Mohon tunggu...
Dew
Dew Mohon Tunggu... Lainnya - Orang biasa.

Halo!

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Dilema Si Perempuan Sulung

7 Januari 2022   19:29 Diperbarui: 8 Januari 2022   03:29 525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dilema perempuan sulung | Sumber:  freepik.com

Siapa pun, sebagai anak punya tanggung jawab yang melekat kepada diri mereka masing-masing. 

Tanggung jawab tersebut kebanyakan bersumber dari ajaran orangtua di dalam rumah yang bertumpu pada agama dan lingkungan sosialnya.

Bagi saya ada 2 pandangan yang melekat kepada anak yang dampaknya tidak menyenangkan bagi saya secara pribadi. 

Dua hal tersebut adalah pembedaan antara peran perempuan dan laki-laki, dan beban mengambil alih peran orangtua.

Bukan soal kuno atau modern, karena pemikiran yang baik seharusnya tak ada sangkut pautnya dengan dimensi waktu.

Kami 3 bersaudara mengerjakan kebutuhan kami masing-masing, segala sesuatu yang menyangkut urusan kamar adalah urusan pribadi, dan yang kami kerjakan di luar rumah adalah tanggung jawab kami masing-masing. Begitu prinsip yang kami terapkan.

Setidaknya itu yang bisa kami lakukan untuk menjaga diri kami masing-masing dan tidak membuat yang lain terbebani. Karena kami punya tujuan masing-masing. Menjaga dan mengurus diri sendiri adalah cara kami mendukung apa yang dikerjakan yang lainnya.

Lain hal dengan urusan dapur, kami biasa membagi tugas menyangkut hal tersebut.

Dalam konsep berpikir kebanyakan orang di sekeliling, menjadi laki-laki itu cukup giat belajar dan bekerja maka sudah dapat predikat laki-laki baik, nilai plus bagi laki-laki yang bersedia mencuci pakaiannya sendiri atau mencuci piring, mungkin sebutannya bukan lagi laki-laki baik, melainkan malaikat.

Kalau dibilang iri, ya iri sekali.

Boro-boro dipuji ketika menjemur pakaian ketika subuh, sudah membersihkan halaman dan kebun dengan parang saja masih diberondong dengan tuntutan lainnya. Belum lagi tuntutan untuk menjadi 'tulang punggung'.

Rasanya hal 'kecil' yang dilakukan tak pernah jadi hitungan, sekedar jadi 'kewajaran'.

Bukan haus apresiasi, saya hanya iri.

Sebab ketika anak laki-laki membuka gentong beras untuk memasak nasi, anak perempuan yang dimarahi. Ketika anak laki-laki mencuci pakaiannya sendiri, anak perempuan yang disindir. Ketika ada orang bertamu, anak perempuan yang dipanggil untuk menyeduhkan kopi.

Tak tahu kenapa terkadang saya merasa dilecehkan ketika disuruh menyeduh kopi, meskipun tidak selalu, tergantung pada cara orang yang meminta. Bukan hanya di rumah, di kantor pun demikian. 

Di kantor lama saya kerap diminta menyeduhkan kopi. Barangkali sebagai pegawai termuda dan job desk yang memang hanya padat pada waktu-waktu tertentu, padahal saya tak pernah mencantumkan keahlian menyeduh kopi dalam CV.

Sampai-sampai ada orangtua yang ingin menjodohkan anaknya perihal menyeduh kopi.

Saya kira nilai perempuan tidak bisa diukur dari rasa kopi yang dibuat atau caranya menyuguhkan kopi. Bisa jadi lebih baik, bisa juga jauh tak sebanding dengan rasa kopinya.

Belum lagi disiuli orang dipinggir jalan, kok rasanya saya rendah sekali.

Sementara ketika perempuan 'hanya' duduk berjam-jam menghadap meja yang berserak buku, mimik mereka seperti keanehan, seperti sedang melakukan hal yang tak ada gunanya, 'ngapain sih, repot-repot baca buku', sampai pernah juga ditegur karena hal itu. 

Buat saya pandangan bahwa bersih-bersih dan memasak merupakan tanggung jawab perempuan adalah pandangan yang keliru. 

Sebab kalimat 'kebersihan sebagian dari iman' adalah untuk manusia secara keseluruhan, tidak spesifik untuk perempuan.

Kebanyakan orang selalu bicara hak dan kewajiban. Memutlakkan peran laki-laki adalah A, peran perempuan adalah B, peran kakak adalah A, peran adik adalah B. Padahal pembicaraan mengenai hak dan kewajiban selalu jadi hal yang melelahkan. 

Perdebatan soal hak dan kewajiban juga seringkali sampai kepengadilan. Kenapa membicarakan hal yang melelahkan sementara peran bisa disesuaikan?

Bagi kami bertiga ini soal berbagi peran, 'lakukan yang bisa dan sedia kamu lakukan' bukan wajib dan hak. Kalau ternyata adik laki-laki saya jauh lebih pandai memasak dan ia senang mengerjakannya, kenapa mereka harus makan makanan yang monoton setiap harinya hanya karena 'itu kewajiban perempuan'?

Kemudian argumennya malah lari pada "bagaimana kalau suatu hari kamu berumah tangga?"

"Rumah tangga saya, biar jadi obrolan saya dan pasangan. Hal-hal yang perlu kami lakukan dalam rumah tangga kami, biar jadi obrolan kami."

Hal lain yang menjadi ketidaksetujuan saya dengan pandangan sekeliling adalah membebankan kebutuhan yang lebih muda kepada yang lebih tua.

Yang satu ini lagi-lagi praktikal, tergantung keadaan. Ketidaksetujuan saya bukan terletak pada membantu satu sama lainnya, tetapi pada penempatan sikapnya, sikap tersebut seharusnya ditanamkan sebagai kesadaran, bukan kewajiban. Sebab kewajiban dan tuntutan selalu terasa memberatkan.

Bukan 'kamu harus mampu menggantikan ibu atau ayah', atau 'kamu harus cepat lulus, cepat bekerja, supaya bisa membiayai adik',

tetapi 'kalian satu sama lain harus saling menjaga'. Saya rasa pesannya cukup demikian, bagaimana cara kami menjaga satu sama lain, biar kami yang menentukan. Instruksi berlebihan terkadang malah dapat menyiratkan ketidakpercayaan, padahal kami, anak-anak, percaya pada nilai-nilai yang ditanamkan orangtua.

Hal lain yang perlu dipahami keluarga adalah yang lebih tua tidak selalu lebih tangguh dan lebih unggul, dan yang lebih muda tidak selalu lebih lemah.

Ketika segala sesuatu mulai tidak berjalan lancar, ada saran-saran dari keluarga yang menyiratkan permintaan untuk menyerah. 

Kalimat "kamu harus menjadi pengganti ibu", rasanya sulit dimaknai sebagai kalimat penyemangat, justru malah menjadi kalimat paling menyinggung yang diucapkan orang.

Bahkan ketika berbincang mengenai rencana hidup dengan temanpun, pertanyaan yang muncul adalah "lalu adik-adik bagaimana?" seolah rencana tersebut akan menghambat mereka. Padahal keyakinan saya, mereka mampu mengurus diri mereka sendiri dengan lebih baik, mereka mampu berkembang sendiri sembari saya mengerjakan urusan sendiri.

Kami tak perlu saling mengurus, kami hanya perlu saling mendukung.

Poin saya bukan pada pergeseran peran, perempuan harus membaca dan laki-laki harus mulai memasak, atau melepaskan diri dari 'tanggung jawab' yang melekat, bukan demikian, tetapi siapa pun, laki-laki atau perempuan, punya hak menentukan apa yang ingin mereka lakukan dan yang tidak ingin mereka lakukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun