***
Senyap. Jam dua belas malam. Tak ada lagi percakapan manusia di berbagai ruang milik rakyat ini. Hanya sesekali security bergantian keliling. Itu pun tak bersuara. Hanya suara sepatu dan kilau sorot senter. Tapi...sebentar! Sepertinya masih ada yang mengoceh di sebuah sudut sana!
"Kulit kaki dan tanganmu masih mulus, masih mengilap...perutmu terlihat empuk juga..."
"Dia kan jarang hadir di ruangan ini."
"Aneh, bukankah ruang ini penting untuk tempat dia bekerja atau untuk membahas rakyat yang telah memilihnya? Atau mungkin ia sibuk berkeliling mengunjungi rakyatnya? Blusukan?"
"Entah, tapi tak apalah. Lagipula aku tak suka pantatnya ketika mendudukiku. Sepertinya dia punya masalah dengan asam lambung. Belum kalau dia tertidur pulas, aku tak nyaman ketika air liurnya mengotori tubuhku."
"Hahaha, lelucon yang konyol. Kau hanya sebuah kursi. Tak punya hidung untuk membaui."
"Kau lebih lucu lagi, sepotong laci yang tak punya mulut tapi cerewetnya bukan main."
"Hahaha, bila ku punya mulut, dia akan sangat takut padaku. Sebab aku menyimpan banyak dokumen rahasia yang kadang mengendap sementara sebelum mereka bawa pergi lalu dilenyapkan. Aku sering mengintip isinya, jadi aku tahu."
"Kau benar juga, termasuk tentang karet warna-warni yang sering keluar masuk dalam perutmu? Atau serbuk-serbuk putih yang katanya bisa buat manusia terbang ke surga walau sejenak saja?"
"Husss! Kau tahu darimana? Aku tak pernah cerita soal itu."