Mohon tunggu...
Dewi Pagi
Dewi Pagi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Say it with poems & a piece of cake...| di Kampung Hujan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Duri di Hati Ibu

31 Oktober 2014   02:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:06 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14129988571659886051

“Tapi, Mbak…” Aku memeluk erat tubuh mbak Nunik. Tak rela rasanya orang yang begitu kusayangi diperlakukan seperti tadi.

“Sudah, Mbak gak apa-apa. Kamu pulang aja yah. Kasihan ibu nanti nunggu. Makasih makanannya. Nanti Mbak yang ke sana untuk kembalikan wadahnya.”

***

Langkahku gontai keluar dari rumah bercat putih itu. Mungkin aku memang tak perlu khawatirkan Mbak Nunik. Dia adalah pahlawan kehidupanku dan ibu. Mbak Nunik perempuan paling tegar yang pernah kutemui. Meski yang kulihat barusan adalah sebuah ketidakberdayaan pada diri seorang wanita. Kasihan mbak Nunik.

Haruskah aku menceritakan pada ibu apa yang kulihat tadi? Apakah hal itu akan semakin melukai hati ibu yang tampaknya memang kurang merestui karena merasa ada yang ‘kurang beres’? Apakah yang kulihat barusan adalah cermin realita dari duri-duri di hati ibu yang mungkin masih tertanam hingga kini? Entahlah.

Tiba-tiba handphoneku berbunyi. Tertera nama seseorang yang telah satu tahun ini mengisi hati dan hidupku. Pramudya. Aku mengabaikan panggilannya. Terduduk aku di sebuah kursi taman berbahan besi tempa tidak jauh dari tempat tinggal mbak Nunik. Lututku lemas. Dadaku bergemuruh. Kejadian di rumah mbak Nunik dan mas Satrio, ibu, lalu Pramudya…Ya Tuhan… Aku menutup wajah dengan kedua telapak tanganku. Dingin malam itu semakin membuat nyeri segala rasa di dada. Tubuhku gemetar. Angin menusuk-nusuk kulitku.

Satu nada pesan berbunyi. Kamu di mana, Nit? Kenapa teleponku gak diangkat? Aku cemas. Balas.

Tiba-tiba bayangan mas Pram dan ibu berputar di kepalaku. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Selama satu tahun aku mampu menyembunyikan hubunganku dengan mas Pram di depan ibu. Bahkan ketika mas Pram memaksaku untuk menyudahi hubungan diam-diam kami dan tak sabar ingin memintaku pada ibu untuk dinikahinya, aku masih berusaha menahannya. Sejujurnya aku takut kehilangan mas Pram.

Semua bukan tanpa alasan. Alasan terkuatku…karena Mas Pramku tak lain dan tak bukan adalah anak tunggal dari Pak Gun, satu-satunya manusia yang dibenci ibu di muka bumi ini. Bapaknya mas Pramlah yang dulu pernah mengusir kami dari rumah kami sendiri. Bahkan ibu telah menganggap Pak Gun yang telah menyeret belahan jiwanya hingga ke liang lahat.

Langit begitu kelam malam ini. Aku tumpahkan sesak di ujung sunyi suasana taman ini. Bulan pun enggan pendarkan cahayanya. Mungkin ikut berduka. Hanya kuning cahaya lampu taman saja yang menemaniku.

Kini seluruh pandangan mata, jendela telinga dan pintu hatiku seolah ditutupi semak belukar yang penuh dengan duri-duri. Tajam dan menyanyat-nyayat.

***



.

.

.

.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun