Mohon tunggu...
Dewips
Dewips Mohon Tunggu... Freelancer - Just an ordinary woman

Mau copy-paste artikel? Boleh saja, dengan tetap tampilkan asal sumber tulisan! Visit me @ ladiesbackpacker.wordpress.com, Email me : swap.commune@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

No Degree, No Worry!

17 September 2020   01:55 Diperbarui: 17 September 2020   02:42 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster Komersial Film

Pernah mendengar sosok atau tokoh public figure yang sukses meski tidak memiliki educational degree?

Sebut saja sosok Alm. Bob Sadino yang hanya lulusan SMA tapi bisa sukses menjadi pebisnis kawakan. Atau mbak Anggun C. Sasmi yang tidak pernah mengenyam bangku universitas karena tidak lulus SMA tetapi bisa terkenal hingga ke penjuru negeri.

Bahkan dunia musik internasional pun tidak menutup mata akan keahlian beliau didalam bernyanyi. Dan hebatnya lagi ia juga diangkat menjadi duta PBB untuk beraktivitas di organisasi UNICEF.

Oleh karena itu film yang akan saya ulas kali ini berkaitan dengan fenomena tersebut yang berjudul Second Act. Sebuah film komedi romantis yang menceritakan tentang perjuangan seorang perempuan yang hanya lulusan sekolah kejuruan tetapi tidak pantang menyerah didalam mengejar karirnya.

Tokoh perempuan bernama Maya Davilla yang diperankan oleh aktris Jennifer Lopez. Merupakan sosok perempuan paruh baya berusia 40 tahun yang bekerja sebagai seorang pramuniaga di sebuah grocery store di kota tempat ia tinggal.

Sejak bertahun-tahun berkarir sebagai pramuniaga, ia tidak pernah mendapatkan promosi sebagai supervisor atau manager. Meskipun hasil penjualannya selalu baik dan diatas rata-rata rekan kerjanya di Supermarket.

Hingga tiba pada saat pengumuman akan adanya pengangkatan supervisor atau manager baru. Maya pun merasa sangat percaya diri akan peluang yang mungkin bisa diperolehnya. Dengan bujukan dari teman-temannya sesama rekan kerja, Maya pun mengajukan diri untuk diangkat sebagai supervisor atau manager.

Melihat dari lamanya ia berkarir, dengan menginvestasikan waktu serta keahlian menjualnya di Supermarket tersebut. Maka ia pun diperbolehkan mengikuti ujian kelayakan untuk proses promosi.

Namun pada akhirnya ia hanya dijadikan bahan olokan oleh atasannya saat proses ujian kelayakan dilakukan. Para staf HRD di Supermarket tersebut mempertanyakan kemampuan Maya dalam keahlian management apabila ia diangkat menjadi supervisor atau manager di tempatnya bekerja.

Lagi-lagi ia pun gagal dan harus menerima kenyataan bahwa latar belakang pendidikannya yang membuat ia tidak pernah dilirik oleh atasannya.

Hingga pengangkatan seorang manager baru yang lulusan universitas ternama bergelar MBA itu pun menjadi kisah titik balik Maya didalam meraih peluang karir barunya.

Dikarenakan ia merasa sudah muak dengan atasan di tempatnya bekerja. Maya pun mengajukan resign dan mencoba mencari lowongan pekerjaan baru. Dengan bantuan keponakannya, seorang milenial yang jago di bidang teknologi. Ia pun meminta bantuannya membuatkan resume yang menarik untuk proses pelamaran pekerjaan barunya.

Akhirnya Maya pun mendapatkan panggilan interview dari sebuah perusahaan kosmetik ternama di kota Manhattan. Ia sendiri merasa kaget dengan panggilan interview tersebut karena ternyata yang mengirimkan lamaran itu adalah keponakannya.

Hingga saat proses interview, Maya pun merasa kikuk dengan semua pertanyaan yang dilemparkan. Merasa latar belakang dan pengalamannya yang disebutkan tidak sesuai dengan faktanya. Ternyata sang keponakan-lah yang merombak habis isi resume tersebut.

Maya pun menanyakan posisi yang dilamarnya dan ia tertegun setelah mengetahui bahwa posisi manager marketing yang ternyata dilamar oleh keponakannya.

Dengan perasaan nervous ia mencoba menjawab setiap pertanyaan sesuai kemampuannya. Tetapi ada satu hal yang membuat CEO di perusahaan itu tertarik dengan sosok Maya.

Meski ia tidak memiliki degree atau latar belakang pendidikan yang tinggi, namun konsepnya didalam menjual barang dan etos kerjanya yang besar membuat ia akhirnya diterima bekerja sebagai Executive Consultant di perusahaan tersebut.

Setelah resmi bekerja Maya tidak serta-merta bahagia karena masih ada saja rekan kerja yang iri terhadapnya. Hingga pada satu kesempatan, Maya ditantang untuk membuat inovasi produk kosmetik yang alami dan natural tetapi menghasilkan laba yang tidak sedikit.

Dimana ia harus bekerja sama dengan tim farmasi untuk menciptakan produk kosmetik yang tidak biasa. Yang mana hasilnya akan dipublikasikan dan dipresentasikan dihadapan juri yang merupakan para petinggi dan pemegang saham di perusahaan tempatnya bekerja.

Pada akhirnya Maya pun berhasil menunjukkan bakat dan inovasinya di dunia bisnis. Jadi begitulah rangkuman kisah dari sosok Maya pada film Second Act.

Agar tidak menjadi spoiler alert saya tidak akan menceritakan kisah lengkapnya disini. Dengan begitu Kompasianer bisa langsung menyaksikan filmnya agar bisa mengambil pesan pentingnya sendiri. Dimana film tersebut juga sudah tersedia di Netflix.

Sebenarnya film ini termasuk tontonan lawas yang sejak dua tahun lalu sudah beredar. Tetapi saya baru terpikirkan untuk membuat ulasannya karena melihat fenomena yang ada.

Dari hasil menonton film tersebut banyak pesan moral serta edukatif yang tersirat. Salah satunya adalah kualitas seseorang tidak bisa hanya dilihat dari latar belakang pendidikan formalnya saja.

Saya sendiri merasa miris melihat kisah di film tersebut sudah menjadi fenomena atau kisah nyata yang banyak terjadi di sekitar kita. Khususnya di Indonesia, dimana latar belakang pendidikan pada resume seseorang menjadi tolak ukur diterimanya bekerja.

Kita pasti pernah melihat iklan lowongan pekerjaan yang menyebutkan pelamar dari universitas ternama akan lebih diprioritaskan. Atau pelamar yang hanya lulusan S1 dan diatasnya serta sesuai dengan jurusan yang dicari yang akan diprioritaskan.

Entah karena pihak HRD yang enggan memberikan pelatihan atau memang tidak adanya ketertarikan kepada kaum Non-Degree. Hingga membuat mereka dengan mudahnya mengeliminasi kaum tersebut yang faktanya belum tentu tidak kompeten.

Melihat fakta di Eropa sendiri untuk pencari kerja di level staf atau non-managerial dan non-supervisor tidak pernah diharuskan lulusan universitas ternama atau memiliki degree dan nilai yang mumpuni baru bisa dipanggil interview atau bahkan diterima.

Contoh kasusnya seperti yang pernah saya alami sendiri 8 tahun silam. Disaat selesai menempuh pendidikan diploma dimana saya tidak memiliki pengalaman kerja sebagai perawat. Tetapi saya mencoba peruntungan dengan melamar pekerjaan sebagai perawat di sebuah rumah sakit di kota Bonn, Jerman.

Pada saat dipanggil interview pun saya menyampaikan fakta bahwa saya belum disertifikasi dan tidak memiliki pengalaman sama sekali sebagai perawat. Namun saya pernah diangkat menjadi tim medis di kegiatan Internasional. Hasilnya saya pun bisa diterima hanya dengan bermodalkan sertifikat P3K, Bahasa Jerman dan event internasional yang pernah saya ikuti.

Dengan begitu pihak HRD di Rumah Sakit tersebut mengapresiasi pengalaman saya dengan memberikan kesempatan untuk mengikuti pelatihan atau training dan seminar sebelum nantinya diterjunkan ke lapangan. Dengan begitu saya tetap diakui sebagai pegawai dan digaji sesuai total jam kerja.

Begitulah kondisi HRD di Jerman yang berbeda dengan di Indonesia. Sudah sepantasnya kita tidak meng-anak-tirikan kaum non-degree, karena banyak juga bukti yang menunjukkan bahwa tidak semua kaum high-level degree menjadi sosok yang berbakti pada negeri.

Bahkan banyak dari mereka juga yang menjadi pengkhianat di negerinya sendiri. Seperti para koruptor di negeri ini contohnya.

Semoga masih banyak sosok HRD diluar sana yang positif. Meski begitu lewat artikel ini saya tidak ingin menggeneralisir sosok HRD di Indonesia. Saya percaya masih banyak dari mereka yang tidak melulu melihat kaum non-degree sebagai sosok yang harus disisihkan.

Sejatinya pendidikan formal dan informal yang seimbang adalah aset nyata bagi seorang pembelajar, yang tidak pernah berhenti mengambil pelajaran dari kehidupan, hingga tetes darah penghabisan.

Semoga menginspirasi,

Salam semangat!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun