Boro-boro dipuji ketika menjemur pakaian ketika subuh, sudah membersihkan halaman dan kebun dengan parang saja masih diberondong dengan tuntutan lainnya. Belum lagi tuntutan untuk menjadi 'tulang punggung'.
Rasanya hal 'kecil' yang dilakukan tak pernah jadi hitungan, sekedar jadi 'kewajaran'.
Bukan haus apresiasi, saya hanya iri.
Sebab ketika anak laki-laki membuka gentong beras untuk memasak nasi, anak perempuan yang dimarahi. Ketika anak laki-laki mencuci pakaiannya sendiri, anak perempuan yang disindir. Ketika ada orang bertamu, anak perempuan yang dipanggil untuk menyeduhkan kopi.
Tak tahu kenapa terkadang saya merasa dilecehkan ketika disuruh menyeduh kopi, meskipun tidak selalu, tergantung pada cara orang yang meminta. Bukan hanya di rumah, di kantor pun demikian.Â
Di kantor lama saya kerap diminta menyeduhkan kopi. Barangkali sebagai pegawai termuda dan job desk yang memang hanya padat pada waktu-waktu tertentu, padahal saya tak pernah mencantumkan keahlian menyeduh kopi dalam CV.
Sampai-sampai ada orangtua yang ingin menjodohkan anaknya perihal menyeduh kopi.
Saya kira nilai perempuan tidak bisa diukur dari rasa kopi yang dibuat atau caranya menyuguhkan kopi. Bisa jadi lebih baik, bisa juga jauh tak sebanding dengan rasa kopinya.
Belum lagi disiuli orang dipinggir jalan, kok rasanya saya rendah sekali.
Sementara ketika perempuan 'hanya' duduk berjam-jam menghadap meja yang berserak buku, mimik mereka seperti keanehan, seperti sedang melakukan hal yang tak ada gunanya, 'ngapain sih, repot-repot baca buku', sampai pernah juga ditegur karena hal itu.Â
Buat saya pandangan bahwa bersih-bersih dan memasak merupakan tanggung jawab perempuan adalah pandangan yang keliru.Â