Mohon tunggu...
Cerpen Pilihan

Cerpen | Hujan, Terima Kasih

15 Januari 2017   16:50 Diperbarui: 15 Januari 2017   18:09 709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jikalau itu yang disebut cinta, cinta dari seorang laki-laki biasa, maka ketahuilah,
Cinta itu sungguh menguras kalbu. Menyulam hatiku dengan rindu. Rindu menggebu, kala si putri kecil tak bisa lagi bertemu (dengan lelaki paruh baya itu). Sungguh, cinta itu benar-benar menyuras hatiku.

Hatiku? Ya. Sebut saja putri kecil itu "aku". Dan lelaki paruh baya itu.. ... anggap saja dia, ayahku.
Ayahku yang sungguh menyayangiku. 

Ayahku, yang sangat benci melihat putri kecilnya kehujanan, sendirian, di kala malam.

***

Aku suka. Sangat suka. Berkendara sendirian. Kala malam. Bersama hujan. Asik kan?

Taman Cinta.
Itulah mengapa; aku suka berkendara saat hujan. 

Ya, aku sangat suka hujan. Hujan memberiku ruang untuk meluapkan rindu. Leluasa meluap, tanpa seorangpun tahu, bahwa yang mengalir membasahi pipi ialah air yang bermuara dari rindu. Dari mata hatiku. Bukan air hujan dari langit itu. Karena itulah mengapa aku suka hujan. Sebab hujan menenangkan. Sebab hujan memberi kesejukan----pada tiap hati yang kehausan. 

***

Aku suka. Sangat suka. Berkendara sendirian. Kala malam. Bersama hujan. Asik kan?

Embusan angin yang makin lama makin kencang, diiringi suara petir yang membisingkan pendengaran, membuat suasana jalan Pantura semakin mencekam. Aku mulai menggigil. Tubuh sudah penuh dengan air. Tak menyisakan setitik ruang pun yang kering. Ingin menepi, berteduh menghangatkan diri, tapi tak jadi. Lagipula untuk apa? Toh perjalanan masih panjang. Bumi Kartini masih 75 kilo meter lagi. Suhu tubuh yang terasa sudah berada di minus sekian derajat celcius pun tak akan bertambah naik bila kutepikan kendaraanku untuk berteduh.
"AKU KUAT. AKU HEBAT! AYO SEMANGAT!" teriakku dalam hati, menyemangati raga yang kian mengkerut pun kulit yang kian keriput---karena kedinginan.

Aku meneruskan perjalanan. Kupercepat laju kendaraan, tapi dengan penuh kehati-hatian. Kecelakaan yang kusaksikan di jalanan yang kulewati beberapa kilo meter sebelumnya, cukup membuatku trauma dan jauh lebih waspada. "Oh God.. aku tak mau jatuh konyol seperti pemuda itu," gerutuku seraya menguatkan tubuh yang ingin pingsan karena kedinginan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun