Dan lagi, perusahaan ini juga tidak menjual mimpi seperti keuntungan tinggi, very minimum risk atau bahkan tak ada risiko sama sekali, mereka cukup fair bahwa sebelum berinvestasi kita harus mengerti dan oke dengan konsep umum berinvestasi, high risk high return, so I did.
Tak perlu menunggu lama, tak sampai sebulan investasiku bukan lagi terjerembab, raib, again, dengan jumlah yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Jika harus dirinci kenapa aku bisa terjebak dalam skema ponzi sampai dua kali, tentu saja akan sangat banyak. Tapi setidaknya dari kegagalan mengenali investasi bodong ini, aku jadi lebih aware dengan profil perusahaan dan legalitasnya. Kesalahan mendasarku pada saat itu adalah menelan mentah-mentah informasi dari orang lain.Â
Kebetulan saat itu orang yang merekrutku adalah orang yang menurutku pandai melihat peluang, banyak terlibat juga dalam MLM dengan berbagai macam produk, bisa dibilang track recordnya cukup baik di bidang ini, sehingga rasanya tak perlu lagi mempertanyakan bisnis yang ditawarkannya legit atau tidak.
Selain itu, pemahamanku sendiri tentang konsep bisnis yang ditawarkan ini tidak begitu baik, ketika itu aku hanya tahu multi level marketing.
Itu pun terfokus pada sistem multi levelnya, aku luput melihat produk sebagai fondasi dari sistemnya, sehingga ketika berhadapan dengan skema ponzi (yang merupakan frasa asing bagiku saat itu), anggapanku ini adalah MLM.
Lalu, setelah mengalami dua kali kegagalan berinvestasi yang menguras dompet, apakah aku akhirnya kapok berinvestasi? Jawabannya tentu saja tidak.
Gagal satu atau dua kali belum cukup untuk membuat kesimpulan bahwa setiap investasi pasti tipu-tipu, tidak cukup juga untuk membuatku takut berinvestasi lagi.
Karena tak ada yang salah dengan konsep investasinya, tujuan sistem diciptakan biasanya untuk memudahkan kehidupan masyarakat, begitu pun investasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H