Setidaknya diperjalananku kali ini, bukan hanya dingin yg kudapatkan. Melainkan kesadaran bahwa ada yang lebih nikmat dari mendengarkan musik saat sedang dijatuhcintakan. Yaitu MENDENGARKAN & MENIKMATI ADZAN, saat berkendara, di kala senja, bersama hujan. Sungguh! Percayakan? :D
***
Aku suka. Sangat suka. Berkendara sendirian. Kala malam. Bersama hujan. Asik kan?
Berkendara di malam hari memang mengerikan bagi sebagian orang. Seperti suasana di jalan yang kulalui setelah seperlima perjalanan. Jalan itu memang bukan jalan raya. Pantas saja, jarang ada kendaraan roda 6 yang melaju di atasnya. Tapi suasana seperti itu sangat menguntungkanku. Aku jadi bisa lebih leluasa berkendara. Menambah laju kecepatan pun bisa dihukumi aman-aman saja.Â
Sembari membiarkan roda motor bergelinding dengan laju yang sedikit lebih cepat, aku membiarkan pikiranku berkelana. Ia berkelana ke Taman Cinta. Tak jauh berbeda dengan tempat yang kukunjungi di perjalananku sebelumnya. Entah mengapa, tiap kali aku berkendara sendirian, pikiranku selalu saja melesat ke sebuah taman bernama Cinta. Padahal aku tahu persis, Â pada akhirnya aku akan terluka. Sebab ada rindu di dalamnya. Rindu yang membuat memar ulu hati. Membuat nyeri tak kunjung berhenti. Tapi tetap saja, tiap kali aku berkendara, imajinasiku selalu saja tak pernah bosan mengunjunginya. Entahlah, mengapa.Â
***
Tempat itu bernama Taman Cinta. Taman megah yang hanya dihuni oleh 2 manusia biasa. Seorang putri kecil manja dan seorang lelaki paruh baya yang bijaksana. Mereka memang hanya berdua saja. Tapi tawa putri kecil itu tak pernah ada habisnya. Rupanya, lelaki paruh baya itulah sumber bahagianya.Â
Pernah suatu hari, sang putri kecil pergi meninggalkan taman. Ia pergi mengelilingi jagat raya untuk bertamasya, bersama teman-temannya. Bahagia luar biasa pun terpancar di parasnya. Pasalnya, itu kali pertama ia pergi dari istana seorang diri. Bukan hanya pergi ke seberang jalan, tapi ke beberapa kota nan jauh di sana. Tempat demi tempat ia kunjungi. Menyusuri desa, hingga kota. Menapaki jalan sempit menghimpit, hingga jalan raya yang luar biasa luasnya. Dan di perjalanan itu lah ia menyadari bahwa dirinya sudah beranjak dewasa. Bukan lagi menjadi gadis kecil nan manja.
Setelah puas bertamasya, ia pun bertekad untuk menjadi pribadi mandiri. Ia memberanikan diri untuk meminta izin kembali ke taman seorang diri. Ia tidak ingin lelaki paruh baya itu kerepotan menjemputnya. Ia ingin pulang sendiri. Seorang diri. Akan tetapi permintaan izinnya tak diterima. Lelaki paruh baya yang setengah mati mencemaskannya itu, benar-benar tidak tega membiarkan sang putri kecil menempuh perjalanan jauh tanpa ada yang mendampingi. Ia takut putrinya kenapa-napa. Ia takut kalau putri kecil itu kedinginan di jalan, kelelahan, pun kalau-kalau tersesat dan tak tahu jalan pulang. Ya, lelaki paruh baya itu memang sangat mencintai sang putri kecil. Ia tetap saja menjadi bayang-bayang tiap kali putri kecilnya pergi, meski putri kecil itu berkali-kali bilang bahwa dirinya bukan anak kecil lagi.Â
Sang putri kecil sudah beranjak dewasa. Tapi lelaki itu tetap saja mengikuti tiap langkahnya.
Atau barangkali itu yang namanya cinta?
Cinta dari laki-laki biasa untuk buah hatinya-kah?