[caption caption="foto dari BBM Dewi"][/caption]
Sekelumit petang entah tercecap jalang
bingarnya benderang
/
matahari yang jajakan terik
panas bak tajam sekumpul badik
bergincu jingga menyala
wajah senja tak lagi bermanja
/
Lihat!
mari lumerkan hati dan pecahkan isi kepala
kering musim merundung dunia
panen raya tertunda
manusia-manusia tersedak nyala air di kedua mata
/
ah,
bulan berkah terasa hampa
gelimang nestapa jadi hal biasa
diri rentan akan sepucuk gelisah
/
Oh Yang Berkuasa
rasa pupus angan-angan di hati
hangus seribu lumbung tak menyisa
sedang curah hujan jauhlah sudah panggang dari api
apakah Engkau murka?
atau neraka-Mu tengah menjenguk dunia?
/
sungguh adalah aku yang benar tercela
luput dari segala kebaikan-Mu
kerap keliru
atas segala liku
acapkali terbuai
ketika surga yang fana limpah menuai
/
Jikalau hidup serupa lagu
biarlah ku dengar hanya yang merdu
apalah kata hidup adalah perjalanan waktu
satu detik tetap berlalu
meski buntu kerap menunggu
/
mustahil semua kisah kan terulang
hanya diam tersimpan atau barangkali hilang terbuang
/
pada sekumpul remang yang berdegup
dunia bertingkah absurd
jiwa-jiwa temaram
pendam rindu makna tentram
/
di ujung cahaya-Nya
merangkak usang hati yang berdebu
berharap luruh semua dosa
sebelum dunia tak lagi semu
/
masih di sekelumit petang berbayang
hingarnya semakin bising berdendang
/
aku mau terus hidup, dalam kata cukup
/
Kampung Hujan, 130715
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H