Dari hasil menonton film tersebut banyak pesan moral serta edukatif yang tersirat. Salah satunya adalah kualitas seseorang tidak bisa hanya dilihat dari latar belakang pendidikan formalnya saja.
Saya sendiri merasa miris melihat kisah di film tersebut sudah menjadi fenomena atau kisah nyata yang banyak terjadi di sekitar kita. Khususnya di Indonesia, dimana latar belakang pendidikan pada resume seseorang menjadi tolak ukur diterimanya bekerja.
Kita pasti pernah melihat iklan lowongan pekerjaan yang menyebutkan pelamar dari universitas ternama akan lebih diprioritaskan. Atau pelamar yang hanya lulusan S1 dan diatasnya serta sesuai dengan jurusan yang dicari yang akan diprioritaskan.
Entah karena pihak HRD yang enggan memberikan pelatihan atau memang tidak adanya ketertarikan kepada kaum Non-Degree. Hingga membuat mereka dengan mudahnya mengeliminasi kaum tersebut yang faktanya belum tentu tidak kompeten.
Melihat fakta di Eropa sendiri untuk pencari kerja di level staf atau non-managerial dan non-supervisor tidak pernah diharuskan lulusan universitas ternama atau memiliki degree dan nilai yang mumpuni baru bisa dipanggil interview atau bahkan diterima.
Contoh kasusnya seperti yang pernah saya alami sendiri 8 tahun silam. Disaat selesai menempuh pendidikan diploma dimana saya tidak memiliki pengalaman kerja sebagai perawat. Tetapi saya mencoba peruntungan dengan melamar pekerjaan sebagai perawat di sebuah rumah sakit di kota Bonn, Jerman.
Pada saat dipanggil interview pun saya menyampaikan fakta bahwa saya belum disertifikasi dan tidak memiliki pengalaman sama sekali sebagai perawat. Namun saya pernah diangkat menjadi tim medis di kegiatan Internasional. Hasilnya saya pun bisa diterima hanya dengan bermodalkan sertifikat P3K, Bahasa Jerman dan event internasional yang pernah saya ikuti.
Dengan begitu pihak HRD di Rumah Sakit tersebut mengapresiasi pengalaman saya dengan memberikan kesempatan untuk mengikuti pelatihan atau training dan seminar sebelum nantinya diterjunkan ke lapangan. Dengan begitu saya tetap diakui sebagai pegawai dan digaji sesuai total jam kerja.
Begitulah kondisi HRD di Jerman yang berbeda dengan di Indonesia. Sudah sepantasnya kita tidak meng-anak-tirikan kaum non-degree, karena banyak juga bukti yang menunjukkan bahwa tidak semua kaum high-level degree menjadi sosok yang berbakti pada negeri.
Bahkan banyak dari mereka juga yang menjadi pengkhianat di negerinya sendiri. Seperti para koruptor di negeri ini contohnya.
Semoga masih banyak sosok HRD diluar sana yang positif. Meski begitu lewat artikel ini saya tidak ingin menggeneralisir sosok HRD di Indonesia. Saya percaya masih banyak dari mereka yang tidak melulu melihat kaum non-degree sebagai sosok yang harus disisihkan.