mengajungkan tangan :v). Kau tahu? Dulu aku sempat dikeroyok habis-habisan oleh angin kencang, hujan lebat, pun gelap malam. Terlunta-lunta dijalanan karena satu-satunya jembatan pengantarku ke tujuan (rumah) tidak bisa dilewati. Para rider kebanjiran. Pun kebingungan mencari jalan agar sampai ke tujuan. Dan alhasil, sampai rumah aku jendindilan---(semacam penyakit tak butuh obat yang diakibatkan oleh kedinginan akut dan bisa sembuh kalau ada selimut :v). Dan kau tahu, dimana letak ke-onar-anku? Aku membuat semua orang kesakitan. Teridap penyakit khawatir yang tak ketulungan. Ahh barangkali mereka yang terlalu lebay memaknai kehilangan, atau aku yang kelewatan? Toh aku tak lantas hilang kan? Toh aku masih selamat sampai tujuan. Tak terbawa badai yang menghantui saat masih di jalanan. Hmmm
Dan kamu tahu? Sore kemarin, aku mengulanginya. Kembali pulang dengan hujan dan gelap malam. Berharap di tengah perjalanan langit akan terang benderang, sehingga banjir kala itu tak akan terulang. 

Haha. Aku suka. Sangat suka. Berkendara sendirian. Kala malam. Bersama hujan. Asik kan?

Butiran air langit yang menemaniku di awal perjalanan memang tidak terlalu deras. Hanya gerimis, yang sesekali lebat. Aku masih bisa menyetir santai sambil satu/dua kali melirik ke kanan dan kiri. Menikmati suasana Tembalang di kala senja, untuk terakhir kalinya---sebelum angka tahun bertambah usia.


Di sepanjang jalan, sembari menonton apa-apa yang ada di jalanan, aku mencoba mengkondisikan pikiran agar tak tersangkut-sangkut. Tapi sialnya, usahaku menonton pikiran selalu saja gagal. Berkali-kali kucoba mengkondisikan pikiran-pikiran yang berdatangan layaknya iklan. Membiarkan mereka datang, mampir sebentar, lalu kembali pulang. Tapi usahaku sia-sia. Sebuah pikiran bernama was-was meraung-raung tak mau pulang. Ya, aku memang sedikit was-was. Kepikiran kalau di tengah perjalanan, hujan menjadi lebih lebat dari yang kubayangkan. Sedangkan aku hanya berbekal jaket angkatan warna merah yang tebalnya tak sampai satu senti. Jas hujan? Haha. Sempat terpikir dalam benak untuk  mampir ke toko, membelinya. Tapi karena uang lembaran di dompet tinggal beberapa biji---habis untuk belanja di Gramed kemarin, jadi kuputuskan untuk tidak jadi beli. Haha. Tapi kewas-wasanku itu tidak berlangsung lama. Sebab tak lama dari itu, pikiran-pikiran baru  bermunculan, mendesak pikiran bernama was-was untuk keluar. Tepatnya, ketika terdengar suara merdu milik para muadzin---mengumandangkan adzan maghrib.  Bersaut-sautan antara surau satu dengan surau lainnya. Aku pun memperlambat laju kecepatan (agar tidak kualat saat di jalan ---EHH:v). 

Embusan angin senja yang terasa adem sekali, dibarengi lantunan suara merdu milik muadzin yang entah siapa, membuatku terbawa suasana. Suasana itu membawa pikiranku untuk mundur beberapa langkah kebelakang. Mengingat-ingat perbincangan hangat yang terjadi beberapa waktu lalu di suatu majelis ilmu. Pada perbincangan itu, aku dan beberapa anggota majelis lainnya mengikrarkan sebuah janji. Kami berjanji untuk membiasakan diri menikmati adzan. Kami berjanji untuk berhenti dari aktivitas apapun setiap kali mendengar suara adzan. Lalu meresapi setiap lantunannya, pun mengkondisikan diri untuk berada dalam keadaan mindfulness---{Kondisi dimana Anda memiliki kesadaran penuh dan atensi yang tinggi atas apa yang Anda alami, rasakan, pikirkan, pun hal-hal yang terjadi di sekeliling Anda, pada suatu waktu (Zahra, 2017).}

“Jika kalian mendengar mu-adzin, maka ucapkanlah sebagaimana yang ia ucapkan. Kemudian bershalawatlah untukku. Karena barangsiapa yang bershalawat untukku sekali, maka dengannya Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali. Kemudian mintalah al-wasilah kepada Allah untukku. Ia adalah sebuah tempat di Surga yang tak diraih kecuali oleh seorang hamba di antara hamba-hamba Allah. Dan aku berharap ia adalah aku. Barangsiapa memintakan untukku wasilah kepada Allah, maka dia layak mendapat syafa’atku.” -Rasul SAW

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun