Mohon tunggu...
Dew
Dew Mohon Tunggu... Lainnya - Orang biasa.

Halo!

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama FEATURED

Pernah Nyemplung dalam Skema Ponzi?

18 Maret 2021   12:00 Diperbarui: 19 Desember 2021   08:45 1827
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belakangan skema ponzi mulai ramai kembali diperbincangkan. Sebagian mungkin khatam dengan istilah ini, tapi ada juga yang mungkin tahu praktiknya tapi tidak familiar dengan istilah ini, sebagian lain mungkin keliru mempersamakannya dengan multi level marketing.

Sederhananya skema ponzi adalah sebuah model bisnis yang menjanjikan keuntungan besar tanpa risiko yang berarti dan dalam praktiknya member harus merekrut orang untuk ikut bergabung dalam bisnis tersebut, financial freedom, begitu yang dijanjikan. 

Semakin banyak merekrut orang maka semakin banyak pula keuntungan yang diperoleh, lalu pada titik tertentu, sebelum mencapai puncak, sebelum reputasi perusahaan menjadi semakin besar, perusahaan dengan skema ini menghilang setelah memperoleh keuntungan yang mungkin lumayan.

Beberapa dari kita mungkin tahu skema ponzi merupakan skema yang meraup keuntungan dari harapan member-membernya yang giat merekrut orang untuk bergabung, tapi kita mungkin bertanya-tanya, "contohnya yang mana, ya?" yang ingat mungkin hanya mereka yang punya pengalaman tak menyenangkan dengan skema ponzi, sepertiku.

Sedikit cerita soal keterlibatan dalam skema ponzi, bisa dikatakan aku cukup dekat dengan lingkungan seperti ini, familiar dengan multi level marketing sejak kecil, karena ayahku merupakan seorang member pada saat itu, beberapa kenalan juga terlibat aktif dalam multi level marketing, forex trading, criptocurrency, termasuk skema ponzi (sebelum tahu bahwa itu skema ponzi).

Mulai mengenal konsep multi level sendiri sejak tahun 2012, saat itu sedang booming multi level marketing dengan produk kesehatan (setidaknya di lingkunganku). 

Awalnya berencana bergabung dalam bisnis ini, sempat juga mengikuti prospek hingga berminggu-minggu (pada hari-hari tertentu), tapi pada akhirnya mengurungkan niat karena tak memiliki modal yang cukup untuk berinvestasi, kemudian mulai terlibat sekitar tahun 2016.

Sayangnya, bukan terjun dalam multi level marketing, aku malah kecemplung dalam skema ponzi.

Lain hal dengan multi level marketing, atau kita biasa menyebutnya dengan sebutan MLM yang memiliki underlying, ada produk yang diperjualbelikan, skema ponzi tidak memilikinya. 

Sehingga akan selalu ada pihak yang dirugikan dalam skema ponzi, terutama member-member yang baru masuk namun tak lama kemudian perusahaan tiba-tiba menghilang, tentu saja termasuk uang investasi member.

Keuntungan yang diperoleh dari skema ponzi merupakan uang investasi dari member sendiri yang diputarkan, sehingga berharap memperoleh keuntungan sementara tak ada member baru yang bergabung adalah sia-sia. Pada akhirnya member bontotlah yang paling dirugikan, jangankan memperoleh keuntungan, modal saja tak kembali.

Setidaknya ada dua jenis skema ponzi yang pernah kuikuti, dan tentu saja karena ini skema ponzi, meruginya pun dua kali.

Skema ponzi yang pertama bergerak di bidang jasa yang 'rencananya baru akan' dibentuk, namun member sendiri tidak terlibat secara langsung dalam kegiatannya, hanya berinvestasi dan merekrut orang untuk bergabung, sisanya menunggu keuntungan masuk dalam rekening.

Satu hal yang tidak kusadari ketika itu (karena terlanjur silau dan terbuai dengan keuntungan dan harapan yang dijanjikan) adalah ketidaksinkronan antara apa yang dipamerkan dengan gagasan 'akan' merambah bisnis jasa ini dan itu. 

Seharusnya sejak awal muncul pertanyaan, "dari mana asalnya barang-barang mewah yang dipamerkan tersebut kalau bisnisnya saja baru akan dibentuk?"

Setiap pagi pada minggu-minggu awal berinvestasi, kegiatanku adalah membuka akun sebagai penyemangat hari. Senyumku di pagi hari bisa from ear to ear kalau mengutip kata Beyonce dalam Love On Top, saking senangnya melihat angka dalam akun bertambah. Tapi sayangnya, belum sempat masuk rekening, 'site' sudah keburu 'on maintanance'. 

Untuk menarik saldo dari akun investasi ke rekening bank ada ketentuannya tersendiri, salah satunya adalah jumlah saldo harus mencapai angka tertentu terlebih dahulu. 

Namun untuk kasusku, karena tak pernah sedikitpun berprasangka buruk, aku justru sengaja menumpuk keuntungan dalam akun terlebih dahulu karena merasa belum punya kebutuhan mendesak, terlebih jika sudah masuk rekening bisa-bisa habis tak terasa.

Awalnya pemikiranku positif-positif saja, mungkin situsnya memang sedang diperbarui, "akan ada maintanance selama 5 hari ke depan," begitu pemberitahuan dari leader. 

Tapi setelah lewat 5 hari, ia pun kebingungan bagaimana menjawab pertanyaanku, jangankan menjawab pertanyaan downlinernya, isi kepalanya mungkin sibuk mengkhawatirkan kerugiannya sendiri. Dan pada akhirnya, ya sudah lah, bukan rejeki. Dan raiblah beberapa rupiah yang tak seberapa menurut orang, tapi kehidupan bagiku.

Tak kapok berinvestasi, aku terjebak lagi dalam skema ponzi yang kedua.

Skema yang kedua merupakan platform untuk forex trading. Berkebalikan dari skema yang pertama, skema yang kedua ini cukup convincing, karena praktiknya tidak wajib mengajak orang untuk berinvestasi.

Dan lagi, perusahaan ini juga tidak menjual mimpi seperti keuntungan tinggi, very minimum risk atau bahkan tak ada risiko sama sekali, mereka cukup fair bahwa sebelum berinvestasi kita harus mengerti dan oke dengan konsep umum berinvestasi, high risk high return, so I did.

Tak perlu menunggu lama, tak sampai sebulan investasiku bukan lagi terjerembab, raib, again, dengan jumlah yang lebih tinggi dari sebelumnya.

Jika harus dirinci kenapa aku bisa terjebak dalam skema ponzi sampai dua kali, tentu saja akan sangat banyak. Tapi setidaknya dari kegagalan mengenali investasi bodong ini, aku jadi lebih aware dengan profil perusahaan dan legalitasnya. Kesalahan mendasarku pada saat itu adalah menelan mentah-mentah informasi dari orang lain. 

Kebetulan saat itu orang yang merekrutku adalah orang yang menurutku pandai melihat peluang, banyak terlibat juga dalam MLM dengan berbagai macam produk, bisa dibilang track recordnya cukup baik di bidang ini, sehingga rasanya tak perlu lagi mempertanyakan bisnis yang ditawarkannya legit atau tidak.

Selain itu, pemahamanku sendiri tentang konsep bisnis yang ditawarkan ini tidak begitu baik, ketika itu aku hanya tahu multi level marketing.

Itu pun terfokus pada sistem multi levelnya, aku luput melihat produk sebagai fondasi dari sistemnya, sehingga ketika berhadapan dengan skema ponzi (yang merupakan frasa asing bagiku saat itu), anggapanku ini adalah MLM.

Lalu, setelah mengalami dua kali kegagalan berinvestasi yang menguras dompet, apakah aku akhirnya kapok berinvestasi? Jawabannya tentu saja tidak.

Gagal satu atau dua kali belum cukup untuk membuat kesimpulan bahwa setiap investasi pasti tipu-tipu, tidak cukup juga untuk membuatku takut berinvestasi lagi.

Karena tak ada yang salah dengan konsep investasinya, tujuan sistem diciptakan biasanya untuk memudahkan kehidupan masyarakat, begitu pun investasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun