"Kau tidak dapat melihat--apakah kau buta?"
"Aku tidak ingat lagi, apa yang telah membuatku buta, apa yang telah terjadi padaku dan mengapa aku berada di sini. Apakah ini hutan belantara, katamu?"
"Benar... daerah ini adalah hutan belantara di wilayah Utara kota Sinobu. Baiklah, sepertinya sesuatu telah terjadi padamu. Jadi bagaimana aku harus memanggilmu?"
"Panggil saja sesukamu, Noru. Oh-terimakasih karena kau telah menolongku."
"Flare--sekarang namamu Flare."
Noru  adalah seniman biola kerajaan Sino. Sehari-hari Noru memainkan biolanya untuk menghibur para bangsawan di kota Sinobu-ibukota Sino. Ia tinggal di hutan belantara ini sejak masa remaja bersama dengan kedua orang tuanya.
Namun kini kedua orang tua Noru telah tewas--terbunuh. Bangsa Sino telah membunuhnya dengan kejam. Itu karena kedua orang tua Noru--bangsa Guini, dianggap telah menyebarkan kesenian kepada rakyat Sino.
Kesenian adalah hal dilarang di kota Sinobu. Kesenian hanya boleh dinikmati oleh para bangsawan kerajaan Sino. Hari pun berlalu, tidak terasa Flare sudah cukup lama bersama Noru. Laki-laki itu merawatnya hingga gadis itu benar-benar pulih. Â Hidup dalam hutan bersama Noru mulai membuat Flare bosan. Noru kadang meninggalkannya berhari-hari dalam hutan. Gadis itu mulai berpikir untuk pergi mencari tahu akan jati dirinya.
"Noru, aku akan pergi. Terima kasih karena kau sudah menolongku. Luka-luka yang aku alami sudah nyaris sembuh. Walaupun mataku masih belum dapat melihat."
Noru hanya terdiam, sebab dia mempunyai rencana lain terhadap Flare. "Kamu tidak perlu pergi, Flare. Apakah ada perlakuanku yang membuatmu tidak nyaman? Tinggallah bersamaku lebih lama. Aku hanyalah kaum Guini yang sebatang kara di hutan belantara ini."
"Tapi, Noru-aku harus tahu jati diriku. Aku sudah tidak ingat apapun dan dari mana asalku, semenjak kebutaan menyerang kedua mata ini," Flare bertanya tanya.