“Ibu tidak tahu kenapa ada perasaan seperti ini,” kegamangan kutangkap dari intonasi suara ibu.
“Ninit rasa, Ibu belum siap ditinggal Mbak Nunik. Mbak Nunik kan anak kesayangan Ibu,” ketika itu aku masih sempat mencandai Ibu sambil mencium pipinya.
Aku menutup pintu kamar. Kuabaikan pembicaraan antara ibu dan mbak Nunik. Di atas meja tulis kayu, aku memandangi sebuah foto berbingkai warna emas. Foto kami bertiga, aku, mbak Nunik dan Ibu. Di sebelahnya, bertumpuk diktat-diktat kuliahku. Pikiranku jauh mengembara. Mengingat jasa-jasa mbak Nunik dalam hidupku dan ibu.
Kakak semata wayangku itu menjadi tulang punggung sejak bapak meninggal. Mbak Nunik awalnya bekerja sebagai buruh pabrik baju tidak jauh dari tempat kami tinggal. Entah mungkin dewi fortuna tengah berada di dekatnya, satu tahun bekerja, Mbak Nunik langsung diangkat sebagai supervisor. Dua tahun berikutnya, level manager berhasil digenggamnya. Kasih sayangnya pada Ibu dan aku adalah segalanya.
Penghasilan Mbak Nunik bekerja bisa mencukupi kehidupan kami. Bahkan Mbak Nunik yang membiayaiku kuliah. Aku yang tengah menyusun skripsi begitu menganggapnya sebagai dewi penolong yang Tuhan kirimkan dalam keluarga kami. Mbak Nuniklah yang pada akhirnya melenyapkan stempel kemiskinan keluarga kami selama ini. Hingga kami hidup tanpa kekurangan secara materi.
Namun yang aku rasakan, sejak berpacaran dengan mas Satrio, mbak Nunik agak ketat soal keuangan. Aku hanya berpikir mbak Nunik mungkin mulai menabung untuk masa depannya. Mbak Nunik sudah banyak keluar uang untuk kami, terutama saat melunasi hutang-hutang bapak yang dulu.
Hutang? Yah, soal hutang begitu sensitif bagi keluarga kami, terutama ibu.
“Sampai kapanpun Ibu rasanya sulit memaafkan Pak Gun, dia pernah mengambil satu-satunya peninggalan bapakmu hingga kita diusir dari rumah…bahkan nyawa bapakmu…andai Pak Gun masih punya rasa kemanusiaan…andai Pak Gun bersabar sampai Nunik bisa menolong…”
Begitu yang selalu kudengar bila Ibu tengah menceritakan kepedihannya saat kehilangan bapak dan jasa-jasa mbak Nunik. Tapi berkat Mbak Nunik, kami akhirnya bisa mendapatkan kembali rumah bapak. Entah negosiasi apa yang terjadi antara mereka. Mbak Nunik hanya bilang, dia sudah membereskannya.
***
“Terima kasih, Bu. Akhirnya Ibu merestui Nunik…”