Ibu yang memakai kebaya hijau tosca terlihat terlihat cantik di acara pernikahan mbak Nunik dan mas Satrio. Ibu tersenyum, namun hatiku mampu menembus bening kedua matanya. Ibu sembunyikan tangisnya. Entah karena akan melepas putri tersayangnya atau kesedihan yang lain.
Terngiang kembali cerita-cerita ibu padaku tentang Mbak Nunik.
“Kakakmu telah berjasa besar pada keluarga kita. Ibu tahu dia lelah demi kita. Nunik telah banyak berkorban. Ibu ingin dia bahagia dengan orang yang dicintai dan mencintainya. Tapi pada Satrio, ibu sangsi, Nit…”
“Sudahlah, Bu. Ibu doakan saja Mbak Nunik supaya bahagia.”
“Kalau saja kakakmu itu sifatnya tidak keras kepala. Kalau saja ibu tidak mengingat bahwa Nunik yang telah menyelamatkan kehidupan keluarga kita…”
***
Tiga bulan berlalu. Tak ada yang berubah ku lihat pada mbak Nunik. Pengantin baru itu memang terlihat bahagia. Bahkan Mbak Nunik saat ini tengah terlambat datang bulan. Anehnya, begitu hasil test menyatakan positif hamil, Ibu masih tak bergeming atas kabar bahagia itu. Tapi bagaimana mungkin ibu tak bahagia akan mendapatkan cucu? Bukankan itu impian seorang ibu pada anaknya yang telah berumah tangga?
Kepalaku dipenuhi dengan ribuan tanda tanya tentang sikap hati ibu pada mbak Nunik. Rasanya semua tak masuk akal. Hingga suatu ketika aku tak sengaja diminta ibu datang ke rumah Mbak Nunik membawa makanan kesukaannya tanpa memberitahu mbak Nunik dulu.
Pagar tak terkunci. Aku segera menuju teras. Sayup-sayup aku mendengar sebuah kejadian sebelum aku mengetuk pintu. Langkahku terhenti. Keingintahuanku memuncak. Diam-diam aku merapatkan telingaku di balik pintu.
“Aku cuma minta lima juta, Nik! Lima juta saja! Bosmu pasti acc kalau kamu pinjam ke kantor…”
“Tapi Mas kan sudah janji, Mas akan berhenti main judi kalau kita sudah menikah. Lima juta itu tidak sedikit, Mas. Hutangku sudah bertumpuk di kantor.”